Polusi suara dari Unit 9-10 PLTU Suralaya telah menjadi teror yang perlahan tapi pasti menggerogoti kesehatan mental warga Kampung Kopi.
Para lansia di kampung kopi juga mengaku sering merasa cemas tanpa alasan jelas. Anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda gangguan perilaku, seperti sulit fokus saat belajar atau tidak bisa tidur lelap.
“Tidak ada yang tahu dampaknya pada anak-anak kami di masa depan,” katanya dengan dengan nada prihatin. “Tapi kami tahu, hidup seperti ini tidak sehat.”
Bagi warga Kampung Kopi, polusi suara dari Unit 9-10 PLTU Suralaya bukan hanya sekadar suara. Itu adalah simbol ketidakadilan. Mereka merasa hak hidup dengan tenang—sebagaimana dijamin oleh konstitusi—telah dirampas.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa segala kekayaan alam di Indonesia harus digunakan untuk kemakmuran rakyat. Tapi, apa yang mereka rasakan justru sebaliknya.
“Kalau benar-benar ada yang peduli, seharusnya mereka memastikan kami tidak menderita, karena mesin-mesin proyek ini pun baru beroprasi,” ungkapnya dengan nada getir.
Di tengah kondisi tersebut, warga Kampung Kopi mencoba bertahan sebisa mungkin. Mereka bukan hanya membutuhkan solusi sementara, tapi ingin hidup tenang seperti dulu lagi.
Ketika ditanya apa harapannya untuk masa depan, Ia hanya menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu, apakah suara itu bisa berhenti? ” katanya lirih. Ia berharap, setidaknya anak-anak kami bisa tumbuh tanpa harus mendengar suara mesin sepanjang hari.
Waktu beranjak siang, seperti biasa, Kampung Kopi masih diselimuti kebisingan dari Unit 9-10 PLTU Suralaya. Di dalam rumah-rumah kecil yang berdiri rapat, warga mencoba tetap beraktifitas meski tahu ketenangan hanya mimpi yang semakin jauh dari jangkauan.
Di bawah langit yang mendung, deru mesin terus berdengung, melawan bisikan doa yang dipanjatkan oleh mereka yang hanya ingin hidup damai. Seraya menanti penjelasan pihak proyek Unit 9-10 PLTU Suralaya yang kini masih tak bersuara.
(Identitas narasumber dirahasikan untuk mencegah adanya intimidasi)