Atas kejadian di atas sangat jelas terlihat bahwa bukan saja Gubernur Ahok tak cukup memahami alur persoalan atas surat itu, tetapi yang lebih berbahaya adalah mengeluarkan tudingan terbuka kepada jajaran pemerintahan, atas pemahaman yang salah tersebut dengan bahasa yang sangat tidak pantas.
Kejadian hampir serupa juga terjadi saat Ahok mengungkapkan kekecewaannya terhadap Departemen Perhubungan terkait belum keluarnya izin operasi 5 bis tingkat sumbangan dari Tahir. Belakangan dari penjelasan pihak Departemen perhubungan diketahui, bus tingkat belum bisa beroperasi karena tidak sesuai dengan aturan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 menyebutkan, berat bus tingkat sebanyak 21-24 ton. Sedangkan, bus dari Tahir beratnya hanya 18 ton artinya lebih ringan 3 ton.
Kisruh APBD Â dan Hak Angket
Keributan dengan skala yang luas dan cenderung mengarah kepada krisis politik, akhirnya meledak antara Gubernur Ahok dan jajaran DPRD DKI Jakarta. Semua bermuara atas kisruh pembahasan APBD DKI 2015. Walaupun APBD itu sendiri telah disahkan pada tanggal 27 Januari 2015, tetapi belakangan muncul keributan.
Semua bertolak dari surat Depdagri yang mengembalikan draft APBD DKI 2015, alasannya karena selain beberapa dokumen kurang lengkap juga karena tidak adanya tanda tangan pimpinan DPRD di lampiran hard copy pembahasan setiap Komisi dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Permasalahan yang sejatinya sederhana ini, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kembali duduk bersama dan menyelesaikan poin-poin yang diminta Depdagri ternyata berujung konflik pernyataan di media dan berujung digulirkannya Hak Angket pada tanggal 26 Februari 2015.
Ahok seperti biasa -- sama seperti saat menerima surat undangan dari PAM Jaya langsung menyerang DPRD bahkan Kemendagri secara membabi buta di media. Yang tak elok, alih-alih mencoba mencari titik temu - Ahok justru membombardir tuduhan ke DPRD. Paling tidak sejauh yang saya bisa amati dari pemberitaan media, sejak pengembalian surat Mendagri itu hubungan Ahok dan DPRD terus memburuk.
Satu hal yang sangat nampak dari Ahok adalah, keengganannya keluar dari kenyamanan atas sikap pribadi untuk menengok kebenaran yang mungkin dimiliki atau terdapat di luar dirinya. Misalnya tentang kengototannya menggunakan e-budgeting yang tanpa tanda tangan DPRD sebagai dokumen yang dimasukkan ke Depdagri. Faktanya adalah sesuai peraturan format e-budgeting itu tidak bisa diterima karena seluruh lampiran pembahasan harus mendapat tanda tangan pimpinan DPRD.
Tugas Pemimpin Mencari Solusi
Kengototan Ahok atas pilihan sikapnya, dan keengganannya bersabar mencari informasi atas setiap permasalahan yang dihadapi -- menjadi kunci utama munculnya kesalahan-kesalahan komunikasi Ahok.
Alih-alih mencoba segera melakukan koordinasi dengan DPRD, atau klarifikasi ke Biro Hukum dan Dirut PAM jaya dalam kasus PAM -- Ahok seolah-olah justru lebih menikmati melakukan serangan terbuka ke jajaran DPRD dan jajaran PAM Jaya.