Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Petualangan Diana Cristiana Dacosta Ati, Pengabdi Pendidikan di Pedalaman Papua Selatan

3 November 2023   17:23 Diperbarui: 3 November 2023   17:25 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diana saat di ruang pameran Indonesia Dream Astra (foto Mang Pram)

Anak-anak pedalaman di Papua adalah bagian dari masyarakat yang hidup di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Belantara hutan, sungai dan rawa-rawa adalah kehidupannya. Keterbatasan akses itulah menyebabkan anak-anak tidak tahu akan jati dirinya sebagai generasi muda Indonesia.

Ketika di belahan daerah lain yang sudah tersentuh pembangunan modern, anak-anak menjalankan aktifitas ke sekolah dan mengejar mimpi. berbeda dengan anak-anak pedalaman mengikuti orang tua berjuang di hutan untuk bekerja dan berburu.

Inilah secuil gambaran tentang ironi kisah kehidupan anak-anak pedalaman Papua yang diceritakan oleh seorang guru inspiratif Diana Cristina da Costa Ati.

Perempuan yang tumbuh menjadi anak muda hebat dari tanah Atambua, Nusa Tenggara Timur itu bercerita perjuangan menjadi guru di pedalaman Papua dengan menahan emosi. Seketika matanya basah, teringat anak-anak di pedalaman.

Cerita tentang Diana menjadi magnet tersendiri ditengah meriahnya acara Apresiasi kepada lima pemuda inspiratif penerima Satu Indonesia Award 2023 ke-14, di Menara Astra Jakarta, 1 November 2023.

Kisah Petualangan Diana di pedalaman sangat menyentuh emosi. Di saat Indonesia mengalahkan pembanguan berbagai infrastruktur dan peningkatan SDM, masih ada anak yang tidak tahu identitas negara, bentuk bendera, lagu Indonesia Raya, dan Pancasila.

Diana, peraih apresiasi bidang pendidikan itu patut didapatkan setelah berjuang selama lima tahun bertugas sebagai Guru Penggerak Daerah Terpencil di Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. 

Bertugas di SD Negeri Atti di tahun 2018, Diana mendapatkan tantangan yang tidak mudah. Sudah cukup lama sekolah di kampung Atti itu tidak ada aktifitas belajar-mengajar dikarenakan tidak ada lagi gurung yang datang dari luar.

Berkat penugasan Diana itulah, anak-anak Kampung Atti kembali memiliki secercah harapan sinar ilmu yang menjadi penerang kehidupan masa depan anak pedalaman.

"Ketika saya datang menjadi guru, syok dengan kondisi anak yang sudah lama tidak sekolah. Tidak tahu Indonesia, bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya, parahnya lagi tidak hafal Pancasila," kata Diana dengan antusias bercerita usai menerima apresiasi dari Astra, Bidang pendidikan.

Sosok gadis humble itu antusias bercerita tentang kondisi alam, sosial dan budaya masyarakat tempat penugasan  mengajar tidaklah gampang beradaptasi. 

Namun kegigihan tanggung jawab sebagai pendidik, Diana menguatkan hati untuk perlahan melakukan penyesuaian dan pendekatan.

"Setiap hari anak-anak ikut orang tua ke hutan, atau rawa-rawa. Mereka tidak peduli dengan sekolah, karena alam telah menyediakan banyak bahan makanan dengan mudah untuk tetap menjalani hidup," kata Diana yang menyadari bahwa penting untuk membangkitkan kesadaran orang tua akan pendidikan anak-anaknya.

Diana memulai mencari cara bagaimana melakukan pendekatan. Perlahan mengajari anak-anak sambil bermain dengan menyisakan pembelajaran seperti berhitung dan membaca. Bahkan, bahan ajar dan buku dibuat Diana untuk bisa masuk cara belajar sesuai kehidupan anak-anak.

Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT itu memiliki tekad membangun jiwa nasionalisme anak pedalaman untuk mencintai Indonesia.

Diana ingat betul ketika pertama kali bertemu anak-anak yang tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. "Saya menangis, saya sedih, tapi tidak bisa menyalahkan mereka," ungkap Diana.

Kondisi sekolah minim fasilitas dengan tiga ruang kelas. Di daerah terpencil dengan kondisi yang tidak baik-baik saja harus diubah dengan memulai belajar-mengajar mengikuti aktivitas keseharian anak-anak.

Paling penting mampu membangun komunikasi dengan orang tua yang cukup alot prosesnya. Namun pendekatan dengan ketulusan dan kejujuran itulah, anak-anak sudah mulai mau belajar di sekolah.

Keberhasilan anak-anak menurut orang tua tidak hanya mahir berburu, bisa pangkur sagu, bisa menggunakan tombak, atau sekedar memelihara babi. Pemahaman sekolah utama adalah membantu orang tua itu tidak benar, tetap harus bersekolah.

Diana ingin memanfaatkan peluang apapun sebagai bahan belajar. Keterbatasan berbagai fasilitas tidak mengurangi tekad Diana untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada anak-anak.

"Untuk kebutuhan makan sehari-hari memang tidak butuh sekolah, karena semua tersedia di hutan. Tapi anak-anak harus mengejar mimpi dengan pendidikan, agar kelak bisa menjadi pejabat, presiden atau apapun yang lebih baik untuk bekal hidup masa depan," kata Diana.

Diana menulis sendiri buku bahan pelajaran yang dibagikan kepada anak-anak, buku pelajaran dari kota tidak bisa diterapkan untuk anak-anak pedalaman. Dari sinilah Diana menemukan sendiri metode belajar untuk anak-anak.

"Terkadang bermain di rawa-rawa sambil berhitung. Memetik mangga sambil belajar perkalian. Menggunakan bahasa inggris saat berdoa sebelum makan," kata Diana.

Kesulitan satu persatu bisa juga diatasi. Kuncinya adalah kesabaran dan ikhlas pengabdian. Sebagai pendidik, ketabahan harus juga lebih luas dari belantara hutan, tekadnya panjang seperti aliran sungai dan rawa-rawa. 

Perjuangan akan terasa manis ketika memanen hasilnya. Anak-anak sudah menyadari pentingnya belajar di sekolah. Kini sudah bisa membaca dan menghitung. 

"Nasionalisme bagian negara Indonesia sudah ada dalam diri anak-anak saat ini," kata Diana dengan senyum manisnya.

Capaian terbaik sebagai guru ketika di tahun 2022, sebanyak 24 anak lulusan SD Negeri Atti berhasil masuk SMP. Perjuangan Diana bersama dua rekannya berhasil mengubah situasi pendidikan di pedalaman. 

"Hidup memang harus berani dipertaruhkan dan diperjuangkan, inilah berkat luar biasa," ungkap Diana.

Anak-anak Papua berhak mendapatkan akses belajar yang lebih baik. Mereka putra daerah asli Papua yang kelak akan mereka pemimpin. Mereka penjaga hutan Papua dan tanah Papua. Di atas pundaknya lah, kelak jadi tanggung jawab melestarikan kehidupan di Papua.

Diana telah menjadi inspirasi bagi para guru di dunia ini. Mampu melakukan perubahan besar terhadap hak pendidikan anak pedalaman Papua Selatan.

Dedikasi pengabdian Diana dalam pendidikan membuktikan, bahwa  perjuangannya tidak hanya untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun