Istilah golput ini digunakan untuk mencerminkan sekelompok masyarakat yang enggan untuk memberikan suaranya pada kontestan partai politik di pemilu.
Golput merupakan sebuah pilihan dari warga negara yang sudah terdaftar atau masuk dalam kategori pemilih (DPT) tetapi tidak memilih atau ikut dalam pemilu dengan arti kata mereka tidak menggunakan hak suara dalam pemilu sehingga tidak mendatangi TPS untuk mencoblos.
Sikap apatis masyarakat merupakan salah satu tingginya angka golput, hal ini bisa disebabkan karena adanya ketidakpedulian dari sebagian masyarakat terhadap politik.
Namun begitu, seseorang yang tidak memberikan hak suaranya dalam pemilu atau golput tidak dapat dikenakan sanksi pidana, karena hak untuk memilih atau tidak memilih dianggap sebagai hak konstitusional yang dilindungi negara (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 23 ayat 1).
Pemilih di Indonesia memiliki kebebasan untuk mengekpresikan pendapat mereka melalui golput tanpa dikenakan sanksi.
Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar.
Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.
Dikutip dari rilis Publikasi Statistik Politik Tahun 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), dapat dilihat berapa tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu setiap periodenya.
Tingginya partisipasi politik masyarakat menunjukkan bahwa di negara-negara demokrasi, rakyat mengikuti dan memahami masalah politik dan bersedia melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Tingginya tingkat partisipasi juga menunjukkan bahwa pemerintahan terpilih memiliki legitimasi tinggi.
Â