Dalam konteks ke-Indonesia-an konsep ini sangat relevan. Titik relevansinya terletak pada sistem politik dan ketetanegaraan Indonesai kendati tidak mengacu pada asas Islam secara formal, tetapi konstitusi itu masih tetap mengakomodasi nilai substantif Islam sebagai ruh dan jiwa (landasan etis).
Runtuhnya kekuasaan dalam prespektif Ibnu Khaldun perlu kita perhitungkan. Mengingat Indonesia banyak mengalami goncangan dari dalam yang menghasilkan berbagai macam gerakan-gerakan penentangan baik melalui media bahkan organisasi. Sebagai pemimpn yang baik, hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan perlu dihindarkan agar persoalan yang mengancam negeri ini dapat dikurangi. Sudah sepantasnya pemimpin yang baik juga memperhatikan masyarakatnya, tidak hanya golongan dan pribadi.
Maka untuk menyongsong road to tahun 2024, diperlukan pemimpin yang memiliki karakter seperti "Mursyid Allah", karena tugasnya membimbing, mendidik tanpa pamrih, menempa, menyucikan ucapan dan tindakan, menyayangi orang lemah, berbicara dengan bijaksana, selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara, dan sekaligus idola para murid/rakyat dalam memahami jalan-jalan spiritual menuju Allah Swt. Melalui proses pembersihan dan penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) dan pemahaman mendalam (ma'rifah). Selain sifat-sifat standar seperti 'alim, amanah, tawadhu', terpercaya, wara', sabar, teladan dalam pengamalan syari'ah, dan tentunya berakhlak mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H