Mohon tunggu...
M Arief Pranoto
M Arief Pranoto Mohon Tunggu... lainnya -

nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banjir 2014: Isyarat Indonesia Memasuki Zaman Kolobendu?

11 Februari 2014   18:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:56 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13921163591934516677

Kedung atau lubuk-lubuk banyak hilang. Alasan pokok (barangkali) pengembangan kota — jawabannya sederhana: hutan banyak ditebangi, sehingga air tidak lagi bisa diserap dan tak tertampung di dalam tanah. Tidak ada mata air tetapi air mata mengucur darah, karena air yang tak terserap oleh akar-akar menggelontor “marah” lalu menjadi bencana baik banjir maupun tanah longsor. Apakah ini yang terjadi kini?

Betapa perubahan dramatis alam bukanlah terjadi dalam ribuan tahun, atau abad, akan tetapi hanya hitungan dekade saja. Luar biasa! Kembali jawabannya sangat sederhana: itu akibat hasrat dan nafsu manusia yang  terlembaga pada dogma kemajuan (fisik dan materi) atas nama pembangunan, modernisasi dll namun tanpa memperhatikan lingkungan.

Dalam kajian lebih dalam sedikit, secara non fisik — kali ilang kedunge — bisa digambar sebagai suatu tatanan sosial yang abai bahkan lupa akan “sumber” (local wisdom)-nya dan cenderung berkiblat pada nilai atau sistem asing yang belum sepenuhnya melembaga. Istilahnya, inilah bangsa transisi yang bebas nilai sehingga tidak punya identitas diri. Tak ada jati diri. Maka pantas saja, jika bangsa ini menjadi “obyek permainan” hegemoni para adidaya di era globalisasi.

Pasar Ilang Kumandhange (Pasar Hilang Dengungnya)

Membandingkan situasi pasar dulu dan kini, tampaknya suasana zaman dahulu lebih bergairah penuh dinamika. Sehingga suara orang-orang berkumpul, tawar-menawar, atau sekedar njagong, namun menimbulkan “dengung” (suara bergunam) mirip dengung sekawanan lebah dan terdengar sampai jarak relatif jauh. Akan tetapi kini dengungnya lenyap entah kemana, meski masih ditemui pada pasar tradisional di pojok-pojok kota.

Secara empirik, dengung tertutup aktivitas lain seperti deru kendaraan, mesin produksi dsb — hingga suara pasar pun melemah bahkan terbungkam. Ada hal lebih esensial. Artinya jika dulu pasar sebagai pusat kehidupan dari pagi sampai siang, oleh karena orang-orang tak sekedar jual beli ini dan itu, tetapi juga hal-hal lainnya. Bertemu sahabat misalnya, atau janjian dengan calon istri, suami, dst. Artinya selain lokasi transaksi dan barter barang, ia juga tempat bertukar kabar. Sebagaimana halnya kedung atau lubuk, pasar pun merupakan sarana menjalin ikatan batin (silahturahmi) bagi warga. Itulah makna dengung.

Ketika modernisasi dengan dogma kepraktisan, efisiensi, sistematis dan efektivitas — menerjang masyarakat. Inilah benih-benih “putusnya” silahturahmi warga. Ia seperti pembunuh berdarah dingin “membantai” ratusan bahkan ribuan pasar tradisional di negeri ini. Supermarket, Mall, Hypermarket, ataupun kios-kios modern lain merupakan silent market (pasar tiada dengung) — tanpa dinamika, tidak ada gelak dan kegairahan. Barang dipajang dengan bandrol harga, tanpa tawar menawar apalagi tawa canda pengunjung. Dan di pasar modern, kecenderungan orang hanya sekedar refreshing daripada silaturrahim. Maka sangat jarang senyum, sapa dan salam – apalagi gelak gayeng bertukar khabar. Hampir tak ada.

Inilah cermin dunia yang semakin mekanis. Gersang mengerang. Barang diatur secara sistematis termasuk penjaga-penjaga. Manusia hanya menjalankan sistem sedang pengunjung mengutamakan kepraktisan dan sedikit waktu refreshing bagi hidup yang dikendalikan rutinitas. Tidak ada lagi bargaining seimbang antara pembeli dan penjual. Mereka hanya sekedar alat dari sistem kapitalis global. Pasar era kini, telah menjadi “senyap” justru di tengah kehidupan yang kian gaduh.

Untuk makna lebih tinggi sedikit –pasar ilang kumandhange– bisa dianalogi terputusnya ikatan batin antar warga karena “wadah”-nya pecah tergerus mesin-mesin berkedok pembangunan, modernisasi dan lainnya. Dalam perspektif politis, diubahnya pola musyawarah mufakat menjadi demokrasi pilihan langsung (one man one vote) dimana rakyat cuma mengenal sosok si calon karena kuatnya (modal) pencitraan, akan tetapi masyarakat tidak mampu menelusuri visi, misi dan terutama ideologi yang dianut. Ibarat membeli kucing dalam karung, setelah dibuka justru macan yang keluar. Maka bisa habis negeri ini.

Mendalami sejenak tentang pencitraan yang sekarang telah menjadi industri politik di negeri ini, kata Baudrillard, hari ini kita hidup dalam era simulakra. Era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Ia menyebutnya hyper-reality atau realitas semu. Pilihan-pilihan hidup kita sangat dipengaruhi oleh realitas semu ini, yang kata Milan Kundera, diciptakan oleh agen-agen periklanan, manajer kampanye politik, dan lain-lain.

Jagonya pencitraan menurut saya justru Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler. Ia menyatakan: "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya." Tentang kebohongan ini, Goebbels mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun