"Pengen lihat bunga edelweis. Tapi tidak mau jika gunung yang tinggi," kata saya saat itu. Tentu saja Waseh bersama beberapa teman lainnya menanggapinya dengan gelak tawa.
Dari obrolan di atas kapal itu memang tidak mendapatkan keputusan akan mendaki gunung mana pun. Hingga selang sebulan kemudian Waseh menghubungi saya melalui inbox Facebook, intinya adalah mengajak ikut giat projek fotografi di kawasan Gunung Papandayan. Setelah mengetahui bahwa di akhir Agustus adalah momen saat edelweis bermekaran, saat itu juga saya katakana, "siap!". Langsung meminta ijin cuti libur di hari sabtu. Hari keberuntungan, pimpinan di tempat kerja saya mengijinkan.
Perjalanan dimulai dari Kota Cilegon pada Jumat sore, menuju Kota Jakarta menggunakan bus Merak- Kampung Rambutan. Sekitar pukul 20.00 WIB saya berjumpa dengan Waseh di depan minimarket dekat terminal Kampung Rambutan.
Perjalanan menggunakan sebuah mobil minibus. Hanya saya dan Waseh. Nanti di Jalur Nagrek kita akan menjemput 3 orang lagi yang berasal dari Kota Bandung. Mereka adalah Vee dan Bastian, pasangan pengantin baru, serta seorang temannya. Mereka yang memberikan job kepada Waseh untuk mengabadikan dalam foto. Waseh sebenarnya seorang karyawan kontruksi, hanya saja hobi fotografinya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dari Waseh inilah saya banyak belajar tentang fotografi.
Saat tengah malam, mobil berhenti di parkiran minimarket yang sudah tutup. Ada 3 orang yang sudah menunggu, tentu saja Vee dan Bastian, serta satu lagi adalah Yasinta. Di sini awal perkenalan dengan Yasinta, sahabat Bastian yang bekerja sebagai seorang guru privat.
Awal pertemuan memang hanya sekedar bersalaman dan perkenalan saja. Belum cukup bercakap-cakap. Udara dingin memaksa kami harus masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Papandayan di Garut. Yasinta duduk di kursi paling belakang bersama  tumpukan cariel. Baru saja mobil melaju, penumpang di belakang sudah hening. Vee, Bastian, dan Yasinta tertidur.Â
Saya yang sebenarnya mengantuk, karena pulang kerja langsung berangkat memangul cariel, berharap bisa tidur di perjalanan, tapi kenyataan harus tetap terjaga menemani Waseh ngobrol. Kopi hangat dalam termos mini sesekali diteguk menjaga agar rongga mulut tetap merasakan kesegaran dari pahitnya kopi dan aroma gula aren yang tercampur.
"Sebelum naik ke kawasan Gunung Papandayan, sebaiknya berhenti di Masjid dulu. Kalian harus solat subuh," kata Bastian mengingatkan.
Di sebuah Masjid, ketika akan melaksanakan solat subuh, obrolan dimulai ketika Yasinta ingin ke toilet.Â
Tentu saja saya tidak bisa masuk di area wudhu khusus perempuan. Yasinta sebenarnya takut jika masuk ke dalam toilet. Jadi selama Yasinta di dalam toilet saya harus berbicara terus, entah apa saja yang dikatakan. Namun Yasinta di dalam toilet tidak membalas menjawab ketika bertanya. Gadis itu tau adab, di dalam toilet memang sebaiknya diam.
Namun ketika turun mata dimanjakan dengan panorama pegunungan yang hijau, kawah putih yang sangat luas, kepulan asap dan kabut tampak kontras beradu warna dengan semburat mentari pagi. Dalam-dalam menyesap udara segar yang masi terasa dingin hingga ronggah paru-paru. Sesekali aroma belerang mengganggu hidung. Wajar saja, parkiran ini sudah langsung berbatasan dengan kawah Gunung Papandayan.