Sebelum saya membahas mengenai kesadaran etika dan estetika, alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu mengenai norma etika, kesadaran etika, kesadaran estetika, diskusi mengenai masalah-masalah keilmuan (polemik intelektual), lalu apa bedanya dengan tulisan yang bersifat agitasi atau propaganda.
Sekilas Mengenai Kesadaran Etika dan Estetika
Norma etika berbeda prinsip dengan norma sopan santun yang bersifat konvensional, relatif dan tergantung penerimaan sebuah komunitas. Norma sopan santun satu suku-bangsa tentu berbeda dengan norma sopan santun suku-bangsa lainnya. Norma etika juga berbeda dengan norma hukum, yang pada umumnya diformulasikan ke dalam hukum positif yang tertulis. Norma hukum akan jelas kapan dinyatakan berlaku, dan kapan tidak berlaku lagi. Norma etika berlaku universal dan berlaku selamanya. Hanya dalam keadaan tertentu, atau ada faktor-faktor tertentu, yang memungkinkan norma etika dapat dikesampingkan.
Harus ada justifikasi yang kuat untuk memungkinkan hal itu, seperti keadaan yang amat memaksa. Etika seringkali berhadapan dengan dilema, suatu situasi yang amat sulit, dan suatu pilihan yang amat sulit. Karena kaitan dari norma etika ini adalah kesopanan maka, tidak perlu kita merumuskan kode etik, code of conducts dan sejenisnya dalam bentuk yang tertulis.
Norma-norma etika harus hidup di dalam hati-sanubari setiap orang. Dia harus tumbuh sebagai kesadaran.
Sebelum melakukan sesuatu, setiap kita hendaknya bertanya kepada hati nurani kita masing-masing: patutkah hal ini saya lakukan? Dasar dari segala norma etika adalah keadilan. Apakah adil, kalau saya mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu kepada orang lain? Ini adalah pedoman dalam tindakan yang kita lakukan.
Persoalan etika, bukanlah persoalan bisa atau tidak bisa, mampu atau tidak mampu, dan dapat atau tidak dapat. Persoalan etika ialah persoalan boleh atau tidak boleh.
Saya bisa saja memukul orang lain, karena saya menguasai ilmu bela diri, tetapi bolehkah? Saya dapat saja memfitnah dan mencaci maki orang lain karena saya punya hak sebagai penulis yang tidak dapat dikontrol siapapun, tetapi bolehkah? Semua pertanyaan ini haruslah dikembalikan kepada kesadaran hati-nurani kita masing-masing. Dengan cara itu, kita akan memiliki apa yang disebut dengan “tanggungjawab etika” atau “tanggungjawab moral”.
Sia-sia saja kita merumuskan kode etik secara tertulis. Percuma saja kita merumuskan matriks yang memuat sederet kewajiban dan larangan untuk dihafal luar kepala. Semua itu tidak menjadi jaminan apa-apa agar norma ditaati. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu, tidaklah berbanding lurus dengan kesadarannya. Apalagi ketaatannya.
Banyak kita jumpai realita saat ini dimana seseorang dengan mudahnya lalu mengambil pemikiran yang beredar di masyarakat lalu menyimpulkan secara membabi buta tanpa memikirkan lagi mengenai konsekuensi etis dari perbuatannya. Etika lahir karena kesadaran akan adanya naluri solidaritas sejenis terhadap individu yang lain. Dengan kesadararan etika, akan timbul suatu tanggung jawab akan perlunya membangun peradaban yang lebih baik.
Sebagaimana yang dikatakan oleh A.A. Djelantik (1999) bahwa etika mendorong berkembangnya pengetahuan serta mendorong tersebarnya ide-ide dengan cara yang estetik, elegan, dan indah. Konsep ini telah dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang akhirnya berkembang menjadi ilmu tentang keindahan (estetika). Baumgarten menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dengan pengetahuan indrawi. Estetika ini telah muncul pada abad ke-18 untuk menandai ciri dari masyarakat yang berbudaya.
Sebagai masyarakat Indonesia yang dikenal karena budayanya, kita harus memahami konsep ini. Ketika menyampaikan sesuatu, kita hendaknya tidak hanya memikirkan betul atau benar, tapi patut atau tidak patut (etika), serta indah atau tidak indah (estetika). Membangun kesadaran etika dan kesadaran estetika menjadi penting bagi masyarakat Indonesia karena hal ini merupakan pondasi dasar untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis. Kesadaran inilah yang dibangun oleh masyarakat Yunani untuk memahami alam dan masyarakat mereka sebagaimana yang bisa kita lihat pada pandangan-pandangan Plato. Plato menjelaskan bahwa peradaban Yunani merupakan peradaban yang menjunjung tinggi aturan dan standar etis tertentu.
Kesadaran akan aturan dan standar etika inilah yang merupakan syarat utama dari masyarakat yang harmonis dan berbudaya.
Seringkali kebebasan berekspresi tidak sejalan dengan konsep etika dan estetika ini. Sunarso (2011) mengatakan bahwa idealnya sebagai bangsa yang menganut Pancasila, tingkah laku, semangat, dan jiwa masyarakat Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang secara khas merupakan ciri pada elemen-elemen sosial budaya bangsa. Kesadaran etika dan estetika seperti uraian di atas, harapannya akan membantu kita untuk membedakan manakah tulisan yang berisi polemik intelektual, dan manakah tulisan yang dapat dikategorikan sebagai agitasi, propaganda dan perang urat syaraf. Tulisan yang dikategorikan sebagai tulisan agitasi atau propaganda memang tidak ditujukan untuk memperkaya ilmu, namun memprovokasi masyarakat. Kita harus waspada akan hal-hal sederhana semacam ini.
Sekilas Mengenai Diskusi Keilmuan (Polemik Intelektual)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra (2007), dalam sejarah bangsa, kita telah menemukan banyak polemik yang tinggi mutu intelektualnya, dan memberikan kontribusi besar bagi proses pembentukan bangsa dan negara kita. Polemik itu antara lain, ialah polemik Sukarno dengan Mohammad Natsir tentang hubungan Islam dengan Negara, polemik tentang Islam dan Sosialisme antara Tjokroamitono dengan Semaun, dan Polemik Kebudayaan Timur dan Barat antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Armijn Pane. Demikian pula tulisan-tulisan bernada polemis yang dibuat oleh Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo, dan Sjafruddin Prawiranegara di bidang pembangunan politik dan ekonomi. Polemik intelektual tentang Islam dan Sekularisme, yang terjadi antara Mohamad Rasjidi dengan Nurcholish Madjid, sangatlah menarik untuk dibaca. Demikian pula polemik Mohamad Roem dengan Rosihan Anwar yang berkaitan dengan sejarah politik di tanah air era tahun 1950-an.
Kalau kita menelaah dengan seksama, polemik intelektual para negawaran sungguh sportif, ksatria, argumentatif, dan tidak menyerang pribadi seseorang, yang tidak ada hubungannya dengan materi yang diperdebatkan.
Mereka juga menggunakan kata-kata yang sopan, sehingga nampak suasana saling hormat-menghormati, walaupun perbedaan pendapat di antara mereka demikian tajam. Diskusi yang dilakukan secara intelektual, tidak didasari oleh rasa prasangka atau kebencian. Diskusi keilmuan adalah adu argumen berdasarkan pendapat yang sama-sama kuat, untuk akhirnya menemukan kebenaran atau untuk memahami kompleksitas persoalan dari perspektif yang berbeda-beda. Perdebatan semacam ini, mampu memperkaya keilmuan kita, karena argumen yang dikemukakan tidak hanya berasal dari dugaan, prasangka, atau gosip burung, namun betul-betul merupakan hasil pemikiran yang perlu kita telaah atau kita kaji kebenarannya.
Diskusi semacam ini mampu membentuk cara berpikir yang kritis. Kritis disini mengindikasikan sikap tertentu dalam berpikir atau bertindak yang mengambil jarak, tidak mau terima begitu saja pendapat, keadaan, cara berpikir tertentu, dan sebagainya. Berpikir kritis bisa kita pahami sebagai aktivitas berpikir dalam cara tertentu yang melibatkan observasi atau keterampilan dalam mengambil putusan. Berpikir secara kritis memampukan seseorang untuk dapat mempertanyakan, tidak menerima segala sesuatu secara dogmatis, menunda terlebih dahulu putusan-putusannya untuk melihat dan memahami suatu objek secara lebih mendalam.
Berpikir kritis mendeskripsikan kemampuan kognitif serta watak intelektual yang diperlukan untuk secara efektif mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi argumen-argumen dan klaim-klaim kebenaran, untuk menghindari prasangka dan bias dalam suatu permasalahan; menyusun alasan-alasan yang mendukung kesimpulan; serta untuk membuat keputusan yang cerdas mengenai apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Jeff Myer dalam bukunya Understanding the Culture (2017), “Critical thinking is cognitive skills and intelectual dispositions needed to effectively identify, analyze, and evaluate arguments and truth claims; to discover and overcome prejudices and biases; to formulate and present convincing reasons in support of conclusions; and to make reasonable, intelligent decissions about what to believe and what to do.”
Jadi, diskusi intelektual disini merupakan debat sehat yang didasarkan pada pemikiran kritis terhadap suatu masalah. Ada analisis yang dilakukan sebelum kita menyimpulkan sesuatu. Perbedaan pandangan semacam ini justru diperlukan, untuk mengembangkan kemampuan kognitif, watak intelektual, serta mengembangkan cara berpikir seseorang. Polemik atau masalah yang bernuansa intelektual sebagaimana saya gambarkan di atas, tentu berbeda jauh dengan kegiatan agitasi dan propaganda.
Sekilas Mengenai Agitasi dan Propaganda
Propaganda bermacam-macam bentuknya. Ada yang disebut dengan soft propaganda, yaitu propaganda yang lebih menonjolkan kekuatan budaya, melalui diplomasi yang penuh persahabatan. Diskusi ini masih menjunjung etika dan estetika walau tujuan akhirnya menggiring opini publik. Ada juga yang dinamakan dengan hard propaganda, yaitu propaganda yang lebih menonjolkan hal-hal yang negatif yang sama sekali tidak ada etika atau sopan santunnya. Propaganda jenis ini sama sekali bukan solusi untuk meraih tujuan atau menyelesaikan permasalahan, melainkan malah menambah kerumitan dan kompleksitas masalah yang terjadi di masyarakat.
Menurut sifatnya, ada yang disebut dengan white propaganda, merupakan propaganda yang secara jujur, benar, dan sportif serta sumbernya jelas. Ada yang disebut dengan black propaganda, merupakan propaganda yang licik, palsu, dan menuduh sumber lain melakukan tindakan tersebut. Ada pula grey propaganda, merupakan propaganda yang kurang jelas (tujuannya samar-samar) sehingga menimbulkan keraguan. Terakhir adalah rational propaganda yaitu propaganda yang dilakukan dengan tujuan yang rasional.
Tujuan propaganda adalah menanamkan gagasan tertentu, memperlemah bahkan menggagalkan gagasan seseorang mengenai suatu hal, dan menggiring opini publik kepada suatu maksud tertentu, baik yang bersifat jangka pendek ataupun jangka panjang.
Adapun istilah agitasi dan propaganda ini sangat terkenal di masa partai komunis masih kuat pengaruhnya. Sebelum itu, Adolf Hitler dan Jozef Goebbels telah merancang propaganda Nazi dengan sangat canggih. Hampir semua partai fasis dan partai komunis mempunyai suatu badan tersendiri yang menangani masalah ini. Badan itu mereka namakan dengan “Departemen Agitasi dan Propaganda” atau Agitprop yang berada di bawah komite sentral partai tersebut.
Agitasi adalah menyerang lawan dengan segala cara dengan tujuan untuk merendahkan, memojokkan dan menjatuhkan. Pilihan kata-kata sangat tajam dan lugas. Propaganda mempunyai nada yang hampir sama, yakni menyampaikan fakta atau bukan fakta kepada publik dengan maksud untuk membentuk opini publik, sesuai yang diinginkan oleh sang propagandis. Dalam propaganda, segala kedustaan, penjungkir-balikan fakta, rumor, dan fitnah adalah halal belaka. Agitasi dan propaganda melahirkan perang urat syaraf atau psychological war.
Sering kali kita melihat, ada tulisan-tulisan yang mengundang timbulnya polemik yang bernuansa intelektual. Namun ada pula, tulisan-tulisan yang mengandung sifat agitasi dan propaganda yang melahirkan perang urat syaraf.
Tulisan yang bernuansa intelektual memang mengajak kepada pencerahan. Namun tulisan yang bernada agitasi dan propaganda, tentu jauh dari semangat itu, karena yang dicari bukanlah kebenaran, tetapi upaya sistematis membentuk opini publik, sesuai dengan keinginan orang yang melakukannya.
Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, mengatakan: Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya. Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang dirubah sedikit saja. Ada sebuah peristiwa terjadi dan menjadi sebuah fakta. Fakta itu kemudian “dipelintir” sedikit saja dan disebarluaskan dengan teknik-teknik tertentu, maka dengan serta merta dia akan menjadi propaganda yang efektif.
Gienrich menjelaskan bahwa kekuatan propaganda adalah pada rangkaian kata-kata yang impresif dengan didukung teknik-teknik yang selaras. Sasaran propaganda tentu saja publik yang awam tentang seluk-beluk suatu masalah. Teknik-teknik propaganda semacam ini, tentu saja bertentangan dengan etika, bertentangan dengan ajaran agama, dan yang terakhir, bertentangan dengan nilai-nilai luhur kita sebagai bangsa Indonesia.
Bagaimana cara kita menyikapi propaganda?
Cara kita untuk menyikapi propaganda adalah kita harus jujur, fair dan adil. Kalau propaganda dihadapi pula dengan propaganda, dunia ini akan makin kacau balau. Dengan propaganda, orang dapat menciptakan “surga”, namun dengan propaganda juga orang dapat menciptakan “neraka” di tengah sebuah komunitas.
Kita harus selalu berusaha untuk membangun diskusi, bertukar pikiran dengan semangat intelektual atas dasar saling menghormati.
Diskusi intelektual semacam ini adalah sebuah diskusi yang bertujuan untuk mencari pencerahan, bukan untuk membangun citra buruk, memojokkan, dan menjatuhkan seseorang untuk tujuan tertentu.
Semoga saya, Anda, dan kita semua bisa menjauhkan diri dari kegiatan yang bernuansa agitasi, propaganda, dan perang urat syaraf. Salam Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H