Mohon tunggu...
Maradona Sihombing
Maradona Sihombing Mohon Tunggu... Guru - Penulis/Guru

Guru I Penulis I Pemuisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemuda Zaman Now

24 Juli 2021   20:15 Diperbarui: 24 Juli 2021   20:28 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu aku sempat mendengar perbincangan mereka. Di sudut kanan masjid mereka larut dalam diskusi soal negara. Mereka ada lima orang. Usai salat isya salah satu dari mereka, yang berpakaian serba putih membuka pembicaraan. Empat lainnya menanggapi yang disampaikan si baju putih dengan antusiasme yang tak terbendung. 

Sinar benderang lampu masjid seakan turut dalam perbincangan. Satu-dua serangga yang bertamu di masjid, seolah mengerti arah pembahasan mereka. Sudah setengah jam diskusi mereka berlangsung. Mendengar semua yang mereka bicarakan, sepertinya diskusi tersebut akan berlanjut lama. Setelah menuntaskan doa, kelompok diskusi itu kuhampiri.

 Awalnya, aku hanya pendengar biasa. Aku terlanjur mendengar topik menarik yang mereka omongkan. Tentu saja, setelah meminta izin pada mereka, aku bergabung dan larut dalam obrolan kenegaraan itu. Membincangkan soal negara, membuat siapa saja mendadak jadi negarawan. Begitu juga membahas soal politik, semua orang spontan jadi politikus. Untungnya, objek malam itu adalah ibu pertiwi, bukan soal para pemilik dasi.

            "Apa kabar negara ini?" kuberanikan diri bertanya pada semua. Diskusi hening sejenak.

            "Seperti yang kau tahu, nak. Kurang baik." Sahut bapak baju putih yang ternyata memiliki nama Supeno. Sejurus ia menghela napas dalam-dalam. Dari raut wajahnya guratan kekecewaan terlihat mengitari isi kepalanya. Apa yang ia pikirkan?

            "Bukankah negara kita baik-baik saja, Pak?" kucoba meyakinkan semua yang hadir bahwa Indonesia baik-baik saja.

            "Seharusnya baik-baik saja. Tidak ada yang kurang dari negara ini. Yang jadi masalah adalah warga negara kita. Mungkin termasuk kita di sini, ikut bermasalah." Tukasnya tegas. Kali ini aku yang menghela napas dalam-dalam. Benakku bertanya-tanya; apa mungkin aku ikut bermasalah? Masalah apa? Sungguh, deretan kalimat terakhir yang terucap dari pak Supeno membuatku mengernyitkan kening berkali-kali.

            "Maaf Pak, boleh diperjelas masalah apa yang Bapak maksudkan yang ditimbulkan warga negara kita?" akhirnya aku berani juga mengungkapkan pertanyaan itu. Pak Supeno menolehkan wajah kepadaku. Matanya menatap mataku dalam-dalam. Aku jadi salah tingkah. Mungkinkah pertanyaanku menyinggung perasaannya, atau kurang sopan?

            "Hahahahaha. Kamu ini aneh anak muda. Kamu hidup di zaman kapan, nak?" tawa dan tanyanya membuatku semakin kikuk. Aku malu sekaligus merasa menyesal atas pertanyaan yang terlanjur aku lontar.

            "Zaman sekarang sih, Pak. Kenapa ya, Pak?" tanyaku meminta penjelasan.

            "Begini nak. Era internet sekarang membuat kita semakin mudah mengakses informasi dan berita." Timpal pak Fairin, lelaki berbaju cokelat di samping kanan pak Supeno. Aku masih bingung, ada hubungan apa internet dengan kesalahan warga negara Indonesia? Sepertinya memang diskusi ini harus panjang untuk mendapat informasi lengkap.

            "Iya Pak. Alhamdulillah, kita lebih gampang memperoleh berita dibanding dulu."

Kulirik jam dinding masjid sudah semakin larut. Kata peserta diskusi, setiap malam Rabu selalu ada forum diskusi di masjid Al-Hikmah yang terletak di kota Jogja itu. Aku bukan peserta tetap forum diskusi. Aku hanya menumpang salat di masjid tersebut sehabis pulang dari Islamic Book Fair yang diselenggarakan di GOR UNY. Mulanya aku berniat menunaikan kewajiban salat isya di rumah kontrakan bersama teman-teman mahasiswa serumahku. 

Karena alasan takut lupa, kuputuskan untuk menuntaskan ibadah isya di masjid pinggir jalan sekalian pulang. Kebetulan aku melewati masjid Al-Hikmah. Jadinya, aku salat di sana hingga nimbrung pada diskusi kenegaraan saat itu. Aku rasa ini bukan kebetulan semata. Pasti ini rencana Tuhan agar aku mendapatkan hikmah dari masjid Al-Hikmah. "Semoga diskusi ini bermanfaat bagiku!" gumamku.

"Permisi...permisi...permisi! Tehnya masih panas. Monggo dibagi satu-satu njih!" Pak Darto, sang marbot masjid Al-Hikmah menyuguhkan teh manis yang baru saja ia buat. Semua peserta diskusi bergeser sedikit demi memberi ruang buat pak Darto mengulurkan tangan bersama gelas-gelas berisi teh manis. Aku semakin yakin diskusi akan semakin panjang. Aku terlanjur terlibat. Untuk pamit aku merasa sungkan. Tidak enaklah pamit begitu saja. Aku harus tetap mengikuti alur diskusi.

"Njih, Pak. Matur nuwun..." jawab kami hampir bersamaan. Masing-masing menyeruput tehnya. Ada kenikmatan di setiap seruputan. Budaya ngeteh memang mendunia. Bukan hanya di Indonesia, seluruh dunia menyukai teh. Entah siapa yang pertama kali menemukan teh, lalu memperkenalkannya di seluruh dunia? Akhh. Biarlah sejarah teh kupendam dulu. Toh, topik hangat yang dibicarakan bukan soal teh, tapi soal para penikmat teh alias warga negara.

"Begini nak..." pak Supeno melanjutkan perbincangan sembari mengubah posisi duduknya. Pandangan lekas kutolehkan pada pemilik suara.

"Orang-orang mengistilahkan zaman now. Ya, zaman now yang serba mudah atas bantuan internet dan mbah Google. Semua menjadi bebas." Ia berhenti sejenak.

"Apa ada yang salah dari semua kemudahan dan kebebasan yang kita nikmati, Pak? Bukankah kita menjadi semakin terbantu memenuhi kebutuhan kita setelah ada internet?" aku terhenti setelah pertanyaan itu. Kuresapi yang telah kulontarkan, mungkin aku terlalu lancang menanggapi pak Supeno dengan pertanyaan baru. Seharusnya aku lebih sabar menunggu hingga semua jawaban pak Supeno benar-benar tuntas. Rasa bersalah bergelayut di benakku. Kutundukkan kepala atas penyesalanku.

"Aku suka anak muda sepertimu, nak. Kritis dan peduli terhadap persoalan yang terjadi di negeri ini. Kamu tak usah merasa bersalah sebab bertanya bak seorang kritikus. Bapak senang kamu berani bertanya sedetail itu." Tampaknya ia dapat membaca rasa bersalahku. Orang yang lebih dewasa memang selalu lebih bijak dari orang yang lebih muda. Setidaknya begitu kesimpulanku dari apa yang kualami malam itu.

"Bhinneka Tunggal Ika." Tiba-tiba kata-kata itu terucap oleh pak Supeno. "Ya. Bhinneka Tunggal Ika!" ucapnya kedua kalinya. Sejurus kemudian ia melempar pandangan ke arahku dan peserta diskusi. Kuresapi dalam-dalam semboyan yang diajarkan padaku sedari kecil. Tidak ada masalah menurutku. Tetapi, kenapa harus membicarakan Bhinneka Tunggal Ika malam itu? Bukankah semua orang sejak SD sudah hafal semboyan tersebut? Aku benar-benar bingung dibuat pak Supeno. Apa sebenarnya maksud beliau menyampaikan Bhinneka Tunggal Ika di hadapan peserta diskusi? Apa tidak ada topik yang lebih menarik lagi?

"Pak, apakah topik Bhinneka Tunggal Ika masih relevan kita bahas selarut ini?" tuturku hati-hati. Kepalaku langsung tertunduk, takut salah tanya.

"Kamu benar-benar pemuda zaman now." Suaranya terhenti. Kutatap wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya ia berpikir begitu dalam. Apa boleh buat, aku adalah pemuda zaman now yang tak paham sepenuhnya makna Bhinneka Tunggal Ika yang ia sebutkan.

            "Nak, kamu tahu tidak makna sesungguhnya dari Bhinneka Tunggal Ika?" ia menatapku dalam-dalam. Aku jadi serba salah. Seketika lidahku keluh. Kata-kata jadi asing di lidahku. Otakku tak mampu memikirkan apapun. Aku gugup. Aku benar-benar gugup oleh pertanyaan pak Supeno.

            "Yang aku tahu sebatas arti Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi tetap satu." Jawabku sekenanya. Mau bilang apa lagi, cuma itu yang kutahu tentang Bhinneka Tunggal Ika? Mata pak Supeno yang dari tadi berkaca-kaca, akhirnya menumpahkan air mata. Bulir-bulir kristal jatuh dari pipinya, singgah di baju putih sucinya. Perasaan bersalah semakin menerpaku. Aku takut kata-kataku telah melukai hatinya.

            "Maaf Pak jika kata-kataku menyakiti hati Bapak! Sekali lagi mohon maaf!" kutatap wajah mulianya. Jemarinya menyeka air mata yang hampir tuntas tumpahnya. Aku sadar betapa naifnya diriku tak mengerti semboyan negeriku sendiri. Ya Tuhan, ampunkan daku!

            "Tidak ada yang harus dimaafkan. Kamu tidak bersalah, nak. Kamu hanya belum mengerti makna kesatuan yang dibangun para pejuang bangsa dan tokoh-tokoh negara ini. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa bukanlah sekadar semboyan. Keberagaman ras, suku, budaya, bahkan agama yang dijaga begitu harmonis sejak dulu, semakin hari semakin terkikis. Kebebasan mengeluarkan pendapat membuat orang bebas berkata apa saja, bahkan mencela orang lain. Seakan-akan Bhinneka Tunggal Ika tak pernah ada. Miris melihatnya." Ia menahan air mata memaparkan segala.

            "Oh, itu maksud Bapak? Aku paham, Pak. Anak-anak muda seperti aku ini butuh pencerahan dari orang-orang seperti Bapak, agar pemuda Indonesia lebih memahami indahnya pesan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Terima kasih sudah membantu aku memahami semboyan negara ini."

            "Lihat sendiri yang terjadi sekarang. Di Facebook, Instagram, Twitter, Line, Youtube, dan media online lainnya, caci-maki, saling mencela, saling menjatuhkan, bahkan saling mempermasalahkan perbedaan. Setiap hari terjadi. Setiap waktu para netizen saling serang. Tak peduli lagi persatuan. Tak menghiraukan lagi keberagaman yang ada di Indonesia tercinta ini. Apa itu tidak miris, nak?" tambah pak Darto menguatkan pendapat pak Supeno. Kini giliranku yang berkaca-kaca. Setitik air mata jatuh juga mengenai jaket hitamku.

            Kurenungi dalam-dalam segala yang kudengar malam itu. Hati kecilku mengamini semua yang disampaikan bapak-bapak di forum diskusi masjid Al-Hikmah. Manusia zaman now terlalu banyak menyalahgunakan media yang ada. Bukannya berbagi manfaat, malah memanfaatkan media demi kepentingan pribadi atau golongan. Seandainya jiwa kebangsaan orang-orang sekarang seperti dulu, mungkin negara ini jauh lebih nyaman. Kemerdekaan ini memenjarakan persatuan begitu perih. Entah suatu saat nanti kedamaian di negeri ini kembali kita rangkul, atau keadaan sekarang bakal berkepanjangan? Pada akhirnya, semua kupasrahkan pada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun