Selamat pagi. Mentari perlahan keluar dari balik dinding tebing pegunungan di sebelah barat. Samar-samar lembut cahaya perlahan mulai terang seiring gerakannya yang beranjak tinggi. Wajah menghadap matahari, terbalas dengan helusan lembut kehangatan dari cahayanya. Ah, inilah kenikmatan alam.
Aroma kopi kemudian menyeruak masuk ke dalam rongga pernafasan. Secangkir kopi panas disodorkan dari tangan Yasinta. Saya menerimanya. Yasinta menghadapkan wajahnya ke matahari. Ia memejamkan mata. Saya hanya mampu melihat betapa cantiknya wajah Yasinta dengan paparan cahaya matahari pagi. Yasinta kemudian membuka mata, saya segera meluruskan pandangan pada matahari, tangan Yasinta mengambil cangkir kopi, lalu meneguk perlahan. Sisa tetesan air kopi mengalir dari sudut bibirnya. Lalu terhapus punggung tangan.
"Kamu tahu, kopi Garut punya cerita yang menarik. Dahulu, di awal abad ke-19, kopi mulai ditanam dengan memperkerjakan pribumi. Aroma kopi yang nikmat menjadi primadona bangsa eropa kala itu," kata Yasinta.
Saya mengambil cangkir itu kembali, menyeruput hangatnya cairan hitam pekat. Pahit tanpa gula. Sama halnya dengan nasib petani di sekitar pegunungan Papandayan, Guntur, dan Cikurai yang mengalami masa kelam saat itu. Namun kini, nikmatnya kopi bukan lagi milik Bangsa Eropa--saya dan Yasinta, serta penikmat kopi tentu akan setuju bahwa tanah parahiyangan ini memiliki kualitas kopi terbaik.
Obrolan tentang kopi, rupanya Yasinta sangat hafal. Beberapa bulan terakhir sedang melakukan survey kualitas kopi nusantara. Yasinta berencana akan mendirikan usaha kedai kopi di Kota Bandung. Obrolan kopi menghantarkan perjalanan selanjutnya pada hutan mati. Batang-batang pohon yang merenggas mati yang terpapar erupsi tahun 2002 silam. Paparan letusan kawah Papandayan membuatnnya mongering dan menghitam. Batang-batang yang menjulang dan tetap kokoh. Sangat kontras dengan kondisi tanah yang berwarna putih bercampur belerang. Kawasan ini menjadi spot yang paling disukai Vee dalam sesi pemotretannya.
Perjalanan berlanjut. Setelah melewati kawasan hutan mati, jalan semakin menanjak dengan jalur yang mulai menyempit. Sesekali memang terdapat tanjakan yang cukup menantang. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai pada kawasan Tegal Alun.
Setelah melewati jalan yang butuh perjuangan, sampailah pada hamparan dataran yang penuh dengan tumbuhan bunga edelweis. Sangat luas, sehingga sejauh mata memandang kuntum putih bunga edelweiss terhampar layaknya permadani. Ini bagian spot foto yang cukup instagramable. Vee dan Bastian menjadikan latar hamparan bunga edelweis sebagai keabadian cinta mereka. Sesekali saya berganti menjadi fotografer, tentu saja supaya Waseh juga menikmati suasana Gunung Papandayan ini, ya meskipun sudah sering sekali datang ke tempat ini.
"Memory full," saya member tahu bahwa kamera tidak bisa lagi mengambil foto. Waseh menarik nafas lega, begitu pun Bastian dan Vee yang merasa cukup selama perjalanan mendaki Gunung Papandayan terekam menjadi ribuan foto. Waktu berlanjut tanpa lagi memegang kamera. Keakraban terjalin lebih dekat. Canda tawa yang kemudian menjadi penawar rasa lelah.
Tersimpan dalam hati kemudian, seraut wajah Yasinta di antara edelweis. Aroma kopi dan setiap perjalanan yang menjadikan kita tersadar, dunia ini indah, terkadang egois yang membuat hati menjadi sempit.
Hati saya memang terasa sempit dan sesak, tidak terima ketika perjalanan harus berakhir. Meninggalkan hijaunya panorama pegunungan, hamparan putih kawah, kepulan asap yang tak pernah padam, aroma belerang, batang-batang pohon menghitam di hutan mati menyatu bersama keabadian bunga edelweis.