Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Urgensi Kesadaran Etika dan Estetika di Tengah Maraknya Propaganda

12 Februari 2017   06:39 Diperbarui: 17 Februari 2017   18:47 1980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka juga menggunakan kata-kata yang sopan, sehingga nampak suasana saling hormat-menghormati, walaupun perbedaan pendapat di antara mereka demikian tajam. Diskusi yang dilakukan secara intelektual, tidak didasari oleh rasa prasangka atau kebencian. Diskusi keilmuan adalah adu argumen berdasarkan pendapat yang sama-sama kuat, untuk akhirnya menemukan kebenaran atau untuk memahami kompleksitas persoalan dari perspektif yang berbeda-beda. Perdebatan semacam ini, mampu memperkaya keilmuan kita, karena argumen yang dikemukakan tidak hanya berasal dari dugaan, prasangka, atau gosip burung, namun betul-betul merupakan hasil pemikiran yang perlu kita telaah atau kita kaji kebenarannya.

Diskusi semacam ini mampu membentuk cara berpikir yang kritis. Kritis disini mengindikasikan sikap tertentu dalam berpikir atau bertindak yang mengambil jarak, tidak mau terima begitu saja pendapat, keadaan, cara berpikir tertentu, dan sebagainya. Berpikir kritis bisa kita pahami sebagai aktivitas berpikir dalam cara tertentu yang melibatkan observasi atau keterampilan dalam mengambil putusan. Berpikir secara kritis memampukan seseorang untuk dapat mempertanyakan, tidak menerima segala sesuatu secara dogmatis, menunda terlebih dahulu putusan-putusannya untuk melihat dan memahami suatu objek secara lebih mendalam.

Berpikir kritis mendeskripsikan kemampuan kognitif serta watak intelektual yang diperlukan untuk secara efektif mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi argumen-argumen dan klaim-klaim kebenaran, untuk menghindari prasangka dan bias dalam suatu permasalahan; menyusun alasan-alasan yang mendukung kesimpulan; serta untuk membuat keputusan yang cerdas mengenai apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Jeff Myer dalam bukunya Understanding the Culture (2017), “Critical thinking is cognitive skills and intelectual dispositions needed to effectively identify, analyze, and evaluate arguments and truth claims; to discover and overcome prejudices and biases; to formulate and present convincing reasons in support of conclusions; and to make reasonable, intelligent decissions about what to believe and what to do.”

Jadi, diskusi intelektual disini merupakan debat sehat yang didasarkan pada pemikiran kritis terhadap suatu masalah. Ada analisis yang dilakukan sebelum kita menyimpulkan sesuatu. Perbedaan pandangan semacam ini justru diperlukan, untuk mengembangkan kemampuan kognitif, watak intelektual, serta mengembangkan cara berpikir seseorang. Polemik atau masalah yang bernuansa intelektual sebagaimana saya gambarkan di atas, tentu berbeda jauh dengan kegiatan agitasi dan propaganda.

Sekilas Mengenai Agitasi dan Propaganda

Propaganda bermacam-macam bentuknya. Ada yang disebut dengan soft propaganda, yaitu propaganda yang lebih menonjolkan kekuatan budaya, melalui diplomasi yang penuh persahabatan. Diskusi ini masih menjunjung etika dan estetika walau tujuan akhirnya menggiring opini publik. Ada juga yang dinamakan dengan hard propaganda, yaitu propaganda yang lebih menonjolkan hal-hal yang negatif yang sama sekali tidak ada etika atau sopan santunnya. Propaganda jenis ini sama sekali bukan solusi untuk meraih tujuan atau menyelesaikan permasalahan, melainkan malah menambah kerumitan dan kompleksitas masalah yang terjadi di masyarakat.

Menurut sifatnya, ada yang disebut dengan white propaganda, merupakan propaganda yang secara jujur, benar, dan sportif serta sumbernya jelas. Ada yang disebut dengan black propaganda, merupakan propaganda yang licik, palsu, dan menuduh sumber lain melakukan tindakan tersebut. Ada pula grey propaganda, merupakan propaganda yang kurang jelas (tujuannya samar-samar) sehingga menimbulkan keraguan. Terakhir adalah rational propaganda yaitu propaganda yang dilakukan dengan tujuan yang rasional.

Tujuan propaganda adalah menanamkan gagasan tertentu, memperlemah bahkan menggagalkan gagasan seseorang mengenai suatu hal, dan menggiring opini publik kepada suatu maksud tertentu, baik yang bersifat jangka pendek ataupun jangka panjang.

Adapun istilah agitasi dan propaganda ini sangat terkenal di masa partai komunis masih kuat pengaruhnya. Sebelum itu, Adolf Hitler dan Jozef Goebbels telah merancang propaganda Nazi dengan sangat canggih. Hampir semua partai fasis dan partai komunis mempunyai suatu badan tersendiri yang menangani masalah ini. Badan itu mereka namakan dengan “Departemen Agitasi dan Propaganda” atau Agitprop yang berada di bawah komite sentral partai tersebut.

Agitasi adalah menyerang lawan dengan segala cara dengan tujuan untuk merendahkan, memojokkan dan menjatuhkan. Pilihan kata-kata sangat tajam dan lugas. Propaganda mempunyai nada yang hampir sama, yakni menyampaikan fakta atau bukan fakta kepada publik dengan maksud untuk membentuk opini publik, sesuai yang diinginkan oleh sang propagandis. Dalam propaganda, segala kedustaan, penjungkir-balikan fakta, rumor, dan fitnah adalah halal belaka. Agitasi dan propaganda melahirkan perang urat syaraf atau psychological war.

Sering kali kita melihat, ada tulisan-tulisan yang mengundang timbulnya polemik yang bernuansa intelektual. Namun ada pula, tulisan-tulisan yang mengandung sifat agitasi dan propaganda yang melahirkan perang urat syaraf. 

Tulisan yang bernuansa intelektual memang mengajak kepada pencerahan. Namun tulisan yang bernada agitasi dan propaganda, tentu jauh dari semangat itu, karena yang dicari bukanlah kebenaran, tetapi upaya sistematis membentuk opini publik, sesuai dengan keinginan orang yang melakukannya.

Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, mengatakan: Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya. Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang dirubah sedikit saja. Ada sebuah peristiwa terjadi dan menjadi sebuah fakta. Fakta itu kemudian “dipelintir” sedikit saja dan disebarluaskan dengan teknik-teknik tertentu, maka dengan serta merta dia akan menjadi propaganda yang efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun