"Saya setiap selesai acara selalu mengutip sampah. Itulah kenapa saya disebut, Ratu Sampah," kata seorang ibu dengan santai menceritakan kisahnya.
Saya hanya menyimak dengan penuh penasaran. Di tengah gemuru rintik hujan yang menghujam atap asbes siang itu, saya menyimak dengan tenang, tidak mau sedikit pun ketinggalan cerita pengalaman aksi hidup baik Ibu Hadiana.
Sampah, mendengarnya saja sudah langsung menjurus pada barang bekas, kotor, bau, dan sumber penyakit. Namun  ditangan Sang Ratu, sampah disulap menjadi barang bernilai ekonomis.
"Gedung ini pun sebeneranya bekas. Lihat saja, kalau hujan begini, ya, pasti bocor," katanya sambil tertawa kecil.
Suasana semakin mencair seiring mendengar tetesan air yang menimpa langit-langit trisplek, berirama dengan tempo yang menderas. Di beberapa bagian langit-langit sudah terlihat basah dengan rembesan air hujan.
Atap bocor itu, bagian dari rumah mungil yang berada di antara hunian padat penduduk sebuah kampung di Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Â Berdiri di atas lahan 80 meter, bangunan bekas rumah kontrakan itu dirubah menjadi Sekolah Kelompok Bermain Duren IV dan TK Islam Nur Rahmah.
Saya beralih menatap wajah perempaun yang akrab disapa Ibu Diana itu. Diusianya yang tidak lagi muda, namun memiliki semangat yang tidak pernah luntur dalam memperjuangkan akses pendidikan anak-anak miskin di lingkungannya. Tampak ceria, segar, dan tanpa beban.
"Saya tidak lagi bisa menangis, sudah ikhlas dengan segala kesusahan," kata ibu tiga anak itu dengan tegar.
Yah, hujan mengingatkan pada peristiwa banjir besar yang terjadi tahun 2007 silam. Hampir semua fasilitas sekolah yang sudah dipakai sejak awal berdiri di tahun 2004 telah habis terbawa arus banjir. Resiko rumah yang dijadikan sekolah dekat dengan aliran sungai.