"Kamu benar-benar pemuda zaman now." Suaranya terhenti. Kutatap wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya ia berpikir begitu dalam. Apa boleh buat, aku adalah pemuda zaman now yang tak paham sepenuhnya makna Bhinneka Tunggal Ika yang ia sebutkan.
      "Nak, kamu tahu tidak makna sesungguhnya dari Bhinneka Tunggal Ika?" ia menatapku dalam-dalam. Aku jadi serba salah. Seketika lidahku keluh. Kata-kata jadi asing di lidahku. Otakku tak mampu memikirkan apapun. Aku gugup. Aku benar-benar gugup oleh pertanyaan pak Supeno.
      "Yang aku tahu sebatas arti Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi tetap satu." Jawabku sekenanya. Mau bilang apa lagi, cuma itu yang kutahu tentang Bhinneka Tunggal Ika? Mata pak Supeno yang dari tadi berkaca-kaca, akhirnya menumpahkan air mata. Bulir-bulir kristal jatuh dari pipinya, singgah di baju putih sucinya. Perasaan bersalah semakin menerpaku. Aku takut kata-kataku telah melukai hatinya.
      "Maaf Pak jika kata-kataku menyakiti hati Bapak! Sekali lagi mohon maaf!" kutatap wajah mulianya. Jemarinya menyeka air mata yang hampir tuntas tumpahnya. Aku sadar betapa naifnya diriku tak mengerti semboyan negeriku sendiri. Ya Tuhan, ampunkan daku!
      "Tidak ada yang harus dimaafkan. Kamu tidak bersalah, nak. Kamu hanya belum mengerti makna kesatuan yang dibangun para pejuang bangsa dan tokoh-tokoh negara ini. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa bukanlah sekadar semboyan. Keberagaman ras, suku, budaya, bahkan agama yang dijaga begitu harmonis sejak dulu, semakin hari semakin terkikis. Kebebasan mengeluarkan pendapat membuat orang bebas berkata apa saja, bahkan mencela orang lain. Seakan-akan Bhinneka Tunggal Ika tak pernah ada. Miris melihatnya." Ia menahan air mata memaparkan segala.
      "Oh, itu maksud Bapak? Aku paham, Pak. Anak-anak muda seperti aku ini butuh pencerahan dari orang-orang seperti Bapak, agar pemuda Indonesia lebih memahami indahnya pesan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Terima kasih sudah membantu aku memahami semboyan negara ini."
      "Lihat sendiri yang terjadi sekarang. Di Facebook, Instagram, Twitter, Line, Youtube, dan media online lainnya, caci-maki, saling mencela, saling menjatuhkan, bahkan saling mempermasalahkan perbedaan. Setiap hari terjadi. Setiap waktu para netizen saling serang. Tak peduli lagi persatuan. Tak menghiraukan lagi keberagaman yang ada di Indonesia tercinta ini. Apa itu tidak miris, nak?" tambah pak Darto menguatkan pendapat pak Supeno. Kini giliranku yang berkaca-kaca. Setitik air mata jatuh juga mengenai jaket hitamku.
      Kurenungi dalam-dalam segala yang kudengar malam itu. Hati kecilku mengamini semua yang disampaikan bapak-bapak di forum diskusi masjid Al-Hikmah. Manusia zaman now terlalu banyak menyalahgunakan media yang ada. Bukannya berbagi manfaat, malah memanfaatkan media demi kepentingan pribadi atau golongan. Seandainya jiwa kebangsaan orang-orang sekarang seperti dulu, mungkin negara ini jauh lebih nyaman. Kemerdekaan ini memenjarakan persatuan begitu perih. Entah suatu saat nanti kedamaian di negeri ini kembali kita rangkul, atau keadaan sekarang bakal berkepanjangan? Pada akhirnya, semua kupasrahkan pada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H