[caption id="attachment_399917" align="aligncenter" width="624" caption="Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di ruang kerja Gubernur, di Balaikota, Kamis (22/1/2015). (Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)"][/caption]
Drama kembali hadir di panggung politik kita. Setelah drama pelantikan kapolri baru mereda, panggung lain menampilkan drama yang tak kurang menarik. Kesepakatan bulat 106 anggota DPRD DKI untuk menggunakan Hak Angket terhadap kepemimpinan Gubernur Ahok.
Penggunaan Hak Angket DPRD DKI yang terutama dilandasi kisruh pembahasan APBD DKI tahun 2015, merupakan puncak dari sekian banyak konflik komunikasi yang melibatkan Gubernur Ahok. Beberapa hari sebelumnya, Ahok juga mengeluarkan pernyataan sangat keras cenderung kasar yang ditujukan kepada jajaran BUMD PAM Jaya. Di hari-hari sebelumnya, Ahok juga terlibat perdebatan dengan jajaran PLN terkait pemutusan listrik di beberapa pompa saat banjir, dan dengan jajaran Departemen Perhubungan terkait kelayakan 5 bus sumbangan konglomerat untuk Pemda DKI.
Ahok menjadi idola baru buat sebagian orang, atas gaya komunikasinya yang dianggap terbuka dan jujur. Bahkan tak sedikit yang membela gaya komunikasi Ahok yang cenderung kasar, dengan mengatakan "lebih baik kasar tapi jujur, daripada santun tapi korupsi". Ahok bersama Jokowi menjadi tokoh baru nasional, sejak bersama-sama menembus panggung DKI Jakarta, dan bahkan kemudian Jokowi meneruskan langkahnya menjadi presiden Indonesia.
Ahok terlihat sangat menikmati hembusan sentimen publik yang menyanjung kehadiran dan gaya komunikasinya. Tetapi angin yang terlalu sepoi memang kadang membuat terlena. Dan itu yang sekarang terjadi kepada Ahok. Ahok menjadi figur yang seolah-olah tidak bisa dikendalikan, hanya bermain-main dengan dirinya sendiri - bahkan ketika tampil dan memberikan pernyataan di depan publik yang bisa berdampak luas.
Tudingan Salah untuk PAM Jaya
Sebuah media menuliskan judul beritanya "Buat Saya semua Orang PAM Bajingan...." Ini kutipan langsung pernyataan Gubernur Ahok atas kemarahannya kepada segenap jajaran PAM Jaya yang dituduh Ahok mempermainkan dirinya.
"PAM nyuruh saya hadir ke sana langsung kirim ke Biro Hukum. Saya curiga ini main politik karena nggak ada ngomong sama saya, kan kurang ajar. Saya kasih materai kirim surat ke PAM. Malam hari saya dikirim surat (melalui fax) besok pagi dipanggil ke sana buat bikin surat perdamaian sama. Kalau saya nggak mau nanti mereka bilang saya nggak mau datang. Maksud lo apa, emang lo punya siapa?" lanjutnya.
Dirut PAM Jaya kemudian menjelaskan alasan munculnya kekisruhan itu. "Surat itu ditujukan kepada kuasa hukum masing-masing pihak yang terkait dalam gugatan privatisasi air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), salah satunya adalah Pemprov DKI. Oleh karena itu, PAM mengirimkan surat tersebut kepada Biro Hukum Pemprov DKI yang dianggap sebagai kuasa hukum.
"Jadi sebenarnya surat itu undangan yang ditujukan kepada seluruh tergugat. Jadi mulai dari Pak Presiden, Pak Wapres, Pak Menteri, sehingga memang yang dialamatkan kepada masing-masing itu dan dikirimnya kepada kuasa hukum tergugat, kepada yang mendapat mandat," ujar Sri Widayanto, Direktur Utama PAM Jaya.
Dari tudingan Ahok jelas terlihat, bahwa sebenarnya tidak ada kesalahan apa pun yang dilakukan oleh Direktur Utama apalagi seluruh jajaran PAM Jaya yang disebut bajingan itu. PAM Jaya hanya menyampaikan undangan yang memang harus disampaikan ke semua tergugat terkait upaya perdamaian atas gugatan yang muncul.
Atas kejadian di atas sangat jelas terlihat bahwa bukan saja Gubernur Ahok tak cukup memahami alur persoalan atas surat itu, tetapi yang lebih berbahaya adalah mengeluarkan tudingan terbuka kepada jajaran pemerintahan, atas pemahaman yang salah tersebut dengan bahasa yang sangat tidak pantas.
Kejadian hampir serupa juga terjadi saat Ahok mengungkapkan kekecewaannya terhadap Departemen Perhubungan terkait belum keluarnya izin operasi 5 bis tingkat sumbangan dari Tahir. Belakangan dari penjelasan pihak Departemen perhubungan diketahui, bus tingkat belum bisa beroperasi karena tidak sesuai dengan aturan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 menyebutkan, berat bus tingkat sebanyak 21-24 ton. Sedangkan, bus dari Tahir beratnya hanya 18 ton artinya lebih ringan 3 ton.
Kisruh APBD Â dan Hak Angket
Keributan dengan skala yang luas dan cenderung mengarah kepada krisis politik, akhirnya meledak antara Gubernur Ahok dan jajaran DPRD DKI Jakarta. Semua bermuara atas kisruh pembahasan APBD DKI 2015. Walaupun APBD itu sendiri telah disahkan pada tanggal 27 Januari 2015, tetapi belakangan muncul keributan.
Semua bertolak dari surat Depdagri yang mengembalikan draft APBD DKI 2015, alasannya karena selain beberapa dokumen kurang lengkap juga karena tidak adanya tanda tangan pimpinan DPRD di lampiran hard copy pembahasan setiap Komisi dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Permasalahan yang sejatinya sederhana ini, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kembali duduk bersama dan menyelesaikan poin-poin yang diminta Depdagri ternyata berujung konflik pernyataan di media dan berujung digulirkannya Hak Angket pada tanggal 26 Februari 2015.
Ahok seperti biasa -- sama seperti saat menerima surat undangan dari PAM Jaya langsung menyerang DPRD bahkan Kemendagri secara membabi buta di media. Yang tak elok, alih-alih mencoba mencari titik temu - Ahok justru membombardir tuduhan ke DPRD. Paling tidak sejauh yang saya bisa amati dari pemberitaan media, sejak pengembalian surat Mendagri itu hubungan Ahok dan DPRD terus memburuk.
Satu hal yang sangat nampak dari Ahok adalah, keengganannya keluar dari kenyamanan atas sikap pribadi untuk menengok kebenaran yang mungkin dimiliki atau terdapat di luar dirinya. Misalnya tentang kengototannya menggunakan e-budgeting yang tanpa tanda tangan DPRD sebagai dokumen yang dimasukkan ke Depdagri. Faktanya adalah sesuai peraturan format e-budgeting itu tidak bisa diterima karena seluruh lampiran pembahasan harus mendapat tanda tangan pimpinan DPRD.
Tugas Pemimpin Mencari Solusi
Kengototan Ahok atas pilihan sikapnya, dan keengganannya bersabar mencari informasi atas setiap permasalahan yang dihadapi -- menjadi kunci utama munculnya kesalahan-kesalahan komunikasi Ahok.
Alih-alih mencoba segera melakukan koordinasi dengan DPRD, atau klarifikasi ke Biro Hukum dan Dirut PAM jaya dalam kasus PAM -- Ahok seolah-olah justru lebih menikmati melakukan serangan terbuka ke jajaran DPRD dan jajaran PAM Jaya.
Ada dua hal yang berbahaya dari situasi ini, pertama berdasarkan kejadian-kejadian sebelumnya seringkali informasi Ahok tak cukup lengkap. Akibatnya pernyataan Ahok sering tidak akurat. Keuntungannya selama ini Ahok menyerang anak buahnya yang kebanyakan birokrat dan cenderung bisa menerima. Berbeda situasinya ketika gaya menyerang ini dia tujukan ke jajaran DPRD DKI.
Kedua, kegemarannya melakukan serangan terbuka dan bukannya mengklarifikasi akan selalu membuat permasalahan menjadi jauh lebih rumit. Akan lebih elok jika Ahok mengadakan konsultasi dengan jajaran DPRD, mengomunikasikan permasalahan yang terjadi tanpa harus mengorbankan integritasnya yang baik itu.
Sangat mungkin seperti yang dituduhkan Ahok, ada oknum DPRD yang punya kemauan tidak baik dalam pembahasan APBD. Tetapi itu adalah situasi yang dihadapi oleh semua Kepala Daerah bahkan Presiden saat melakukan pembahasan anggaran. Tugas Ahok selaku pemimpin adalah menghadapi situasi itu, mengupayakan titik temu dengan tetap memegang prinsip-prinsip kejujuran.
Ahok tidak bisa serta merta menuduh, melemparkan wacana, dan sejenisnya -- tanpa terlebih dahulu melakukan tugas utamanya sebagai kepala daerah untuk menjaga hubungan baik dengan legislatif, dan pihak-pihak lain di masyarakat. Menjaga anggaran agar terbebas dari korupsi adalah satu hal, tetapi kelangsungan tahapan-tahapan pembangunan adalah hal lain yang harus diperhatikan. Sebagai pemimpin pemerintahan, Ahok juga harus taat kepada norma hukum yang berlaku, seberapa buruk pun itu di matanya.
Kini pemerintah DKI bukan hanya menghadapi krisis politik, tetapi juga menghadapi ancaman krisis anggaran. Tahun 2014 faktanya penyerapan APBD DKI menunjukkan tingkat serapan terendah sepanjang sejarah. Ada kenyataan yang muncul bahwa kepemimpinan Jokowi Ahok baru berhasil dari sisi menjaga kepercayaan masyarakat dan menumbuhkan harapan, tetapi belum benar-benar mengantarkan keberhasilan.
Tugas pemimpin di mana pun adalah mencari solusi atas semua permasalahan yang terjadi dengan risiko terkecil buat masyarakat. Jika seorang sopir saat menghadapi tebing longsor langsung memilih putar balik dan terus mengutuk tebing yang longsor maka dia hanyalah seorang sopir. Dia bukan seorang pemimpin perjalanan, yang tugas utamanya adalah mengantarkan penumpang sampai ke titik yang dituju.
Saya memilih aktif mengingatkan Ahok, karena saya berkeyakinan dia adalah pemimpin perjalanan, bukan hanya sopir. Ahok harus ditegur dan diingatkan, agar lebih berhati-hati karena korban semua langkahnya bukanlah dirinya sendiri, tetapi harapan masyarakat yang begitu tinggi.
@mantriss
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H