Mohon tunggu...
M Arief Pranoto
M Arief Pranoto Mohon Tunggu... lainnya -

nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digdaya tanpa aji

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banjir 2014: Isyarat Indonesia Memasuki Zaman Kolobendu?

11 Februari 2014   18:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:56 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13921163591934516677

Oleh: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Artikel tak ilmiah ini saya tulis beberapa tahun lalu, dan pernah dimuat di Website Global Future Institute (GFI), Jakarta, pada 12 Mei 2011 berjudul: “Zaman Kacau, Era Kolobendu”. Entah kenapa, tiba-tiba ada kuat dorongan hati meng-update lagi dengan penambahan sedikit tanpa mengurangi substansi.

Judul saya sesuaikan dengan fenomena aktual (banjir) yang kini berlangsung. Dan jujur saja, selain itu alasan pokok kenapa tema dan isi tulisan ini perlu kembali digelorakan, juga pointers diskusi terbatas di GFI, sebagaimana yang dikatakan oleh Ghuzilla Humeid, Network Associate GFI menggelitik saya: “"Kalau banjirnya sekedar sehari atau dua hari itu biasa dan dianggap musibah, tetapi kalau banjir sudah lebih 3 minggu serta tidak kunjung surut, inilah yang disebut sebagai bala”. Apakah “bala” (petaka) identik dengan kekacauan (kolobendu)?

Catatan kecil ini tak hendak bicara runut sejarah yang konon banyak versi, namun hanya mendalami salah satu jangkauan visi (perkiraan) dari Prabu Jayabaya, Raja Kediri (1135-1157) tentang “Zaman Kolobendu” (Era Kekacauan). Atau sering disebut “Goro-Goro”. Boleh percaya boleh tidak, kelak masa itu ---menurut prakiraan Prabu--- bakal menimpa negeri ini. Entah kapan, tidak ada yang bisa menjelaskan pasti, tetapi tergambar secara tersirat pada suluk (syair penuh makna filosofi)-nya yang ternyata masih “hidup” di tengah-tengah masyarakat hingga sekarang.

Selanjutnya oleh Ranggawarsita, Pujanggga Kraton Solo dekade 1800-an, ramalan Jayabaya diurai melalui sebuah karya berjudul “Jangka Jayabaya”. Bahkan era sebelum Ranggawarsita pun — yakni Sunan Kalijaga (1450-1546) juga menafsirkan melalui tanda-tanda. Tampaknya bangsa ini ---tak hanya Wong Jowo saja--- sangat akrab dengan tembang pertanda Kolobendu dari suluk kedua tokoh (Ranggawarsita dan Kalijaga) tadi. Adapun bunyi suluk tersebut antara lain:

(1) mengko yen mangsane kali ilang kedunge; (2) pasar ilang kumandhange, (3) wong wadon ilang wirange (Terjemahan bebasnya: (1) nanti akan ada masa atau saat ketika sungai kehilangan lubuk; (2) pasar kehilangan dengung dan (3) wanita hilang rasa malunya).

Melalui catatan sederhana ini, saya memberanikan menafsir dan mengulas tembang sakti para leluhur yang nyata “terbaca” dan riil terjadi di era kini. Dan mohon maaf bila terdapat kesalahan arti, maksud, ataupun interpretasi, terutama jika ditemui kedangkalan makna dalam menafsirkan local wisdom leluhur yang penuh filosofis — hal itu semata-mata keterbatasan penulis, bukan karena kedangkalan substansi suluk. Inilah ulasan sederhananya.

Kali Ilang Kedunge (Sungai Hilang Lubuknya)

Kedung atau istilah bahasa Indonesia disebut lubuk: “adalah bagian dalam dari satu aliran sungai”. Tentu dalam satu aliran sungai yang panjang, terdapat banyak lubuk. Pada satu kedung (lubuk), biasanya tergenang air dalam jumlah besar dan ada riak kehidupan, entah ikan atau satwa-satwa lain niscaya berkumpul termasuk tanaman, pepohonan, dll. Kedung memang cenderung rindang, sejuk, nyaman dan lainnya bahkan para warga di sekitarnya mengambil banyak manfaat atas keberadaan kedung. Artinya selain air, ikan dll suasana nyaman, juga kerapkali ada jalinan silahturahmi dengan sesama tetangga. Mungkin saat mereka mandi, mencuci pakaian dll —terlihat guyub— asri, rukun dan damai. Dan orang-orang dahulu bahkan hingga kini, seringkali memilih lokasi ritual tapa (itikaf) guna mendekat kepada-Nya di sekitar kedung.

Tetapi itu dahulu. Mungkin sekarang akan sedikit kesulitan mencari kedung yang asri dan rindang. Jangankan di kota, di wilayah pedesaan pun jarang ditemui kendati pada masyarakat tertentu masih dipertahankan, namun fungsinya telah bergeser menjadi taman rekreasi atau pariwisata komersil, tempat pacaran, dll. Tidak seperti dulu, peran dan fungsinya sebagai wadah silahturahmi hampir-hampir musnah ditelan masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun