Setelah banjir surut satu minggu kemudian, sekolah dipindahkan ke lokasi yang jauh dari banjir. Tepatnya di bekas rumah kontrakan milik orang tuanya. Kini rumah itu menjadi sekolah.
Tidak salah memang, istri Muhammad Satir ini menyebut sekolahnya sebagai sekolah daur ulang sampah. Bangunan yang digunakan bekas rumah kontrakan warisan orang tuanya nyaris tanpa banyak berubah. Fasilitas dan media pembelajaran atau Alat Peraga Edukasi (APE) juga memanfaatkan sampah.
Ruang guru, tempat saya dan Ibu Diana berbincang ini pun semuanya berasal dari pemanfaatkan barang bekas. Seperti meja, lemari, dan kursi merupakan barang bekas yang kemudian diperbaiki. Prinsip Ibu Diana, semua barang bekas bisa diperbaiki dengan modifikasi yang lebih baik.
"Ada yang menghibahkan, ada juga yang saya beli. Suami biasa yang membantu perbaiki. Alhamdulillah bisa memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana sekolah," ungkap Ibu Diana.
Tidak hanya itu saja, segala pernak-pernik yang menghiasi seluruh ruangan juga berasal dari daur ulang sampah. APE sebagai media pembelajaran memanfaatkan sampah. Ibu Diana juga melibatkan wali murid dalam pembuatan APE.
"Wali murid mau, kok, mengumpulkan plastik, botol-botol, dan apa saja. Kemudian nanti saya ajarkan cara yang simpel. Semua bisa membuatnya. Ini semua untuk belajar anak mereka," kata Ibu Diana.
APE buatan wali murid tidak hanya dipakai anak-anaknya saja, tetapi juga bisa dijual ke sekolah lain yang memesannya. Ibu Diana secara tidak langsung turut menggerakan ekonomi para wali murid.
Dalam proses belajar, anak murid juga dilibatkan dalam pembuatan APE. Guru hanya membuat bahan setenga jadi, kemudian anak-anak yang membuat bentuk sesuai arahan guru, namun tetap membebaskan anak berimajinasi.
"Kalo menempelkan benda-benda gitu, anak-anak pasti bisa. Kecuali yang sulit seperti menggunting sudah dilakukan oleh guru."
Ibu Diana membebaskan anak-anak bermain sampai bosen di jam sekolah. Justeru dengan memainkan APE tanpa disadari telah membentuk kemampuan dasar anak, seperti menghitung dan membaca.