Yah, edelweis, bunga abadi yang tidak bisa dipetik dan dibawa pulang. Kecantikannya cukup bisa dikunjungi saja. Yasinta, menjelma menjadi edelweis, cantik membuat saya jatuh cinta. Namun kenyataan pahit sesampainya di Bandung, Yasinta mengenalkan tunangannya. Satu bungkus bubuk kopi menjadi buah tangan yang diberikan kepada saya sebelum kembali pulang ke Cilegon.
Begitulah kenangan, bisa dinikmati atau merasa tersakiti. Seperti kopi yang pernah diteguk dalam satu cangkir, namun urusan hati tidak bisa dimiliki oleh dua jiwa. Namun pahitnya kopi arabika Garut menjadi penawar rasa rindu, anatara arabika, Yasinta, dan Papandayan.
"Minggu lalu, saya ke Bandung, bertemu Yasinta bersama suaminya. Kemudian menitipkan kopi Garut, untukmu," kata Waseh, saat saya kembali tersadar dengan kisah yang pernah ada.
Saya hanya tersenyum, kopi adalah pahit, tapi tidak dengan patah cinta---manis dikenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H