Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengkaji Sistem Pemilu Elektronik

18 Maret 2017   00:00 Diperbarui: 18 Maret 2017   10:00 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaan Pemilu (Sumber: The Conversation).

Pertanyaan yang mungkin muncul di masyarakat dengan pemberlakuan e-voting  atau e-counting adalah:

  1. Sejauh mana e-voting rentan terhadap serangan hacker?
  2. Apakah e-voting tidak mempersulit para pemilih berkebutuhan khusus/difabel?
  3. Apakah e-voting memberikan kesempatan bagi pemilih untuk memverifikasi hasil?
  4. Apakah betul manufaktur mesin e-voting tidak terikat pada Partai Politik tertentu, atau elit politik dari Partai Politik tertentu?
  5. Apakah e-voting dapat mengamankan suara pemilih?
  6. Apakah ada jaminan bahwa mesin e-voting tidak dapat diprogram untuk mengubah hasil Pemilu?

Asumsi bahwa penerapan e-voting atau e-counting dalam Pemilu membuat negara kita tampak lebih maju adalah asumsi yang sesat.

Kita sebaiknya belajar dari pengalaman dan kegagalan negara-negara lain. Hanya beberapa negara demokrasi di dunia yang masih menerapkan alat tersebut. Sementara, sebagian besar negara telah kembali ke penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual. Alasannya utamanya adalah untuk mencegah manipulasi dan masih kurangnya pemahaman atau kepercayaan publik.

Dalam diskusi yang dilakukan belakangan ini, juga populer istilah e-recapitulation (e-rekap). E-rekap adalah sistem di mana penghitungan, pengiriman, dan penayangan hasil pemilu resmi akan dikomputerisasi secara aman, akurat, transparan, dan cepat. Hasil resmi yang kredibel dapat dihasilkan beberapa hari setelah Pemilu, layaknya di negara-negara lain yang demokrasinya sudah maju.

Persoalan Pemilu di Indonesia saat ini adalah panjangnya proses rekapitulasi yang memakan waktu hingga dua minggu. Padahal di negara-negara lain, proses rekapitulasi tidak sampai seminggu. Bahkan ada pula yang bisa selesai dalam hitungan hari. Proses yang panjang ini, berpotensi menimbulkan terjadinya penggelembungan dan jual beli suara yang dilakukan oleh oknum petugas rekapitulasi.

Pengamat Pemilu, Ramlan Surbakti menilai bahwa rencana pemerintah dan DPR untuk menerapkan e-voting pada Pemilu 2019 tidak relevan dengan permasalahan Pemilu di Indonesia. Ramlan mengatakan bahwa model pencoblosan dan penghitungan suara secara manual justru bisa lebih meminimalisir kecurangan dan kesalahan ketimbang sistem e-voting.

Titi Anggraeni, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan bahwa rekapitulasi elektronik (e-rekap) adalah teknologi pemilu yang dibutuhkan Indonesia. Bukan e-voting.

Jadi, kita tidak boleh cepat termakan oleh klaim e-voting atau e-counting yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Pemanfaatan teknologi dalam Pemilu tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa, penuh ambisi, apalagi hanya ikut-ikutan. Pengadopsian sebuah teknologi atau sistem elektronik haruslah disesuaikan terlebih dahulu dengan kebutuhan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun