Mohon tunggu...
Maradona Sihombing
Maradona Sihombing Mohon Tunggu... Guru - Penulis/Guru

Guru I Penulis I Pemuisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemuda Zaman Now

24 Juli 2021   20:15 Diperbarui: 24 Juli 2021   20:28 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Iya Pak. Alhamdulillah, kita lebih gampang memperoleh berita dibanding dulu."

Kulirik jam dinding masjid sudah semakin larut. Kata peserta diskusi, setiap malam Rabu selalu ada forum diskusi di masjid Al-Hikmah yang terletak di kota Jogja itu. Aku bukan peserta tetap forum diskusi. Aku hanya menumpang salat di masjid tersebut sehabis pulang dari Islamic Book Fair yang diselenggarakan di GOR UNY. Mulanya aku berniat menunaikan kewajiban salat isya di rumah kontrakan bersama teman-teman mahasiswa serumahku. 

Karena alasan takut lupa, kuputuskan untuk menuntaskan ibadah isya di masjid pinggir jalan sekalian pulang. Kebetulan aku melewati masjid Al-Hikmah. Jadinya, aku salat di sana hingga nimbrung pada diskusi kenegaraan saat itu. Aku rasa ini bukan kebetulan semata. Pasti ini rencana Tuhan agar aku mendapatkan hikmah dari masjid Al-Hikmah. "Semoga diskusi ini bermanfaat bagiku!" gumamku.

"Permisi...permisi...permisi! Tehnya masih panas. Monggo dibagi satu-satu njih!" Pak Darto, sang marbot masjid Al-Hikmah menyuguhkan teh manis yang baru saja ia buat. Semua peserta diskusi bergeser sedikit demi memberi ruang buat pak Darto mengulurkan tangan bersama gelas-gelas berisi teh manis. Aku semakin yakin diskusi akan semakin panjang. Aku terlanjur terlibat. Untuk pamit aku merasa sungkan. Tidak enaklah pamit begitu saja. Aku harus tetap mengikuti alur diskusi.

"Njih, Pak. Matur nuwun..." jawab kami hampir bersamaan. Masing-masing menyeruput tehnya. Ada kenikmatan di setiap seruputan. Budaya ngeteh memang mendunia. Bukan hanya di Indonesia, seluruh dunia menyukai teh. Entah siapa yang pertama kali menemukan teh, lalu memperkenalkannya di seluruh dunia? Akhh. Biarlah sejarah teh kupendam dulu. Toh, topik hangat yang dibicarakan bukan soal teh, tapi soal para penikmat teh alias warga negara.

"Begini nak..." pak Supeno melanjutkan perbincangan sembari mengubah posisi duduknya. Pandangan lekas kutolehkan pada pemilik suara.

"Orang-orang mengistilahkan zaman now. Ya, zaman now yang serba mudah atas bantuan internet dan mbah Google. Semua menjadi bebas." Ia berhenti sejenak.

"Apa ada yang salah dari semua kemudahan dan kebebasan yang kita nikmati, Pak? Bukankah kita menjadi semakin terbantu memenuhi kebutuhan kita setelah ada internet?" aku terhenti setelah pertanyaan itu. Kuresapi yang telah kulontarkan, mungkin aku terlalu lancang menanggapi pak Supeno dengan pertanyaan baru. Seharusnya aku lebih sabar menunggu hingga semua jawaban pak Supeno benar-benar tuntas. Rasa bersalah bergelayut di benakku. Kutundukkan kepala atas penyesalanku.

"Aku suka anak muda sepertimu, nak. Kritis dan peduli terhadap persoalan yang terjadi di negeri ini. Kamu tak usah merasa bersalah sebab bertanya bak seorang kritikus. Bapak senang kamu berani bertanya sedetail itu." Tampaknya ia dapat membaca rasa bersalahku. Orang yang lebih dewasa memang selalu lebih bijak dari orang yang lebih muda. Setidaknya begitu kesimpulanku dari apa yang kualami malam itu.

"Bhinneka Tunggal Ika." Tiba-tiba kata-kata itu terucap oleh pak Supeno. "Ya. Bhinneka Tunggal Ika!" ucapnya kedua kalinya. Sejurus kemudian ia melempar pandangan ke arahku dan peserta diskusi. Kuresapi dalam-dalam semboyan yang diajarkan padaku sedari kecil. Tidak ada masalah menurutku. Tetapi, kenapa harus membicarakan Bhinneka Tunggal Ika malam itu? Bukankah semua orang sejak SD sudah hafal semboyan tersebut? Aku benar-benar bingung dibuat pak Supeno. Apa sebenarnya maksud beliau menyampaikan Bhinneka Tunggal Ika di hadapan peserta diskusi? Apa tidak ada topik yang lebih menarik lagi?

"Pak, apakah topik Bhinneka Tunggal Ika masih relevan kita bahas selarut ini?" tuturku hati-hati. Kepalaku langsung tertunduk, takut salah tanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun