Selain menuai pujian karena kecepatan dan menurunnya konflik, Filipina juga mendapat kritikan terutama soal keamanan sistem, persoalan transparansi, dan kendala teknis.Â
Bagaimanakah dengan Indonesia?
Ketergesaan dalam mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak tidak boleh terjadi. Termasuk pula ketergesaan dalam menentukan apakah bangsa ini akan menggunakan sistem elektronik (e-voting) dalam Pemilu Presiden. Untuk sebuah safety-critical system dengan tingkat resiko yang sangat tinggi seperti e-voting, ketergesaan adalah kehancuran.
Terdapat argumen bahwa untuk meningkatkan sistem Pemilu, kita perlu menerapkan alat pemungutan suara elektronik (electronic voting machines, e-voting) atau mesin penghitungan suara elektronik (e-counting) di TPS. Beberapa pihak merespon pernyataan ini dengan menyatakan bahwa Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan teknologi yang rumit ini dalam Pemilu Presiden tahun 2019 mendatang.
Harus disadari bahwa e-voting bukanlah tongkat sihir yang dapat memperbaiki sistem pemilihan di Indonesia. Masalah-masalah Pemilu yang ada saat ini sebenarnya bisa diatasi dengan perbaikan sistem administrasi, pengetatan pengawasan, atau penguatan landasan hukum dan regulasi; tanpa harus melibatkan teknologi seperti e-voting. Kesiapan industri nasional terkait pengadaan, penyediaan, dan pengembangan sistem e-voting dalam Pemilu Presiden juga perlu dipikirkan.
Perlu dipahami bahwa tidak banyak pihak dalam jajaran pemerintah, yang memiliki adequate understanding tentang teknologi untuk Pemilu. Lalu bagaimana solusinya? Apakah kita akan menyerahkan pengelolaannya pada swasta?
Sistem pemilu elektronik Indonesia tidak boleh diserahkan kepada pihak pengembang swasta (konsultan teknologi) dengan berbagai macam alasan. Kegagalan penerapan e-voting di Irlandia, Belanda, dan Jerman terjadi karena memberikan mandat pengembangan sistem e-voting kepada pihak swasta. Pengembangan sistem e-voting oleh swasta di Irlandia, Belanda, dan Jerman menisbikan transparansi dan ketersediaan informasi publik, membatasi keterlibatan publik dalam proses pengembangan sistem, meniadakan sistem kontrol dan evaluasi, sehingga akhirnya menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem, penyelenggara, dan hasil pemilu.
Menerapkan e-voting bukan hanya soal mengganti kertas suara menjadi surat-suara elektronik, namun juga soal validitas dan keamanan transaksi elektronik. Produk hukum, infrastuktur, kesiapan masyarakat, efektivitas mekanisme kontrol, dan kesadaran publik perlu dikaji terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk memakai e-voting.
Sistem e-voting (jika memang akan diterapkan) perlu diuji terlebih dahulu dalam kerangka: fairness, eligibility, privacy, receipt-freeness, coercion-resistance, dan verifiability. Sistem e-voting yang diajukan pun harus menghindari over-complexity, dan fungsi-fungsi enkripsi keamanan harus dipahami publik. Sebuah sistem e-voting perlu dibuat sesederhana mungkin. Para perancang harus menghindari penggunaan algoritma yang terlalu sukar dan mendasarkan rancangan mereka atas arsitektur sistem yang sederhana. Semakin rumit sebuah sistem, maka semakin sulit untuk diuji dan dinilai, yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat. Hal ini berlaku pula untuk fungsi-fungsi enkripsi. Bahkan, jika memang penggunaan algoritma enkripsi yang kompleks tidak dapat dielakkan, fungsi-fungsi tersebut harus tetap dipublikasi agar masyarakat mengetahui.
Memperlakukan sistem e-voting seperti halnya piranti lunak komersial atau sebaliknya, seperti layaknya sebuah proyek rahasia, tentunya tidak akan membuat masyarakat percaya.
Salah satu aspek fundamental yang membuat masyarakat Indonesia percaya terhadap proses Pemilu secara manual adalah kemampuan mereka untuk melihat dan memahami proses dan hasil pemilu di tingkat TPS. E-voting dan e-counting adalah teknologi kompleks yang mungkin akan sukar digunakan dan dipahami, sehingga sulit pula untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Dengan maraknya berita mengenai peretasan (hacking) dan manipulasi sistem komputer, teknologi pemungutan ataupun penghitungan suara tidak membangun kepercayaan dan malah berpotensi meningkatkan kecurigaan. Manipulasi alat tersebut, ataupun munculnya persepsi bahwa alat tersebut dimanipulasi, dapat menghancurkan hasil pemilu di masa depan dan mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia.