Secara mendasar, alasan yang dimiliki oleh seorang penulis turut memengaruhi proses dan hasil dari aktivitas menulis. Alasan sendiri muncul sebagai tangan panjang dari adanya motif-motivasi yang berkecamuk hebat di dalam diri. Semakin kuat motif yang dimiliki, maka akan semakin besar keterampilan dan kreativitas yang harus diperhatikan oleh seorang penulis.Â
Buku The Power of Writing menegaskan bahwa dari sekian banyak alasan yang mungkin dimiliki oleh seorang penulis, empat di antaranya ialah kesadaran penulis bahwa menulis sebagai tempat perlindungan, menulis sebagai obat stress, menulis sebagai tradisi dan menulis sebagai media komunikasi semua kalangan yang mampu melintasi bentangan zaman.
Memiliki alasan tidaklah cukup jika tidak menyadari hambatan yang dihadapi dalam menulis. Mengapa demikian? Sebab dalam proses panjang menulis terkadang penulis akan terjerat dan terjerembab dalam rentetan hambatan yang membentang.Â
Disebutkan oleh penulis, terdapat tujuh hambatan dalam menulis, yakni rasa malas, buntunya ide, memandang remeh menulis, jebakan habitus plagiasi, telanjur lacur mengeluh, minim bahkan nihilnya fasilitas yang dimiliki sangat potensial menjadikan proses menulis yang dijalani mandeg (tulisan yang tidak selesai).Â
Berbagai cara mencari jalan keluar dan upaya penyikapan terbaik dari segala bentuk hambatan yang dihadapi tersebut selanjutnya akan menentukan level seorang penulis.
Semangat menulis yang terjaga secara baik akan menjadikan seorang penulis mampu menundukkan segenap hambatan yang ada. Berdasarkan pengalaman penulis, kalau sedang memiliki semangat tinggi, berbagai hambatan menulis dapat diatasi.Â
Demikian pula dengan tulisan yang sulit, pelan namun pasti dapat diselesaikan. Akan tetapi jika semangat sedang rendah, tulisan yang tampak mudah dikerjakan saja juga tidak mampu terselesaikan, (hal. 129).
Hemat saya, atas dasar itu pula lantas penulis menegaskan satu sintesis, bahwa kriteria tulisan yang baik itu yang pertama adalah bisa selesai. Sebab, selesainya tulisan sesungguhnya menunjukkan bahwa penulisnya telah berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh. Kalaupun kemudian ada kekurangan, itu wajar. Justru adanya kekurangan itu baru akan diketahui ketika tulisannya telah selesai, (hal. 130).
Setelah mampu mengindentifikasi dan mengatasi segala jenis bentuk hambatan, alangkah baiknya seorang penulis juga memiliki strategi jitu untuk menjadikan menulis sebagai tradisi dalam hidupnya. Setiap orang sudah barang tentu memiliki strategi jitu menulis yang berbeda-beda karena disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan seleranya masing-masing. Namun dari sekian banyak strategi menulis tersebut penulis buku The Power of Writing menawarkan delapan strategi menulis.Â
Kedelapan strategi menulis tersebut yakni menulis dengan cara mencicil; menyeimbangkan antara kebiasaan membaca dan menulis, karena membaca adalah gizi menulis; membaca, mencatat dan menulis; jadikan lingkungan hidup sekitar sebagai sumber ide; jam terbang; maksimalkanlah peran dan fungsi buku harian; carilah waktu intensif untuk menulis; hingga perbanyaklah latihan menulis.Â
Strategi yang ditawarkan penulis tidak lain adalah akumulasi dari proses komparasi antara pengalaman personal, simpulan dari membaca dan teori menulis yang dipahami.Â