Judul: The Power of Writing Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup
Penulis: Nginun Naim
Penerbit: Lentera Kreasindo
Tahun Terbit: 2015
Tebal Halaman: xiv+230 lembar
ISBN: 978-602-1090-14-5
Harga: Rp. 50.000
"Inspiratif, sarat motivasi dan provokatif" adalah kesan yang saya tangkap setelah menyelami buku The Power of Writing Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup.Â
Salah satu dari tiga buku yang saya beli langsung dari penulisnya bersamaan dengan buku The Power of Reading Menggali Kekuatan Membaca untuk Melejitkan Potensi Diri (2013) dan Islam dan Pluralisme Agama Dinamika Perebutan Makna (2014).Â
Masih terlintas jelas dalam ingatan saya, buku ini saya beli pada 7 Maret 2017 di kantor LP2M IAIN Tulungagung--sekarang bertransformasi menjadi UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung--tempat Prof. Nginun Naim (sapaan akrab penulis: Prof. Niam) mengabdi dan bekerja.
Secara eksplisit penulis menyebutkan, bahwa buku The Power of Writing ditulis atas dasar kegelisahan penulis yang kerapkali dicecar dengan gunungan pertanyaan seputar menulis.Â
Pertanyaan itu banyak diajukan secara online di kanal Facebook milik penulis ataupun offline tatkala mengisi materi di lingkungan kampus dan sekitarnya. Berondong pertanyaan itu saya kira wajar jika dilayangkan kepada penulis produktif, terutama yang aktif menulis setiap hari di wall Facebook. Terlebih-lebih khalayak penanya sadar, bahwa penulis adalah kontributor artikel yang buah penanya sering dimuat di koran nasional maupun lokal.Â
Gunungan pertanyaan seputar menulis itu lantas pelan-pelan tapi pasti memantik penulis untuk menyusun buku tentang menulis dengan model induktif: berangkat dari pengalaman menulis secara personal. Kendati demikian, bukan berarti penulis sama sekali tidak menyelipkan teori menulis di dalam pembahasannya, justru yang saya tangkap terdapat kesepadanan yang porposional antara teori dan praktek yang bertumpu pada pengalaman penulis.Â
Dalam hal ini saya sepakat dengan edorsmen yang diberikan Saiful Mustofa yang menyitir Toni Morison, "Bila ada buku yang ingin kau baca tapi buku ini belum pernah ditulis maka engkaulah yang mesti menulisnya". Dan Prof. Naim dengan buku The Power of Writing telah mewujudkannya.
Jika menelisik konten yang disodorkan lebih lanjut, buku The Power of Writing hendak menegaskan bahwa terdapat tiga modal utama yang harus dimiliki oleh seorang penulis: tekad, kesadaran dan teladan. Modal yang pertama adalah tekad. Kehadiran tekad di dalam diri seorang penulis itu penting. Hal yang demikian sebagaimana penulis tegaskan dalam bab 1 yang berjudul Spirit Menulis dan bab 2 dengan judul Motivasi Menulis.Â
Bab 1 menghimpun 12 topik pembahasan mengenai spirit menulis. Spirit menulis umumnya dimiliki oleh semua penulis. Baik pemula ataupun penulis besar. Sehingga fluktuasi spirit menulis itu sesuatu hal yang lumrah terjadi di dalam diri seorang penulis. Cara menyikapi kondisi tatkala spirit menulis down itulah yang menjadi pembeda di antara penulis pemula dan penulis besar.Â
Penulis besar tidak pantang arah dan pesimistis dalam menghadapi kondisi spirit yang down. Penulis besar senantiasa mampu berusaha keras mencari solusi jitu untuk memulihkan kembali spirit menulis di dalam dirinya. Sementara penulis pemula senantiasa bersikap pasif, permisif dan terbelenggu dalam menunggu momentum yang tepat untuk menulis, (hal. 4).
Tekad tidak hanya persoalan spirit namun juga masalah motif. Motivasi lebih tepatnya. Menurut penulis, ada banyak hal yang mampu menjadi motivasi seseorang untuk menulis.Â
Dari sepuluh topik yang diulas pada bab kedua tentang motivasi menulis di antara motivasi tersebut ialah menifestasi rasa syukur atas dianugerahi kemampuan menulis, menulis sebagai hobi, menulis sebagai wujud perjuangan, menulis sama dengan kecintaan, komitmen sebagai hayawanun natiq, menulis dimaknai sebagai upaya kesadaran dan lain sebagainya.Â
Selanjutnya, kesadaran sebagai modal kedua yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Kesadaran personal dalam konteks ini mengerucut pada penemuan hakikat atas aktivitas menulis yang dijalani.Â
Alhasil terdapat tiga bentuk turunan dari perejawantahan kesadaran yang harus dipahami betul oleh seorang penulis. Ketiga turunan kesadaran tersebut yakni alasan, hambatan dan strategi menulis.Â
Secara mendasar, alasan yang dimiliki oleh seorang penulis turut memengaruhi proses dan hasil dari aktivitas menulis. Alasan sendiri muncul sebagai tangan panjang dari adanya motif-motivasi yang berkecamuk hebat di dalam diri. Semakin kuat motif yang dimiliki, maka akan semakin besar keterampilan dan kreativitas yang harus diperhatikan oleh seorang penulis.Â
Buku The Power of Writing menegaskan bahwa dari sekian banyak alasan yang mungkin dimiliki oleh seorang penulis, empat di antaranya ialah kesadaran penulis bahwa menulis sebagai tempat perlindungan, menulis sebagai obat stress, menulis sebagai tradisi dan menulis sebagai media komunikasi semua kalangan yang mampu melintasi bentangan zaman.
Memiliki alasan tidaklah cukup jika tidak menyadari hambatan yang dihadapi dalam menulis. Mengapa demikian? Sebab dalam proses panjang menulis terkadang penulis akan terjerat dan terjerembab dalam rentetan hambatan yang membentang.Â
Disebutkan oleh penulis, terdapat tujuh hambatan dalam menulis, yakni rasa malas, buntunya ide, memandang remeh menulis, jebakan habitus plagiasi, telanjur lacur mengeluh, minim bahkan nihilnya fasilitas yang dimiliki sangat potensial menjadikan proses menulis yang dijalani mandeg (tulisan yang tidak selesai).Â
Berbagai cara mencari jalan keluar dan upaya penyikapan terbaik dari segala bentuk hambatan yang dihadapi tersebut selanjutnya akan menentukan level seorang penulis.
Semangat menulis yang terjaga secara baik akan menjadikan seorang penulis mampu menundukkan segenap hambatan yang ada. Berdasarkan pengalaman penulis, kalau sedang memiliki semangat tinggi, berbagai hambatan menulis dapat diatasi.Â
Demikian pula dengan tulisan yang sulit, pelan namun pasti dapat diselesaikan. Akan tetapi jika semangat sedang rendah, tulisan yang tampak mudah dikerjakan saja juga tidak mampu terselesaikan, (hal. 129).
Hemat saya, atas dasar itu pula lantas penulis menegaskan satu sintesis, bahwa kriteria tulisan yang baik itu yang pertama adalah bisa selesai. Sebab, selesainya tulisan sesungguhnya menunjukkan bahwa penulisnya telah berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh. Kalaupun kemudian ada kekurangan, itu wajar. Justru adanya kekurangan itu baru akan diketahui ketika tulisannya telah selesai, (hal. 130).
Setelah mampu mengindentifikasi dan mengatasi segala jenis bentuk hambatan, alangkah baiknya seorang penulis juga memiliki strategi jitu untuk menjadikan menulis sebagai tradisi dalam hidupnya. Setiap orang sudah barang tentu memiliki strategi jitu menulis yang berbeda-beda karena disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan seleranya masing-masing. Namun dari sekian banyak strategi menulis tersebut penulis buku The Power of Writing menawarkan delapan strategi menulis.Â
Kedelapan strategi menulis tersebut yakni menulis dengan cara mencicil; menyeimbangkan antara kebiasaan membaca dan menulis, karena membaca adalah gizi menulis; membaca, mencatat dan menulis; jadikan lingkungan hidup sekitar sebagai sumber ide; jam terbang; maksimalkanlah peran dan fungsi buku harian; carilah waktu intensif untuk menulis; hingga perbanyaklah latihan menulis.Â
Strategi yang ditawarkan penulis tidak lain adalah akumulasi dari proses komparasi antara pengalaman personal, simpulan dari membaca dan teori menulis yang dipahami.Â
Jika dianalogikan, strategi menulis ini menurut saya tak lebih seperti mind mapping yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kerja seorang penulis dalam berkarya. Tanpa adanya strategi jitu dalam menulis, bisa saja semangat dan kualitas tulisan yang dihasilkan akan fluktuatif, bahkan melempem.Â
 modal terakhir yang harus dimiliki oleh seorang penulis adalah teladan. Teladan atau khalayak ramai sering menyebutnya sebagai role model yang terbenam dalam diri seseorang. Teladan seorang penulis sudah pasti seorang penulis kawakan. Kendati tidak semua penulis kawakan adalah tokoh masyhur intelektual.Â
Kendati demikian, dalam keteladanan ini penulis bukan semata-mata fokus pada ceruk kemasyhuran penulis kawakan melainkan lebih menimbang sisi kreativitas, ketekunan dan tradisi para penulis yang harus diteladani. Ruang lingkup pembahasan itu sebagaimana terproyeksikan melalui judul bab keenam: Belajar Menulis dari Para Toko.Â
Dari sekian banyak penulis kawakan dan teladan, dalam bab keenam tersebut penulis membahas proses kreatif menulis dari sembilan tokoh. Sembilan tokoh yang menurut penulis banyak menginspirasi, memiliki ciri khas nyentrik dan resep rahasia dalam proses kreatif menghasilkan karya tulis.Â
Pembahasan itu dimulai dengan mengenal kreativitas bergelut dengan dunia kata versi Muhammad Fauzil Adhim, seni menulis ala Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, spirit menulis Anwar Holid, tahajud ilmiah Prof. Yudian Wahyudi, Ph. D, perjuangan menulis N. Mursidi, tahan dari segala godaan tatkala menulis menurut The Liang Gie, belajar menulis dengan hati kepada Wawan Susetya, meneladani Zara Zettira ZR memproduksi kata-kata hingga bagaimana Krishna Mihardja menulis dengan penuh kegigihan.Â
Dengan meneladani proses kreatif menulis yang dilakukan sembilan tokoh tersebut setidaknya pembaca diajak menengguk segarnya tetesan air dari mata airnya langsung.Â
Penulis seakan-akan hendak menegaskan bahwa air yang kita teguk itu tidak hanya menuntaskan dahaga secara jasmani namun juga menjadi asupan gizi bagi rohani--memedarkan motivasi yang dimiliki oleh penulis tersebut.Â
Meminjam istilah The Liang Gie, hal itu disebut dengan dorongan batin yang besar. Ibarat mata air yang terus mengalir ke rupa-rupa jenis sungai hingga berakhir di muara. Dalam proses hilirisasi air itu pula banyak kemanfaatan berjangka yang akan dituai.Â
Buku yang memuat 50 topik pembahasan ini saya kira sangat cocok dibaca untuk semua kalangan. Utamanya bagi mereka yang memiliki cita-cita menjadi seorang penulis. Atau mungkin penulis pemula yang sedang mengalami stagnasi, mengalami kebuntuan ide, dan hampir pesimistis dalam menapaki proses panjang menjadi seorang menulis.Â
Saya yakin dengan mengkhatamkan buku yang ditulis dengan komposisi antara pengalaman dan teori yang porposional ini spirit menulis Anda akan prima kembali. Kendati kemudian, rasa nyaman Anda dalam membaca mungkin akan sedikit terganggu dengan ditemukannya beberapa halaman yang tercetak secara ganda. Misalnya pada halaman 157-158 dan 163-164.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H