Mohon tunggu...
Manjaro Pai
Manjaro Pai Mohon Tunggu... Freelancer - Ayahnya Manjaro

Every day for us something new Open mind for a different view And nothing else matters (Metalica)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | 5 Menit di Liang Lahat Ibu

1 April 2020   14:38 Diperbarui: 1 April 2020   19:34 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Manjaro Pai (D.S.Samdani)

Selepas shalat Subuh berjamaah Jojo bergegas mengikat tali sepatu dan memasukkan kain sarungnya ke dalam tas. Dia lantas berlari ke arah jalan pintas menuju stasiun kecil dibelakang komplek perumahan yang baru jadi. 

Statsiun kereta itu berada di tengah lembah, untuk menuju kesana Jojo harus menuruni sedikit lereng, menyebrang sungai, lalu menyusuri pematang sawah beberapa ratus meter.

Hari masih gelap, tapi jalan setapak menuju lembah jelas terlihat. Dia turun perlahan menahan sepatu yang licin. Tampak di depannya beberapa orang sedang menunggu antrian untuk menyebrangi jembatan yang terbuat dari dua bilah batang kelapa.

Selepas menyebrangi jembatan, Jojo terpaksa berbaris dengan iring-iringan orang di depannya karena jalan yang dilalui adalah pematang sawah. Sialnya, di depan ada seorang ibu tua yang agak payah berjalan sehingga menghambat lajunya berjalan. 

Setibanya di depan halte, kereta sudah hampir tiba. Untung dia memiliki tiket terusan khusus untuk siswa sekolah. Begitulah aktivitas yang dijalani Jojo setiap pagi setelah krisis ekonomi yang turut menghantam keluarganya sehingga memaksanya harus tinggal di luar kota.

Sebetulnya tahun itu adalah tahun pertama Jojo lepas dari bayangan ibunya. Maklum saja, selama enam tahun dia berseragam Sekolah Dasar (SD) di tempat ibunya mengajar. Dia tergolong anak pandai sehingga bisa lulus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)  ternama di Kota Bandung. 

Sayang dia harus ikut mengungsi kedua orang tuanya ke luar kota dan tinggal di rumah familinya yang ditinggal kosong. Namun, meski pun mereka tinggal diluar kota, dia tetap memaksa untuk tidak pindah sekolah.

Tidak berbeda dengan pagi hari, selepas bel sekolah, Jojo bergegas berlari menuju Stasiun untuk mengejar kereta ke arah kota tempat tinggalnya. Bukan tidak ingin dia berlama-lama di sekolah bersama teman-temanya, tapi ada sesuatu yang dikhawatirkannya jika terlambat tiba di stasiun.

Setiba di stasiun, siang itu Jojo agak melambatkan larinya. Mukanya terlihat agak khawatir. Dia menuju ruang kepala stasiun dan bertanya dengan nada lemas, "Pak, kereta ke arah Barat sudah berangkat?"

Sengaja dia tetap bertanya, walaupun sudah tahu jawabannya.

"Sudah Dek barusan. Paling tunggu kereta selanjutnya sekitar satu setengah jam lagi," jawab bapak berperut gendut yang duduk di dalam ruang kepala statsiun.

Jawaban yang sebetulnya sudah dia ketahui membuatnya lemas dan terduduk lesu di tangga pintu masuk ruangan itu.

"Tunggu aja di sana dek. Ada banyak kursi, biar nyaman," bapak gendut tadi menyarankan.

"Tidak Pak. Kalo boleh, saya duduk disini saja dekat bapak. Boleh?" Jojo menjawab sambil matanya menatap tajam ke arah segerombolan pemuda yang sedang bercanda dan tertawa di deretan kursi ruang tunggu.

Si bapak gendut itu menatap sejurusan dengan pandangan Jojo. Tampak sekelompok anak muda yang katanya sering memalak anak-anak sekolah semacam Jojo, maka mngertilah bapak gendut itu mengapa Jojo memilih duduk di lantai tangga ruangannya. Jojo bercerita kepada bapak tersebut bahwa dia sempat beberapa kali menjadi korban dipalak oleh anak anak tersebut.

Hari terus berganti. Seperti manusia pada umumnya Jojo mulai terbiasa dengan aktivitas keseharian dan situasi di stasiun. Dari awalnya takut dipalak, lama-lama Jojo malah bergabung dengan berandalan tadi dan ikut-ikutan malak. 

Sampai suatu hari target sasarannya adalah seseorang yang berasal dari sekolah yang sama dengan Jojo. Dia menolak ikut. Bahkan dia malah membantu dan melindungi kawan satu almamater tersebut, hingga akhirnya terjadi pertengkaran antara Jojo dan ketua berandalan tersebut yang berujung dengan perkelahian satu lawan satu.

Perkelahian dilakukan di sebuah tempat pencucian kereta berbentuk sumur besar sedalam satu setengah meter dengan diameter sekira lima belas meter. Mereka berdua melakukan perkelahian tanpa teknik beladiri. 

Beruntung Jojo setiap pagi aktif berlari mengejar kereta sehingga fisiknya lebih siap dan kuat di banding kawan berandalnya. Sejak saat itu dia menjadi salah satu orang yang disegani di antara para berandalan kecil di stasiun itu. 

Tentu saja dia sudah tidak lagi khawatir untuk pulang terlambat. Terkadang saat Magrib dia baru sampai di rumah dengan alasan kuat, keretanya terlambat.

Hampir tiga tahun Jojo menjalani hari-hari yang keras dengan tetap mengutamakan prestasi di sekolahnya. Tiba saatnya kelulusan dan Jojo pun lulus dengan nilai memuaskan sehingga dia punya kesempatan untuk masuk Sekolah Menengah Atas paforit di Kota Bandung. 

Sayang keadaan ekonomi keluarganya belum cukup pulih, sehingga orang tuanya memaksa Jojo bersekolah di luar kota. Dengan terpaksa dan berat hati Jojo pun menurut apa yang diminta orang tuanya. Akhirnya Jojo bersekolah di sekolah negri terdekat.

Satu semester berlalu dijalani Jojo di sekolah tersebut dengan beberapa kali terlibat berkelahi dengan teman sekolahnya. Bahkan, dia berani berkelahi dengan kakak kelasnya sehingga membuat namanya populer.

Saat semester dua, kedua orang tua Jojo pindah kembali ke Kota Bandung. Jojo tetap bersekolah di sana, meskipun orang tuanya menawarkan untuk pindah ke sekolah di Kota Bandung. Jojo mulai tenggelam dengan dunia barunya. 

Dia yang awalnya pulang larut malam, lama-lama jadi sering tidak pulang. Semula cuma menginap di rumah kawannya, lambat laun jadi menginap di sekolah. Ya di ruangan sekolah yang biasanya digunakan untuk kegiatan organisasi.

Mental Jojo semakin tangguh. Hatinya semakin keras. Wataknya semakin bengal dan liar, meskipun tetap berprestasi di sekolah. Semakin hari semakin keras dan terus terbentuk hingga dia meranjak dewasa. 

Dia telah bermetamorposis dari seorang anak mama, korban palak brandalan, lalu menjadi anggota berandalan, hingga kini dia populer dengan kemandirian dan kekerasan hatinya. Semakin dewasa watak tersebut terus semakin mendarah daging.

Dua puluh tahun berlalu Jojo pun sudah berkeluarga, tetapi karakter kerasnya tak pernah berubah. Tidak ada sedikitpun rasa kangen kepada kedua orang tuanya, apalagi saudara-saudaranya yang entah dimana saat Jojo dipalak dulu, saat Jojo harus beradu jotos untuk sekadar bisa berangkat sekolah.

Pagi itu Jojo baru selesai mandi dan berdandan untuk berangkat kerja, lalu terdengar suara merdu dari arah pintu kamar,"Kang bagai mana kabar Ibu? Sudah dua bulan kita tidak tengok."

Mirna, adik kelasnya ketika dia masih bersekolah di SMA yang sekarang sudah menjadi istrinya menanyakan kabar ibu mertuanya.

"Kabar ibu? Ibu sakit. Kan kamu sudah tau," ujar Jojo menjawab santai sambil terus merapihkan pakaiannya, lalu berjalan keluar kamar dan duduk di meja, sambil meminum teh manis yang sudah disediakan Mirna.

"Nantilah kita tengok. Aku masih banyak urusan," sambung Jojo.

"Iya,  ibu sakit. Kalau sempat, aku ingin mencicipi mengurus Ibu Kang," pinta Mirna.

Jojo hanya tersenyum lembut mendengar permintaan istrinya.

Sambil berpamitan dan mengecup kening istrinya, Jojo mengusap pipi Mirna dan berkata lembut namun tetap menunjukkan kekerasan hatinya,

"santai saja, anak ibu gak cuman satu. Masih ada anaknya yang lain yang bisa mengurusnya, sedangkan anak-anak kita cuman kita yang wajib memenuhi keperluannya. Jadi ga usah kamu pikirkan orang tuaku. Fokus saja sama anak-anak ya."

"Aku yang ingin Kang. Aku yang butuh. Kita yang butuh berkah dari merawat orangtua, sebelum menyesal." Paksa Mirna, sambil berlalu.

Justru dengan santai seolah tanpa beban Jojo menjawab,"Iya. Nanti kita liburan di sana dan menginap satu atau dua hari."

Selanjutnya Jojo pergi dengan motor menuju tempatnya bekerja.

Pukul 12.30 siang Jojo baru keluar tempat meeting. Dia bergegas menuju kantin di sebelah musala. Lalu dia memasan kopi hitam untuk diminum selepas salat zuhur. Waktu hendak ambil air wudu sedikit antri sehingga dia sempatkan dulu meminum kopinya.

Tiba-tiba handphone (hp) jadul Jojo berdering. Dilihatnya nomor yang masuk adalah nomor abangnya, maka dikecilkan volume-nya dan masukan lagi ke kantong celananya. Tak lama berselang hp kembali bergetar tanpa suara. Dia kembali melihat nomornya, ternyata Mirna yang telpon. Segera Jojo angkat teleponnya.

"Asalamualaikum Kang. Maaf, Akang lagi sibuk?" tanya Mirna.

"Enggak juga. Ini akang lagi antri di musala sambil minum kopi. Ada apa?" Jojo balas kembali dengan pertanyaan.

"Abang barusan telpon, minta suruh Akang angkat telpon Abang. Katanya penting," sahut Mirna terburu-buru.

Dengan santai Jojo menjawab,"Malas ah. Sama Kamu aja. Tanya dia butuh apa. Terus kamu sendiri yang putusin, dikasih apa enggak."

"Ah, enggak boleh kayak gitu sama kakak sendiri. Kan gak selalu dia telpon hanya pas ada butuhnya sama kamu," ujar Mirna menegur suaminya.

"Tadi sudah aku tanya juga ada apa, tapi dia butuh ngomong langsung. Katanya soal ibu," lanjut Mirna.

Jojo tersipu ditegur sang istri, lalu berkata."Iya sayang, bidadariku yang cantik. Jangan marah dulu ya. Ini bergetar lagi ada nomer lain masuk, sepertinya Abang telfon. Dah dulu aku mau angkat telfon Abang."

Jojo lalu memindahkan hubungan telepon ke penelepon selanjutnya.

Tiba tiba diujung sana, terdengar suara khas Abangnya dengan nada kesal,"Dimana kamu! Ibu pingsan. Kalo bisa segera pulang."

Tanpa aba-aba abangnya terus nyerocos ngomelin adik bungsunya itu.

Jojo hanya menjawab"ya" setiap omongan abangnya tanpa membantahnya. Kemudian menutup teleponnya. Dia kembali menikmati kopi yang sudah agak dingin, lalu ke tempat wudu yang sekarang sudah kosong.

Telepon kembali berdering, tapi  kali ini dari keponakannya yang sudah dewasa. Jojo segera mengangkat telepon dari keponakannya.

"Assalammualaikum Om, dimana? Aku lagi dekat rumah Om. Anak-anak aku jemput ya? Kebetulan aku bawa mobil dan disuruh ayah jemput anak Om," ujar Ragil, keponakan Jojo.

Jojo hanya menjawab dengan nada dingin,"Enggak usah. Santai aja, jangan tegang. Nenekmu itu setiap bulan pasti menginap di rumah sakit. Pingsan  sebentar sudah biasa. Sudah ya, Om mau sholat dulu."

Saat Jojo salat, telepon kembali terus berbunyi, sampai sedikit mengggangu salatnya. Dengan muka agak merah dan emosi, dia angkat kembali tanpa melihat nomer siapa yang masuk. Terdengar suara perempuan menangis dan jelas itu suara kakak perempuannya.

"Jooo...Ibuuuu Joooo...Ibu sudah pergi Jo. Cepet kamu pulang Jo," kata kakak perempuan Jojo dengan suara serak.

"Ya, tunggu," jawab Jojo dengan tenang, lalu menutup teleponnya. Kemudian dia telepon Mirna dan meminta agar istrinya itu bersiap untuk pergi ke rumah ibunya.

Setiba di lokasi, suasana begitu ramai. Banyak orang yang datang. Saat Jojo keluar dari mobil disambut haru para tetangga dan keluarga. Namun Jojo tetap tenang dan tangguh seperti biasanya.

Karakter keras yang dibuatnya sejak menjalani hari pertama di jalanan membuatnya dingin seperti es. Tidak mudah baginya untuk memasang muka sedih.

Hingga acara pemakaman dimulai, Jojo tetap berdiri dengan muka tegap seperti tidak ada apa apa. Bahkan saat kakak-kakaknya terkulai lemas, dia malah bersemangat mengangkat keranda sampai ke pemakaman. Bahkan Jojo dengan sigap turun ke liang lahat untuk menerima jenazah dan menyimpannya dipojokan liang lahat.

Setelah semua ditempatkan dengan semestinya, maka Jojo diminta orang untuk melepaskan beberapa ikatan pada kain kafan jenazah ibunya. Lalu Jojo diperintahkan untuk membuka kain yang menutupi muka Jenazah.

Saat membuka kain yang menutup muka jenazah mendiang ibunya, Jojo sedikit heran dan dan benerapa kali mengusap matanya untuk biar lebih jelas. Dia heran, muka yang dia lihat bukan muka seorang ibu tua renta yang sakit-sakitan, tapi muka yang dia lihat jauh lebih muda dan segar. 

Lalu dia berusaha mengingat muka itu. Ya, itu muka guru SD-nya. Muka ibunya 35 tahun yang lalu. Wajah ibunya terlihat sangat muda saat hendak dimakamkan. Jojo hanya melihat heran dan masih melihat muka ibunya saat papan terakhir hendak dipasangkan.

Saat tanah mulai diturunkan, ingatan Jojo masih melayang. Dia seperti melihat sebuah film dalam pikirannya. Dengan melihat muka ibunya seperti 35 tahun lalu, maka semua kenangan yang terlintas selama beberapa puluh tahun lalu kembali hadir dalam kepalanya. 

Dia ingat saat-saat menjadi anak bungsu yang selalu dibawa ibunya kemana-mana. Dia ingat saat disuapin makan pagi, siang, dan malam. Jojo ingat semua kasih sayang ibunya saat dia masih kecil.

Sambil menginjak-injak tanah yang diturunkan ke liang lahat, memori pikiran Jojo terus melayang ke masa lalu sehingga membuat dia tertegun. Sesekali dia ditegur untuk tidak berpegangan pada dinding liang lahat. 

Saat ditegur itulah Jojo sadar kembali bahwa dia sedang berada di dalam liang lahat ibunya. Dia sedang menginjak-injak tanah untuk mengubur ibunya yang dulu menyusuinya  dan selalu membelanya saat semua kakak-kakak mengodanya.

Tak terasa butir tetes air mata mulai keluar dari mata seorang Jojo yang angkuh. Terdengar suara parau dari atas liang lahat, suara seorang laki-laki tua yang sedang berjongkok menatap Jojo,"Air matamu Jo. Ayah kangen air matamu. Tapi jangan sekarang Jo. Kasian Ibumu."

Segera Jojo membasuh airmatanya, lalu dia jongkok di bagian kepala Ibunya dan menggali kembali tanah yang sudah diinjak-injaknya. Sontak itu membuat yang lain kaget. Jojo dengan menahan air matanya histeris menggali kembali tanah sambil memanggil-manggil ibunya. 

Segera orang disekitarnya menarik Jojo dan mengangkatnya keluar dari liang lahat. Dia masih histeris memaksa ingin melihat muka ibunya dan ingin memeluknya. Sampai akhirnya mendarat sebuah tamparan di pipinya yang membuat dia sadar.

"Sudah tidak kau urus adekku, sekarang kau bikin rusuh pula di pemakamnya," kata seseorang dengan nada kesal dan diakhiri dengan tamparan ke dua. 

Suaranya sangat jelas dan mudah diingat. Suara berat dan bernada seperti orang berbicara bahasa Belanda. Dia Pak De, Kakak kandung ibu Jojo yang juga sahabat ayahnya. Hanya dia yang selama ini Jojo patuhi dari keluarga besar. Bahkan dibanding ayahnya sendiri.

Meski sedikit reda histeris Jojo, dia tetap terus menatap ke liang lahat ibunya sambil terus memanggilnya. Wajah muda sang bunda mengingatkan kembali semua kenangan saat dia masih kecil. Ya, semua kasih sayang yang dicurahkan seorang ibu kepadanya terputar kembali.

Jojo ingat kembali saat ibunya marah dan jengkel karena dia lupa mengerjakan tugas sekolah, padahal ibunya sendiri wali kelasnya. Dia mengingat kembali saat huruf pertama diajarkan sang ibu. Dia mengingat kembali semua yang diajarkan ibunya. Dia mengingat kembali satu pepatah ibunya saat pertama dia jauh dari rumah, "Nak, penting kamu jadi orang hebat, tapi lebih hebat kalau kamu bisa jadi orang benar."

Dia juga ingat kembali petuah ibunya saat dia pertama merasakan patah hati.

"Jangan kamu labuhkan cintamu pada siapapun. Bahkan ibu karena ibu pasti akan meninggalkan kamu juga. Hanya dua yang tidak akan pernah meninggalkanmu. Dia dan Kamu. Cintailah Dia yang menciptakanmu. Cintailah dirimu sendiri dan tangguhlah untuk orang-orang yang kamu sayangi," pesan ibunya dulu

Mirna menghampiri Jojo dengan kedua anaknya. Mereka bingung mau bagaimana. Selama mereka mengenal Jojo, tidak pernah melihat selemah itu.

Mirna memeluk Jojo yang masih terus menatap gundukan tanah sambil sesekali memanggil ibu.

Sudah habis orang di pemakaman saat Pak De mengangkat telunjuknya ke arah hidung Jojo sambil berkata,"Ibumu sudah tenang di sana. Jangan bikin dia susah di sana. Sekarang kamu berdiri dan tegakkan kembali mukamu. Kamu sudah tidak bisa mengurus dia, setidaknya kamu harus bisa membuat dia bangga."

Jojo hanya menurut, berdiri, dan meninggalkan pemakaman berjalan menuju rumah, tempat dia semasa kecil ditimang dan dimanja sang ibu. Jojo hanya duduk menyesal. 

Tak ada muka tangguh hari itu. Dia menyesal belum sempat membalas semua kebaikan ibunya yang terus kembali hadir  sejak melihat wajah ibunya di dalam liang lahat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun