"Takut gelap ada momok," katanya.
Saya dan istri mulai khawatir. Anak memang lebih nurut tidak main ke luar rumah pada malam hari. Tapi ini jika dibiarkan akan menjadi tidak baik untuk masa perkembangannya.
Dampaknya mengkhawatirkan, Chava tidak mau mendengarkan nasehat atau pun penjelasan kami. Baginya keluar pada malam hari adalah ketakutan.
Setelah berdiskusi panjang dengan istri bagaimana cara mengembalikan kepercayaan diri terhadap anak, kami mulai dengan melakukan kegiatan di halaman rumah.
Di depan rumah kami cukup luas dan sejuk dengan pohon mangga dan jambu air yang bersandingan. Di bawah pohon jambu saya mendirikan tenda untuk menarik perhatian anak ikut berkemah.
Berkemah menjadi pilihan karena Chava paling suka jika diceritakan tentang petualangan.
Mulanya Chava masi enggan keluar. Saya duduk-duduk di depan tenda. Sesekali masuk untuk tiduran. Namun Chava hanya melihat dari jendela saja.
Sampai akhirnya Chava keluar ketika anak-anak tetangga tertrik ingin bermain di tenda. Chava keluar dengan berlari sekencangnya. Masi ada raut ketakutan di wajahnya. Chava enggan bermain dan selalu duduk di pangkuan saya. Mulutnya selalu berkata ada momok.
Malam-malam selanjutnya, saya alihkan belajar mengaji di tenda. Makan malam di depan tenda. Chava mulai bisa menikmati permainan kemping. Bahkan sebelum magrib sudah sibuk mendirikan tenda.
Satu minggu berhasil dijalankan. Sampai kemudian Chava mengatakan, "Di cerita petualang itu kan bisa lihat bintang dan bulan dari atas gunung."
Ide gila muncul, saya mengajak istri untuk berkemah di alam sebenarnya. Karena sejak remaja kami suka mendaki gunung, istri pun menyetujui.