Mohon tunggu...
Andri Setiawan
Andri Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku Membaca Maka Aku Ada

Kemampuan terbesar manusia adalah bergosip dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Relevansi Antara Konsep Ibnu Khaldun dengan Sosial Politik Indonesia Menuju Perubahan Kekuasaan Tahun 2024"

19 Juni 2021   22:47 Diperbarui: 19 Juni 2021   23:42 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan


Lengsernya rezim otoriter Orde Baru pada bulan Mei 1998 memberikan pengharapan yang sangat besar kepada bangsa Indonesia. Harapan itu berupa sejuknya rasa kebebasan dan indahnya keluar dari keterkungkungan tekanan yang membelenggu setelah hampir selama tiga dekade. Rakyat Indonesia ditekan oleh kepentingan penguasa, perlakuan subordinatif terhadap hak-hak asasi manusia, dan terutama hukum yang menjadi kendaraan politik karena hanya merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berkompetisi yang hanya berorientasi untuk kursi kekuasaan tanpa memikirkan nasib rakyatnya.

Setelah angin reformasi itu berhembus sebagai tonggak kemenangan kaum reformis ternyata sejumlah persoalan yang krusial terutama dalam bidang hukum muncul. Pada satu sisi ada keinginan kuat untuk memposisikan hukum sebagai 'mercusuar', artinya segala permasalahan yang muncul harus diselesaikan secara hukum sehingga hukum yang idealitanya sebagai "tool of social enginering" dapat terwujud. Pada sisi yang lain ada keinginan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang selalu mengapresiasi pluralitas, kebebasan, dan hak asasi manusia. Kondisi semacam ini disebabkan oleh karena ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi dua dimensi yang berbeda ini.

Selain di bidang hukum, akibat dari reformasi itu adalah tersedianya ruang besar dalam bidang politik (the free public sphere). Hal ini dapat dibuktikan dengan begitu banyaknya partai politik yang bermunculan beberapa bulan pasca reformasi tersebut, bak cendawan di musim hujan. Partai-partai itu baik yang berideologi nasionalis maupun berasaskan Islam baik secara substantif maupun simbolik. Beberapa partai politik khususnya yang berideologi Islam mencoba untuk menumbuhkan kembali diskursus tentang penerapan syari'at Islam di Indonesia, yaitu dengan memakai Al-Qur'an dan hadist sebagai dasar negara yang mana hal itu dilakukan untuk menarik dukungan massa terutama yang memandang bahwa segala sistem pemerintahan harus diberlakukan dengan menggunakan sistem Islam.

Memang, pembicaraan mengenai hubungan agama dan negara, sistem politik Islam, dan relasi Islam dengan ketatanegaraan merupakan tema yang sangat menarik untuk dibicarakan pada konteks kekinian. Sehingga sangatlah wajar jika pada dekade terakhir ini kajian tentang hubungan agama dan negara cukup intens dilakukan melalui gerakan-gerakan intelektual maupun kultural untuk mewujudkan renaissance Islam serta untuk membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang universal dan kffah.

Banyak buku dan arikel yang berbicara tentang tema ini dan satu sama lain sekan menunjukkan corak kompetitif dikarenakan metodologi yang dipakai sangat beragam. Tetapi ironisnya 'persaingan ilmiah' terebut terkadang mengabaikan perbedaan antara yang ilmiah dengan yang ideologois atau antara fakta sejarah dengan yang semata-mata keinginan subyektif, baik yang terkandung dalam wacana itu sendiri maupun pada wacana-wacana rujukan yang mereka gunakan. Padahal tema 'agama dan negara' adalah tema yang rentan dengan kepentingan politik dan tunduk pada kebutuhan serta logika politik.

Selama ini, terdapat tiga klasifikasi umat Islam dalam kaitannya dengan hubungan Islam dan tata negara. Pertama, yang berpendapat bahwa Islam bukankah sistem tentang hubungan manusia dan Tuhan saja seperti dalam pengertian Barat, namun Islam adalah suatu agama yang sempurna menyangkut pengaturan segala aspek kehidupan manusia  termasuk kehidupan bernegara. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Ketiga, aliran yang berpendirian bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan yang "ready for use" akan tetapi Islam hanya menyediakan seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Aliran ini merupakan jalan penengah antara kedua aliran sebelumnya.

Tulisan singkat ini akan menelisik persoalan sistem politik Islam dengan mengkaji pemikiran Ibnu Khaldun, karena pemikirannya dianggap sudah mampu merepresentasikan beberapa konsep intelektual Muslim di bidang sistem politik Islam ditambah dengan keunggulan yang dimiliki oleh Ibnu Khaldun dalam membuat formulasi yang tidak hanya bersumber dari aspek normatif (tekstual) tetapi juga mendasarkan pada aspek sosial, budaya, dan geografis. Dengan menggunakan pendekatan sosio-hostoris, secara sistematis pembahasan akan dimulai dengan memaparkan pemikiran Ibnu Khaldun tentang sistem politik Islam dilanjutkan dengan relevansi antara konsep Ibnu Khaldun dengan sosial politik Indonesia dan diakhiri dengan catatan penutup.

Riwayat Hidup


Abd. Al-Rahman Ibnu Khaldun lahir di Tunis pada awal ramadlan 732 H, atau 27 mei 1332 dan meninggal di Kairo pada 17 maret 1406. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian bermigrasi ke Sevilla (Spanyol) pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai Islam. Keluarga yang dikenal pro Umayyah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Sevilla Jatuh ke tangan penguasa Kristen pada tahun 1224. Setelah itu mereka tetap menetap di Tunisia.

Karena itulah, Ibnu Khaldun sebenarnya hidup pada masa kegelapan Islam, yakni sejak jatuhnya Spanyol ke tangan penguasa Kristen. Pada masa ini memang lebih dikenal sebagai masa pembukuan dan pensyarahan dari khazanah intelektual Islam terhadap era ke emasan Islam, terutama pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Hal ini disebabkan, Islam masih dalam tahap perkembangan dan perjuangan.

Kritikannya bahwa "penguasa Negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan" menyebabkan Ibnu Khaldun di penjara selama 2 tahun di Maroko. Selama kurang lebih dua dekade aktif dunia politik, serta menyaksikan penyusutan peradaban dan perpecahan dunia Islam. Hal ini yang mendorong Ibnu Khaldun menganalisa sebab-sebabnya dan meneliti kekacauan politik yang terjadi di Afrika Barat Laut (Lauer, 2003).

Sebagaimana diulas dalam buku Pengantarnya, Muqaddimah. Konsepsi sejarah pra Ibnu Khaldun lebih banyak menyajikan peristiwa sejarah, sementara latar belakang yang melahirkan sejarah tersebut mereka lupakan. Berbeda dengan mereka, Ibnu Khaldun justru mengkaji apa yang melatarbelakangi suatu peristiwa, yang dalam konsepsi Ibnu Khaldun dikenal dengan  Thaba'i al-Umran (dinamika internal sosial masyarakat). Di antara yang menjadi fokus kajian Ibnu Khaldun, yang dipandang sebagai salah satu hal yang melahirkan sejarah perpolitikan masa itu di dunia  Arab Islam khususnya adalah Ashobiah dan inilah yang menjadi obyek analisis penulis saat ini.

Konsep Ashabiyyah di Indonesia (Solidaritas Sosial dan Politik)

Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.

Di dalam menjalankan fungsinya, negara harus dipimpin oleh seorang kepala negara. Konsep kepala negara yang di cita-citakan oleh Ibnu Khaldun haruslah seorang yang berilmu, adil, mampu, sehat, dan dari keturunan Quraiys. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia maka sangatlah tepat dan relevan, kendati harus dilakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Kepala negara yang akan memimpin bangsa Indonesia haruslah orang yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Mustahil seorang dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara optimal jika tidak mempunyai perangkat keilmuan. Kontekstualisasi dari syarat 'dari keturunan Quraiys' adalah bahwa kapal negara atau pemerintah harus mempunyai kewibawaan dan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Suatu pemerintahan yang tidak legitimate akan mendapatkan kendala dalam menjalankan tugasnya.

Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas bebrapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multirelijius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.

Dalam konteks penerapan syariat Islam di Indonesia misalnya, maka sangat sulit diejawantahkan, karena kondisi geografis dan kultur masyarakat Indonesai jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Arab ketika ayat al-Qur'an diturunkan. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk peraturan dan sistem ketatanegaraan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam secara substantif bukan menjadi hal yang signifikan.

Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang paling esensi baginya adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tercapai, dengan tetap mengapresiasi dan mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif, universal dan berjiwa rahmatan li al-'lamn tidak mengalami kejumudan (stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada saat ini.

Teori Siklus


Pokok pikiran Ibnu Khaldun yang terpenting adalah teori sejarah masyarakat manusia sebagai proses yang tak berujung (unlimited proses), berputar dan melengkung terus menerus itulah yang oleh ilmuwan menyebutnya dengan teori lingkaran atau teori siklus. Teori ini dibangun berdasarkan penelitian pada rangkaian proses sejarah masyarakat sosial-politik, secara praktis Ibnu Khaldun juga terlibat dalam proses sejarah tersebut.


Berdasarkan kajian yang tertuang dalam buku Muqqddimah, teori siklus ini dapat diklasifikasi sebagai berikut:

Sejarah Sosial dan Model Generasi Politik


Tidak ada yang magis dari sejarah, perubahan abadi, spesies manusia dan masyarakat berkembang dari konflik. Pandangan itu dikemukakan Ibn Khaldun, ratusan tahun sebelum Giambatista Vico mengeluarkan tesis tentang bangkit dan runtuhnya peradaban, sebelum Charles Darwin menerbitkan The Origin of Species, dan mendahului pernyataan Karl Marx bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas.

Bergelut dengan tradisi filsafat Yunani dan pelbagai kronik sejarah dunia yang ditulis oleh kaum cendekia Laut Tengah pada masanya, Ibn Khaldun sampai pada pertanyaan-pertanyaan: Mengapa sebuah masyarakat punah? Mengapa orang berkumpul dan bercerai-berai? Bagaimana dampak kekuasaan pada subyek yang dikuasai?

Peradaban sejarah umat manusia dari masa ke masa tidak ada perubahan sedikit pun dan tuhan semesta selalu mempergilirkan sejarah peradaban tersebut. Seperti halnya peradaban yang pernah ada, dimulai dari kerajaan Babilonia yang menguasai dunia dimasa kejayaannya lama kelamaan akan mengalami keruntuhan dan mati, lalu selanjutnya diganti oleh kerajaan Persia, selanjutnya kerajaan Yunani, kerajaan Romawi, kerajaan Inggris lalu setelah nya muncul peradaban baru di tanah Arab yaitu era peradaban yang dibangun oleh Rasul Muhammad SAW dengan Khilafah nya, setelah wafatnya Khilafah Abu Bakar lalu muncullah Daulah Bani Umayyah (Syam) era Khulafaur Rasyidin, setelah keruntuhan Daulah Bani Umayyah lalu muncullah Bani Abbasiyah di Baghdad (Irak), lalu Andalusia, selanjutkan Dinasti kerajaan kesultanan Usmani Ottoman (Turki). Setelah keruntuhan total peradaban di tanah Arab maka muncullah peradaban baru di Eropa, di Amerika dan sekarang giliran peradaban Cina yang berkuasa dan ada kemungkinan peradaban setelah Cina runtuh bergeser ke wilayah timur yaitu "Indonesia".

Halaman sejarah baru ditorehkan Christopher Columbus (Italia) Pada 1492, dia berhasil menemukan daratan "dunia baru" yang sekarang dikenal dengan Amerika Serikat. Daratan Amerika Serikat merupakan wilayah yang kosong dan dijadikan pembuangan para narapidana. Columbus mempunyai keyakinan yang kuat bahwa kedepan daratan tersebut akan menjadi peradaban sejarah yang sangat maju dan perkembangan tetapi keyakinan tersebut malah menjadi bahan tertawaan oleh orang Eropa dan di anggap sebagai ide "Gila". Beberapa kali Columbus mengajukan proposal pembiayaan ekspedisi ke daratan Amerika Serikat kepada raja-raja Eropa seperti Raja Austria, Raja Perancis dan Raja Inggris tapi selalu ditolak, karena para raja Eropa menganggap bahwa daratan Amerika Serikat adalah daratan mati dan tidak berpenghuni. Tetapi Columbus tidak patah semangat hingga akhirnya pada tahun 1500 proposal tersebut dijawab oleh Isabella. Gayung pun bersamput, Isabella sangat tertarik dengan gagasan Columbus, bagaimanapun besarnya suatu kerajaan adalah ketika mampu menguasai dan memberdayakan "terra incognita" (pulau-pulau tak berpenghuni) yang kala itu masih terhampar luas diseluruh belahan bumi. Hingga Akhirnya, Amerika Serikat menjadi peradaban besar sampai sekarang bahkan dalam dunia lama tidak memprediksi kalau Amerika mengalami lonjakan "Peradaban Besar".

Pembaca yang budiman, saya menyakini bisa jadi kedepan akan terjadi peradaban besar di Asia kalau kita melihat lonjakan peradaban Amerika yang dimana pada zaman itu semua orang tidak bisa memprediksinya. Bisa jadi kedepan tukar mata uang dunia "dollar" akan diganti oleh mata uang "Yuan" atau sebaliknya jikalau Cina yang berkuasa hari ini mengalami keruntuhan, maka bisa jadi tukar mata uang dunia akan beralih ke "Rupiah". Terus dari mana kita melihatnya? Karena setiap peradaban sejarah punya siklus sendiri, berikutnya saya ambil contoh "Indonesia" yang dulu pernah dijajah oleh beberapa negara Eropa dan Asia. Sebagai generasi awal di era Soekarno adalah generasi pendobrak untuk merebut kemerdekaan dari negara penjajah. Setelah Soekarno berhasil menghantarkan ke depan pintu kemerdekaan baru estafeta siklus sejarah dipegang oleh Soeharto yang lebih dikenal dengan generasi penata, lalu selanjutnya menjadi generasi penikmat (kemewahan) akhirnya lupa tujuan dan sejarah. Maka runtuhlah Dinasti yang telah dibangun Soeharto selama 32 tahun. Setelah itu datanglah generasi yang menghancurkannya dan ambruk, setelah itu bangkit lagi. Seperti itulah Sunattullah yang terus berputar dan tidak bisa dihindari, sama halnya dengan siklus kehidupan manusia.

Bagaimana model generasi politik Indonesia


Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, Ibnu Khaldun memiliki gambaran tentang model generasi politik. Menurut dia, ada tiga model generasi, yaitu (1). Generasi Pendobrak (2). Generasi Penikmat (3). Generasi Penghancur. Ketiga model generasi ini ada secara berganti dalam beberapa kali proses pemerintahan atau berada dalam rentang waktu sekitar satu abad. Tidak ada status quo, karena keniscayaan proses sejarah manusia yang selalu berubah dan berputar. Maka kita hari ini harus memiliki kesadaran dulu, bahwa kita hari ini masuk ke generasi mana dulu? "Pendobrak, Penikmat atau Penghancur". Kalau saya berkeyakinan bahwa hari ini Indonesia masih generasi awal yaitu generasi pendobrak dan bukan generasi penikmat atau generasi penghancur, walaupun Indonesia telah merdeka. Kenapa? Karena kita belum pernah menikmati kemerdekaan.

Nasib bangsa Indonesia kedepan


Senada dengan hal tersebut, Dr Connie Rahakundini Bakrie (Analis Pertahanan dan Militer), mengatakan kalau Indonesia hari ini adalah "Negara Poros Maritim Dunia" Maka harus memiliki pertahanan yang kuat baik di darat, udara dan di laut. Melihat memanasnya suana di Laut Cina Selatan (Pasifik) antara Cina vs Amerika (sinyal akan terjadi perang dunia ke 3), maka pemimpin Indonesia harus mempunyai benteng geopolitik nasional dan dunia. Karena jikalau kedepan juga ikut perang pasti akan mengeluarkan budget yang besar untuk pertahanan negara dan kedaulatan wilayah, maka harus memiliki strategi yaitu,
Membagi Armada pertahanan laut menjadi 2 wilayah ;
(1). Armada Barat : Wilayah perairan (Indian Ocean), kita beraliansi dengan Cina.
(2). Armada Timur : Wilayah perairan Papua dan Sulawesi (Pasifik) kita beraliansi dengan Amerika Serikat dan geng aliansinya.

Di tahun 1960, di era perang dingin Amerika vs Rusia. Indonesia pada waktu itu merupakan negara baru merdeka, tetapi karena kepandaian Presiden Soekarno, di dukung oleh Geostrategis dan Sumber Daya Alam yang melimpah, Indonesia memiliki "Reaktor Atom Trigomat" yang bisa digunakan untuk membuat senjata Nuklir dan dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, Indonesia adalah satu-satunya negara bagian Selatan yang memiliki reaktor tersebut. Sehingga Indonesia tidak ikut perang dingin dan kepandaian Soekarno dalam bernegosiasi kepada Amerika dan Rusia, hingga kedua negara tersebut mendanai Indonesia. Jadi kita bisa ambil pelajaran yang besar dari The Founding Father kita bahwa untuk mempertahankan negara, kedaulatan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman tidak selamanya dengan uang, namun pada akhirnya semuanya tetap bergantung pada keberhasilan pemimpinnya dalam bernegoisasi dan di dukung oleh sumber daya alam maka selama itulah budget pertahanan negara minim dikeluarkan. Pertahanan dan keamanan adalah masalah bersama sebagai bangsa dan berlaku prinsip "Anyone, Anywhere, Anytime".

Kedepan Indonesia harus bisa memperkuat dan mempertajam Vision, Strategi dan doktrin pertahanan, "kenapa itu harus benar-benar diperhatikan?" Perang masa depan akan lebih mengerikan karena mengatasnamakan "kemanusiaan" sebagai contoh dulu negara-negara adikuasa berperang hanya memperebutkan sumber daya alam dan jalur perdagangan. Tapi sekarang sangat berbeda, karena kedepan akan ada operasi militer "humanitarian intervention" mengatasnamakan kemanusiaan dan HAM yang akan dijadikan sebuah senjata negara adikuasa dalam "Intervensi" suatu negara. Jikalau suatu negara tidak bisa menangani permasalahan keuangan dan kesejahteraan rakyat nya. 

Senada dengan hal tersebut, Mantan Presiden Soeharto mengingatkan akan bahaya situasi "globalisasi pada abad ke 21" di mana banyak serbuan produk asing yang masuk ke Indonesia. Dalam isi pidatonya Soeharto memberikan ingatan "Jika pemuda nanti kesemsem dengan produk yang murah namun hasil produksi luar negeri atau impor, hancur daripada bangsanya". Maka "Salah satu bentengnya adalah cinta produk dalam negeri, agar produsen dalam negeri tidak mati", kalau kita lihat realita yang terjadi hari ini nubuatan Soeharto menjadi kenyataan, dimana Cina dan Amerika sudah menguasai pangsapasar di Indonesia. Pesan yang tersirat beliau 26 tahun silam yaitu "Mari kita hidupkan kembali nasionalisme kita, dengan mencintai, membeli dan menggunakan produk dalam negeri". Jikalau para pemuda tidak memiliki jiwa Nasionalisme maka berakibat 'Banyak pengangguran tak bisa bekerja' karena matinya produksi dalam negeri akibat serbuan produk asing yang masuk yang mengakibatkan sepi pembeli dan berdampak gulung tikar sejumlah pabrik - pabrik dan home industri yang memproduksi produk dalam negeri.

Negara dan Ulama


Negara sebagai tempat berkumpulnya segala eleman dan lapisan masyarakat sudah tentu memiliki peran yang begitu besar terhadap kelangsungan hidup rakyat yang terdapat didalamnya. Negara jika kita ibaratkan, seperti sebuah rumah yang kokoh dengan pondasi dan pilar-pilar yang kuat. Pondasi yang kuat merupakan dasar dari pada sebuah bangunan. Ditambah lagi dengan pilar-pilar tiang penyangga yang kokoh dapat menopang rumah dari segala macam angin dan badai. Apalagi ditambah dengan campuran semen, pasir, koral, besi dan kerikil yang pas tentu saja menambah daya tahan lama dan tidaknya sebuah bangunan. Namun tidak menutup kemungkinan sebuah rumah dapat runtuh jika orang-orang yang tinggal didalamnya ingin menghancurkan rumah tersebut.

Berbicara tentang runtuhnya sebuah Negara tidak lepas dari peran masyarakat dan pemimpin. Banyaknya kerajaan-kerajaan dimasa keemasan islam maupun kerajaan yang notabenenya hindu-budha di Indonesia, memberikan gambaran kepada kita bahwa sebuah kekuasaan dapat runtuh begitu saja dan hanya menjadi sejarah dalam peradaban zaman. Ibnu Khaldun dalam teorinya tentang negara memberikan penggambaran fase-fase tentang runtuhnya sebuah negara dan kekuasaan.

Sehingga sejarah tidak terlepas dari perkembangan suatu peradaban, entah itu peradaban negara, kelompok, hingga zaman. Ibnu Khaldun mengklasifikasikan tumbuhnya suatu peradaban menjadi 6 tahap ;
Tahap pertama, negara memiliki solidaritas yang sangat tinggi, merasa lebih kompak dan tak terkalahkan karena solidaritas masyarakat yang kuat.


Tahap kedua, penguasa berusaha menguatkan kekuasaannya dan bertindak otoriter. Tidak hanya berbuat semena-mena, ia bahkan menyingkirkan musuh-musuhnya dan segala macam hal yang dapat merugikannya dan menggoyahkannya.


Tahap ketiga, negara mulai menikmati hasil dari pemerintah sebelumnya dan pada tahap ini solidaritas mulai lemah.


Tahap keempat, negara mulai statis, tidak ada kreativitas, tidak ada pembaharuan, dan negara mulai kacau.


Tahap kelima, penguasa mulai menghamburkan kekayaan, moral penguasa mulai rusak dan pada tahap ini korupsi, suap, nepotisme dan segala hal yang merusak negara mulai merajalela.


Tahap terakhir, negara hancur, pecah, dan bercerai-berai. Sepanjang sejarah banyak negara yang telah mengalami kehancuran, padahal negara tersebut pernah berjaya dan berkuasa hingga diakui seluruh dunia. Seperti, Ottoman Empire (1299-1922), Uni Soviet (1922-1991), Yugoslavia (1918-1992), Jerman Timur (1949-1990) dan Orde baru (1966 - 1998) Kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun tersebut, runtuh akibat demonstrasi yang dilakukan masyarakat dan mahasiswa. Akibatnya adalah terjadi perubahan besar-besaran terhadap ketatanegaraan Indonesia.

Satu pertanyaan, ada di tahap berapa posisi Indonesia saat ini? Jika kita di tahap pertama maka seharusnya rakyat kita seyogyanya bersatu. Jika di tahap kedua penguasa di negara kita menguatkan pemerintahannya.

Jika di tahap ketiga negara kita hanya menikmati hasil dari pemerintahan sebelumnya. Di tahap keempat negara kita kehilangan kreativitas dan negara stagnan. Di tahap kelima harusnya moral pemerintahan kita rusak, banyak korupsi, suap, dan jual beli jabatan atau di tahap terakhir negara kita hancur lebur.

Ibnu Khaldun memberikan solusi agar sebuah hancurnya agak lama karena sebuah negara pasti hancur, yang hanya membedakan hanya soal waktunya saja, solusinya yaitu pemerintah dengan melibatkan rakyat harus terus berfikir, mempunyai kreativitas baru dan memiliki terobosan-terobosan baru serta menghindari perusakan moral dari kelompok pemerintahan, jika kreativitas hilang dan moral penguasa rusak, tunggu waktunya saja, pasti hancur.

Adapun "Ulama", menurut Ibnu Khaldun, harus jauh dari persoalan-persoalan politik dan hal-hal yang rumit. Ulama adalah manusia yang paling jauh dari politik dan seluruh cabang-cabangnya. Ulama seharusnya menjauh dari dunia politik karena watak mereka lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam "dunia ide" dan "refleksi intelektual". Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat mereka bukan pada fakta-fakta empiris yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum atau apa yang disebut oleh Ibnu Khaldun sebagai "umur kulliyyah ammah".

Beberapa Pandangan Terhadap Pemikiran Ibnu Khaldun


Menurut Mark Zuckerberg (CEO Facebook), yang menarik dari Muqaddimah Ibnu Khaldun adalah fokus dan kemampuannya mengupas alur kemunculan masyarakat dan kebudayaan manusia, termasuk timbulnya kota, politik, perdagangan, hingga ilmu pengetahuan. Karena itu, meski hampir 700 tahun lalu diterbitkan, Mark merasa buku ini masih sangat relevan dan layak dibaca.

Teori-teorinya tentang berbagai studi ilmu pengetahuan merupakan temuan revolusioner yang diakui, sekaligus dirujuk oleh para pemikir besar dunia, seperti Adam Smith (1723---1790), Immanuel Kant (1724-1804), G.W.F Hegel (1770-1831), Karl Marx (1881-1883), Max Weber (1864---1920), Arnold J. Toynbee (1889---1975). Sebuah legacy yang membuatnya diakui sebagai Bapak Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Sejarah.

Tak hanya penting untuk para akademisi, buku ini juga penting untuk para pengambil kebijakan dan pebisnis. Presiden AS ke-40, Ronald Reagan, tercatat pernah sukses mengatasi inflasi di Amerika karena kitab Muqaddimah.

Penutup


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:


Menurut Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara berdasarkan nilai Islam secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas bebrapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal.


Dalam konteks ke-Indonesia-an konsep ini sangat relevan. Titik relevansinya terletak pada sistem politik dan ketetanegaraan Indonesai kendati tidak mengacu pada asas Islam secara formal, tetapi konstitusi itu masih tetap mengakomodasi nilai substantif Islam sebagai ruh dan jiwa (landasan etis).


Runtuhnya kekuasaan dalam prespektif Ibnu Khaldun perlu kita perhitungkan. Mengingat Indonesia banyak mengalami goncangan dari dalam yang menghasilkan berbagai macam gerakan-gerakan penentangan baik melalui media bahkan organisasi. Sebagai pemimpn yang baik, hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan perlu dihindarkan agar persoalan yang mengancam negeri ini dapat dikurangi. Sudah sepantasnya pemimpin yang baik juga memperhatikan masyarakatnya, tidak hanya golongan dan pribadi.


Maka untuk menyongsong road to tahun 2024, diperlukan pemimpin yang memiliki karakter seperti "Mursyid Allah", karena tugasnya membimbing, mendidik tanpa pamrih, menempa, menyucikan ucapan dan tindakan, menyayangi orang lemah, berbicara dengan bijaksana, selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara, dan sekaligus idola para murid/rakyat dalam memahami jalan-jalan spiritual menuju Allah Swt. Melalui proses pembersihan dan penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) dan pemahaman mendalam (ma'rifah). Selain sifat-sifat standar seperti 'alim, amanah, tawadhu', terpercaya, wara', sabar, teladan dalam pengamalan syari'ah, dan tentunya berakhlak mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun