Belakangan ini kata e-voting mendadak sering diperbincangkan. Hal ini dikarenakan adanya wacana penerapan sistem Pemilu elektronik atau teknologi e-voting dalam Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2019. Alasannya, supaya Pemilu dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih terjangkau, lebih cepat, dan praktis. Namun, sebelum kita memberikan dukungan atau menolak ide tersebut, ada baiknya kita kaji dahulu, bagaimana penerapan e-voting di beberapa negara dan sistem elektronik seperti apakah yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Sistem pemilu elektronik atau dikenal dengan e-voting bukanlah hal yang baru di dunia. Sistem ini telah diterapkan di beberapa negara seperti: Belanda, Brazil, Irlandia, Filipina, dan Amerika.
Belanda adalah salah satu negara pertama yang mengadopsi e-voting. Hal ini wajar mengingat Belanda terikat dengan Freedom of Information Act (FOIA). Dengan diberlakukannya e-voting di Belanda, data rekaman proses pemilihan umum akan lebih mudah didapatkan.
Untuk menerapkan e-voting, Belanda mengeluarkan perangkat hukum pada tahun 1965 terkait dengan pemanfaatan komputer dalam Pemilu. Adapun pengaplikasiannya baru dimulai pada akhir tahun 1980-an. Sejak tahun 1994, pemerintah Belanda telah aktif mensosialisasikan penggunaan e-voting. Penggunaan teknologi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam pelaksanaan Pemilu. Penerapan e-voting pada saat itu, disandingkan dengan jargon-jargon kemudahan, efisiensi waktu, kecepatan perhitungan suara, dan penghematan anggaran.
Inisiasi pemanfaatan e-voting di Belanda dilakukan tanpa melalui mekanisme kajian publik dan hampir tidak ada bahasan mengenai kelayakan sistem jika ditinjau dari sisi keamanan maupun verifikasi. Diskusi akademis saat itu, lebih banyak berkutat pada aspek kegunaan dan kemudahan pelaksanaan e-voting. Walaupun pemerintah Belanda menerbitkan prasyarat sistem e-voting pada tahun 1994, standar sistemnya masih belum dijelaskan secara mendetail, termasuk juga bagaimana mekanisme kontrolnya. Bahkan pada tahun 1999, pemerintah daerah mengembangkan sendiri perangkat lunak untuk sistem e-voting yang digunakan dalam pemilihan lokal mereka.
Dalam Pemilu 2004, Belanda menerapkan sistem pemilihan melalui internet sehingga pemilih yang tinggal di luar negeri dapat berpartisipasi secara online. Pada tahun 2006, 90 persen suara pemilih dipungut menggunakan sistem elektronik. Menariknya, seluruh sistem pemilu elektronik yang digunakan Belanda, disediakan oleh dua perusahaan pengembang swasta domestik. Pemerintah daerah diharuskan membeli perangkat tersebut seharga € 5000 (berkisar Rp. 60 juta dengan nilai tukar saat itu) per buah, serta masih dibebani biaya tambahan untuk perawatan, penyimpanan, distribusi dan persiapan saat akan digunakan dalam sebuah pemilihan daerah.
Pada tahun 2006, muncul kampanye yang bertajuk wij vertrouwen stemcomputers niet (kami tidak percaya sistem pemilu elektronik). Saat itulah, pemerintah mulai memberikan perhatian terhadap isu-isu yang muncul. Hanya dalam hitungan minggu, terjadi pergeseran paradigma terkait pandangan masyarakat atas e-voting. Kampanye yang berlangsung saat itu, membeberkan begitu banyak celah keamanan dalam sistem e-voting sehingga September 2007, Komisi Penasehat Pemilihan Umum menerbitkan laporan kritis berjudul "Voting with Confidence”, yang mendorong Sekretaris Negara Urusan Dalam Negeri mencabut Regulation for Approval of Voting Machine 1997. Lalu pada tanggal 1 Oktober 2007, Pengadilan Negeri Amsterdam akhirnya mencabut semua sertifikasi sistem e-voting dan kembali ke sistem pemilihan manual pada Mei 2008. Proposal untuk pengembangan sistem e-voting baru, sejak saat itu selalu ditolak.
Filipina merupakan negara ASEAN yang sudah menerapkan e-voting secara nasional sejak Pemilu enam tahun lalu. E-voting diberlakukan karena Filipina punya sejarah buruk dalam kecurangan Pemilu.
Pada Pemilu 1986, Ferdinand Marcos terbukti melakukan kecurangan sehingga mulai tahun 2010, Filipina mengadopsi e-counting untuk tiga kali Pemilu dari tahun 2010, 2013, dan 2016. E-counting memungkinkan perhitungan suara yang lebih cepat daripada cara manual.
Dari segi partisipasi pemilih, e-voting berperan besar dalam peningkatan partisipasi masyarakat. Sistem Pemilu Elektronik di Filipina berhasil meningkatkan partisipasi pemilih dari 74,99% pada tahun 2010 menjadi 77,57% pada tahun 2013, dan 81,62% pada tahun 2016.
Dari segi kecepatan, peningkatan kecepatan perolehan hasil Pemilu dengan penerapan e-voting sangatlah signifikan. Pada tahun 2010, hasil tidak resmi Pilpres dapat diketahui 2 jam setelah TPS ditutup. Padahal pada sistem Pemilu manual tahun 2004, hasil Pilpres baru diketahui setelah 40 hari. Kecepatan penghitungan suara ini mampu menurunkan angka konflik akibat Pemilu. Pasca Pemilu 2010, polisi Filipina mencatat insiden terkait Pemilu turun hingga 50% dibandingkan Pemilu 2004 dan turun 65% dibandingkan Pemilu 2007.
Selain menuai pujian karena kecepatan dan menurunnya konflik, Filipina juga mendapat kritikan terutama soal keamanan sistem, persoalan transparansi, dan kendala teknis.
Bagaimanakah dengan Indonesia?
Ketergesaan dalam mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak tidak boleh terjadi. Termasuk pula ketergesaan dalam menentukan apakah bangsa ini akan menggunakan sistem elektronik (e-voting) dalam Pemilu Presiden. Untuk sebuah safety-critical system dengan tingkat resiko yang sangat tinggi seperti e-voting, ketergesaan adalah kehancuran.
Terdapat argumen bahwa untuk meningkatkan sistem Pemilu, kita perlu menerapkan alat pemungutan suara elektronik (electronic voting machines, e-voting) atau mesin penghitungan suara elektronik (e-counting) di TPS. Beberapa pihak merespon pernyataan ini dengan menyatakan bahwa Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan teknologi yang rumit ini dalam Pemilu Presiden tahun 2019 mendatang.
Harus disadari bahwa e-voting bukanlah tongkat sihir yang dapat memperbaiki sistem pemilihan di Indonesia. Masalah-masalah Pemilu yang ada saat ini sebenarnya bisa diatasi dengan perbaikan sistem administrasi, pengetatan pengawasan, atau penguatan landasan hukum dan regulasi; tanpa harus melibatkan teknologi seperti e-voting. Kesiapan industri nasional terkait pengadaan, penyediaan, dan pengembangan sistem e-voting dalam Pemilu Presiden juga perlu dipikirkan.
Perlu dipahami bahwa tidak banyak pihak dalam jajaran pemerintah, yang memiliki adequate understanding tentang teknologi untuk Pemilu. Lalu bagaimana solusinya? Apakah kita akan menyerahkan pengelolaannya pada swasta?
Sistem pemilu elektronik Indonesia tidak boleh diserahkan kepada pihak pengembang swasta (konsultan teknologi) dengan berbagai macam alasan. Kegagalan penerapan e-voting di Irlandia, Belanda, dan Jerman terjadi karena memberikan mandat pengembangan sistem e-voting kepada pihak swasta. Pengembangan sistem e-voting oleh swasta di Irlandia, Belanda, dan Jerman menisbikan transparansi dan ketersediaan informasi publik, membatasi keterlibatan publik dalam proses pengembangan sistem, meniadakan sistem kontrol dan evaluasi, sehingga akhirnya menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem, penyelenggara, dan hasil pemilu.
Menerapkan e-voting bukan hanya soal mengganti kertas suara menjadi surat-suara elektronik, namun juga soal validitas dan keamanan transaksi elektronik. Produk hukum, infrastuktur, kesiapan masyarakat, efektivitas mekanisme kontrol, dan kesadaran publik perlu dikaji terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk memakai e-voting.
Sistem e-voting (jika memang akan diterapkan) perlu diuji terlebih dahulu dalam kerangka: fairness, eligibility, privacy, receipt-freeness, coercion-resistance, dan verifiability. Sistem e-voting yang diajukan pun harus menghindari over-complexity, dan fungsi-fungsi enkripsi keamanan harus dipahami publik. Sebuah sistem e-voting perlu dibuat sesederhana mungkin. Para perancang harus menghindari penggunaan algoritma yang terlalu sukar dan mendasarkan rancangan mereka atas arsitektur sistem yang sederhana. Semakin rumit sebuah sistem, maka semakin sulit untuk diuji dan dinilai, yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat. Hal ini berlaku pula untuk fungsi-fungsi enkripsi. Bahkan, jika memang penggunaan algoritma enkripsi yang kompleks tidak dapat dielakkan, fungsi-fungsi tersebut harus tetap dipublikasi agar masyarakat mengetahui.
Memperlakukan sistem e-voting seperti halnya piranti lunak komersial atau sebaliknya, seperti layaknya sebuah proyek rahasia, tentunya tidak akan membuat masyarakat percaya.
Salah satu aspek fundamental yang membuat masyarakat Indonesia percaya terhadap proses Pemilu secara manual adalah kemampuan mereka untuk melihat dan memahami proses dan hasil pemilu di tingkat TPS. E-voting dan e-counting adalah teknologi kompleks yang mungkin akan sukar digunakan dan dipahami, sehingga sulit pula untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Dengan maraknya berita mengenai peretasan (hacking) dan manipulasi sistem komputer, teknologi pemungutan ataupun penghitungan suara tidak membangun kepercayaan dan malah berpotensi meningkatkan kecurigaan. Manipulasi alat tersebut, ataupun munculnya persepsi bahwa alat tersebut dimanipulasi, dapat menghancurkan hasil pemilu di masa depan dan mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia.
Pertanyaan yang mungkin muncul di masyarakat dengan pemberlakuan e-voting atau e-counting adalah:
- Sejauh mana e-voting rentan terhadap serangan hacker?
- Apakah e-voting tidak mempersulit para pemilih berkebutuhan khusus/difabel?
- Apakah e-voting memberikan kesempatan bagi pemilih untuk memverifikasi hasil?
- Apakah betul manufaktur mesin e-voting tidak terikat pada Partai Politik tertentu, atau elit politik dari Partai Politik tertentu?
- Apakah e-voting dapat mengamankan suara pemilih?
- Apakah ada jaminan bahwa mesin e-voting tidak dapat diprogram untuk mengubah hasil Pemilu?
Asumsi bahwa penerapan e-voting atau e-counting dalam Pemilu membuat negara kita tampak lebih maju adalah asumsi yang sesat.
Kita sebaiknya belajar dari pengalaman dan kegagalan negara-negara lain. Hanya beberapa negara demokrasi di dunia yang masih menerapkan alat tersebut. Sementara, sebagian besar negara telah kembali ke penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual. Alasannya utamanya adalah untuk mencegah manipulasi dan masih kurangnya pemahaman atau kepercayaan publik.
Dalam diskusi yang dilakukan belakangan ini, juga populer istilah e-recapitulation (e-rekap). E-rekap adalah sistem di mana penghitungan, pengiriman, dan penayangan hasil pemilu resmi akan dikomputerisasi secara aman, akurat, transparan, dan cepat. Hasil resmi yang kredibel dapat dihasilkan beberapa hari setelah Pemilu, layaknya di negara-negara lain yang demokrasinya sudah maju.
Persoalan Pemilu di Indonesia saat ini adalah panjangnya proses rekapitulasi yang memakan waktu hingga dua minggu. Padahal di negara-negara lain, proses rekapitulasi tidak sampai seminggu. Bahkan ada pula yang bisa selesai dalam hitungan hari. Proses yang panjang ini, berpotensi menimbulkan terjadinya penggelembungan dan jual beli suara yang dilakukan oleh oknum petugas rekapitulasi.
Pengamat Pemilu, Ramlan Surbakti menilai bahwa rencana pemerintah dan DPR untuk menerapkan e-voting pada Pemilu 2019 tidak relevan dengan permasalahan Pemilu di Indonesia. Ramlan mengatakan bahwa model pencoblosan dan penghitungan suara secara manual justru bisa lebih meminimalisir kecurangan dan kesalahan ketimbang sistem e-voting.
Titi Anggraeni, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan bahwa rekapitulasi elektronik (e-rekap) adalah teknologi pemilu yang dibutuhkan Indonesia. Bukan e-voting.
Jadi, kita tidak boleh cepat termakan oleh klaim e-voting atau e-counting yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Pemanfaatan teknologi dalam Pemilu tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa, penuh ambisi, apalagi hanya ikut-ikutan. Pengadopsian sebuah teknologi atau sistem elektronik haruslah disesuaikan terlebih dahulu dengan kebutuhan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H