Tawaku bukan ceria
aku tidak sedang disentuh bahagia
tawaku penyesalan membahana
teringat alangkah lugunya kebaikan
memapah ronanya bergeming
Aku bukan tidak ikhlas
aku hanya dikepung rasa kecewa
bukan karena kau tidak mengimbangiku
tapi hati kecilmu tidak sensitif
tidak seperti hatiku
Tentu kau tidak lupa
kau pasti ingat kala kau hempaskanku
di atas aula istana sederhana milikmu
aku baik-baik saja, aku kuat
namun aku lemah saat kau gorok
citra sosialku di hadapan karibku
Permadani...?
Ya, permadani itu tak elok lagi kupandang
kilap merahnya ternoda
karena kau tuangkan darah piluku
di sekelilingnya, yang kau himpun
dari tetesan luka saat kaubanting harga diriku
belum lagi dahulu, kau koyak predikatku
lalu kau bayar murah dengan secarik sertifikat
di dalamnya tertera kejanggalan.
Sekarang kau akan mengobralku?
Jangan kau paksa aku rekreasi
bagi kalian mungkin refreshing, belum tentu
untukku. Banyak yang lebih sempurna
selainku untuk kau perah manisnya,
lalu kau campak dalam pelimbahan legam.
Aku bertanya padamu
sekecil apa kau melihatku?
Tak seorang mengataku kurus
anehnya kau menatapku begitu mungilnya,
anggapmu aku lebih sampah
dari seonggok sepah tebu
Tebu, setelah manisnya hilang
sepahnya dibuang, kemudian
dikerumuni lalat, paling tidak masih
berguna untuk lalat.
Aku, setelah kaupermainkan
hati dan harga diriku, lalu kaulempar
sejauhnya, siapa yang akan mengerumuniku?
Mungkin akan lebih baik jika aku
adalah seruas tebu, sedikit lebih bermartabat
dari diriku selama ini. Tapi tidak juga
jika kau yang melahap tebu itu,
tentu kau perlakukan hina jua.
Sebab, apapun dan siapapun aku,
kau pandang tak lebih berharga
dari sepah tebu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H