Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengadaan Sarpras di Masa Awal Perpindahan

7 Juli 2022   12:21 Diperbarui: 7 Juli 2022   12:25 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi 

Kepindahan TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung ke musala Baitussalam yang berlokasi di Jl. Mastrip/Talun RT 05 RW 01 Desa Beji Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung disambut hangat oleh Pak Imron, selaku ketua Yayasan Spirit Dakwah Indonesia yang baru. Sambutan hangat itu ditunjukkan dengan adanya upaya penyediaan beberapa sarana-prasana yang belum ada sebelumnya.


Pertama, pengadaan meja pembelajaran. Di awal-awal pertemuan pembelajaran TPQLB di musala Baitussalam, kurang lebih hanya tersedia empat sampai enam buah meja pembelajaran. Seingat saya, tatkala itu mejanya berwarna biru toska. Dari segi bentuk, meja tersebut berbentuk persegi panjang. Setiap meja memiliki panjang, tinggi dan lebar yang sama. Meja-meja tersebut kurang lebih memiliki panjang 120 sentimeter, tinggi dan lebar 30 sentimeter. Ukuran ideal meja untuk semua jenjang usia santri. Meja-meja tersebut dibuat dengan detail yang rapi dan setiap pinggiran meja dilengkapi lapisan alumunium.

Dalam penggunaannya, satu meja pembelajaran umumnya dapat ditempati oleh dua orang santri. Tentu saja dalam penempatan meja itu mengindahkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan yang bukan mahram menurut pandangan fiqih. Sehingga satu meja pembelajaran ditempati oleh dua orang santri, sedangkan satu meja yang lain ditempati oleh dua orang santriwati. Begitu juga untuk seterusnya. Selama ini tidak ada cerita satu meja ditempati oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin.

Tak berselang lama dari itu, tambahan meja pembelajaran baru kembali telah tersedia. Kala itu meja-meja baru tersebut berukuran lebih ramping dari meja yang telah tersedia sebelumnya. Masing-masing meja memiliki ukuran panjang kurang lebih 1 meter, tinggi 45 sentimeter dan lebar 30 sentimeter. Masih melekat kuat dalam ingatan saya, kala itu meja-meja baru tersebut berwarna cokelat. Jika tinggi meja sebelumnya lebih ramah dan nyaman untuk semua jenjang usia santri, maka meja pembelajaran baru tampak lebih cocok untuk santri yang telah menginjak usia remaja dan dewasa.

Pernah satu ketika, wali santri yang mengantarkan putranya meminta untuk menukarkan meja pembelajaran baru yang ditempati oleh anaknya dengan meja pembelajaran yang lama. Alasannya karena apa? Karena memang tubuh kecil santri itu tidak sesuai dengan tinggi meja yang telah tersedia. Sehingga tampaknya pembelajaran mengaji tidak efektif dan agak kesusahan manakala posisi mata dan jilid miliknya terlalu dekat. Hal itu dipicu karena tinggi meja pembelajaran itu persis sejajar dengan dagu santri.

Menyikapi kasus itu, tentu saja pemilihan meja pembelajaran yang ideal dengan usia dan postur tubuh santri juga turut memengaruhi tingkat kenyamanan proses pembelajaran mengaji berlangsung. Posisi duduk, akurasi intensitas cahaya, jarak antara meja dan tubuh santri serta jarak pandang antara mata santri dan jilid yang tepat juga akan berkaitan banyak dengan tingkat konsentrasi sekaligus pemahaman yang diserap oleh masing-masing santri. Sangat dimungkinkan pula, karena salah memilih tempat duduk dan meja pembelajaran menjadikan proses mengaji santri terganggu ataupun ambyar.

Tidak hanya itu, bagaimana cara duduk santri sebenarnya juga banyak memengaruhi. Duduk bersila, bersimpuh ataupun duduk gaya iftiras memiliki dampak yang berbeda. Seperti halnya yang kita ketahui, posisi duduk bersila ialah bentuk duduk dengan cara menyilangkan kedua kaki, sehingga berat badan ditumpu oleh pantat dan kedua telapak kaki. Lain lagi dengan duduk bersimpuh. Duduk bersimpuh dilakukan dengan cara melipatkan kedua kaki sehingga berat badan bertumpu pada betis dan paha, (Lasa, 2005: 146). Sedangkan duduk iftiras sebagaimana kerap dilakukan saat duduk pada tasyahud awal dalam salat. Yakni kedua kaki dilipat hingga membentuk huruf M yang tidak sempurna, kaki kiri menyilang ke bagian dalam hingga ujungnya menumpu permukaan kaki kanan. Jempol kaki ditekuk. Pada posisi duduk iftiras, berat badan bertumpu pada paha, betis dan kedua kaki.

Kendati demikian, duduk bersimpuh yang dilakukan dalam rentang waktu yang lama cenderung lebih berisiko. Utamanya menyebabkan kelelahan dan menimbulkan rasa sakit di beberapa bagian kaki: tungkai, pergelangan kaki dan punggung telapak lor. Yang demikian terjadi karena memusatkan seluruh beban badan pada lipatan kaki ke bagian belakang, (Lasa, 2005: 147). Lain halnya tatkala kita duduk dengan posisi bersila dan iftiras yang lebih cenderung memusatkan seluruh beban badan bertumpu pada pantat, paha dan kedua kaki. Sehingga ditopang oleh banyak anggota tubuh yang lebih kompleks daripada duduk bersimpuh.

Dengan demikian, kita dapat lebih mafhum bahwa posisi duduk bersimpuh lebih cenderung berisiko tinggi cedera daripada posisi duduk bersila dan iftiras. Meskipun sebenarnya posisi duduk bersila dan iftiras juga berpotensi berisiko cedera sedang jika dilakukan dengan durasi yang cukup lama, (Dhiana, 2004: 43-48). Akan tetapi, tingkat risiko tersebut dapat teratasi dengan baik manakala kita mampu merancang meja pembelajaran untuk duduk lesehan dengan porposional. Lebar, tinggi dan panjang serta tingkat kemiringan diatur seideal mungkin. Tak lupa permukaan meja diberi ruang untuk alat tulis dan tersedia ruang gerak yang cukup untuk kedua kaki.

Kedua, dibuatkan satir. Setelah meja pembelajaran tersedia sesuai dengan jumlah santri, pengadaan sarana selanjutnya adalah dibuatkan satir. Mulanya di beberapa pertemuan awal pembelajaran mengaji TPQLB, di musala Baitussalam memang belum tersedia satir pemisahan antara jemaah laki-laki dan perempuan.  Akan tetapi tidak berselang lama, satir pemisahan itu telah tersedia. Pada kenyataannya hal itu terwujud setelah adanya komunikasi yang intensif antara dewan Asatidz dengan Pak Imron. Itu berarti kegiatan ibadah yang dihelat di musala Baitussalam sebelumnya memang tidak ada media pemisah. Baru setelah beberapa minggu kepindahan TPQLB Spirit Dakwah Indonesia ke musala Baitussalam satir itu dibuatkan.

Jika diperhatikan secara detail, kerangka satir yang memiliki panjang sekitar 3 meter dan lebar 1,5 meter itu berbahan dasar besi. Keempat pinggir persegi panjang satir itu dibuat dengan besi yang berbentuk balok tebal. Sedang permukaan bagian sisi ditutup dengan triplek yang sisi luarnya tampak licin dan berwarna putih seperti bahan yang digunakan untuk white board. Tak ketinggalan, pada bagian bawah dari satir itu dilengkapi dengan dua roda untuk mempermudah akses pemindahan dari satu sisi ke sisi lain. Tentu saja model satir yang cukup berbobot itu sangat cocok tatkala dilengkapi dengan dua roda. Terdapat dua satir yang tersedia di sana. Satu bagian satir diletakkan pada bagian barat, sementara bagian satir yang kedua diletakkan pada bagian timur. Kedua satir tersebut terpisahkan oleh tiang yang dibangun di tengah-tengah musala.

Kehadiran dua satir tersebut tidak semata-mata bermanfaat sebagai media pemisah dalam menjalankan ritual keagamaan melainkan juga mendukung efektivitas kegiatan pembelajaran TPQLB. Sebelum kabupaten Tulungagung dinyatakan terjangkit Covid-19 dan pembelajaran di satuan lembaga pendidikan diliburkan kami sempat menggunakan satir itu sebagai pemisah untuk membedakan antara santri perempuan dan laki-laki. Antara santri kecil, remaja dan dewasa. Kurang lebih selama satu tahun kami melangsungkan pembelajaran mengaji dengan memanfaatkan satir sebagai pemisah kelas dan jenjang usia santri.

Akan tetapi, kelangsungan penempatan pembelajaran yang berbasis kelas dan jenjang usia tersebut menjadi ambyar seketika tatkala ada surat edaran dari pemerintah daerah yang menginstruksikan satuan lembaga pendidikan harus diliburkan secara total. Sebagai gantinya para santri harus belajar via online. Hampir genap dua tahun kami tidak menghelat kegiatan pembelajaran mengaji di musala Baitussalam. Semenjak pemerintah mewajibkan vaksinasi untuk seluruh masyarakat Indonesia dan mengaskan tingkat keamanan dari Covid-19 melalui konferensi pers, barulah kegiatan pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung dibuka kembali.

Tepat di bulan April, kegiatan pembelajaran di TPQLB dimulai kembali. Pembukaan itu pun membuat kami (dewan asatidz) harus memulai penataan format pembelajaran dari awal. Hal ini disebabkan karena banyaknya santri lama yang memutuskan diri untuk vakum. Kendati masih ada lima sampai sepuluh orang santri lama yang konsistensi dengan kehadirannya di TPQLB setiap minggunya. Belum lagi ditambah dengan kealfaan asatidz dan banyaknya santri baru yang silih berganti berdatangan. Kendala yang demikian itulah yang menyebabkan kami harus kembali merintis penataan format pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan kategori santri yang ada.

Di beberapa pertemuan awal tahun 2022, kami sempat menjadikan satir itu sebagai pembatas ruang khusus pembelajaran santri yang hiperaktif dan down sindrom. Ruang khusus dadakan ini sangat diperlukan mengingat kondisi santri yang hiperaktif dan down sindrom memiliki tingkat sensitivitas terhadap lingkungan berbeda dari santri yang tuna rungu, tuna wicara dan tuna daksa serta tuna netra. Santri hiperaktif akan susah berkonsentrasi jika dihadapkan dengan banyak orang. Atas dasar demikian, mengajari santri hiperaktif harus lebih telaten dan sabar. Sebagai upaya memudahkan komunikasi dan menarik antusias mereka untuk mau mengaji terkadang kami menggunakan mainan sebagai media pembelajaran. Begitu halnya yang kami lakukan tatkala mengajari santri penyandang down sindrom.

Ketiga, tersedianya white board. Pengadaan white board di musala Baitussalam sebenarnya bersamaan dengan tersedianya satir. White board tersebut berjumlah dua buah. Satu ditaruh di tengah-tengah dinding sisi bagian utara, sedang satunya lagi ditaruh di tengah-tengah dinding sisi bagian selatan. Kedua white board tersebut memiliki ukuran panjang dan lebar yang sama. Kurang lebih kedua white board tersebut memiliki kisaran panjang 1 meter dan lebar 1 meter. Masing-masing pinggir white board tersebut dilapisi dengan aluminium yang detail dan rapi.

Semenjak white board tersebut ada, kami seringkali menuliskan materi pembelajaran di sana. Mulai dari menuliskan kaligrafi Asmaul Husna, menuliskan mufrodat bahasa Arab sampai dengan fiqih ibadah. Tak hanya itu, tatkala di antara asatidz dan santri hendak membangun komunikasi yang intens tak jarang kami juga menuliskan persoalan apa yang kami maksud. Dengan demikian, maka kehadiran white board selama proses pembelajaran mengaji juga berperan sebagai media komunikatif.

Selain itu kami juga seringkali menggunakan white board di saat-saat yang genting. Misalnya saja tatkala hendak menyampaikan pengumuman terkait perhelatan kegiatan tertentu. Atau dalam rangka menyampaikan suatu pesan tertentu yang harus dikerjakan oleh masing-masing santri. Menyampaikan pesan melalui tulisan yang tercantum di white board dapat dikatakan jauh lebih efektif daripada kami harus memahamkan satu persatu santri dalam kurun waktu yang bersamaan.

Di kesempatan tertentu terkadang ada santri yang ngebet banget ingin ikut-ikutan menulis di white board. Ia mengambil spidol dengan cepat (tekadang merebut spidol di tangan asatidz) dan menggambar sesuatu hal yang disukai atau yang diinginkan. Beberapa kasus yang terjadi, hal itu dilakukan oleh santri baru yang memang memiliki tingkat penasaran yang tinggi. Adapun gambar yang ia tulis di white board adalah gambar mobil yang setiap garisnya tidak simetris dan tampak absurd.

Ohya, di awal-awal tersedianya white board tersebut kami juga berusaha melengkapi alat tulis yang dibutuhkan. Mulai dari spidol isi ulang, penghapus dan tinta. Di samping itu, kami juga berinisiatif membelikan satu wadah pensil ukuran 2B guna dibagikan secara cuma-cuma kepada para santri yang memang tidak memiliki pensil tatkala hendak menulis materi yang kami ajarkan di TPQLB.

Sebenarnya di TPQLB masih ada satu lagi white board yang berukuran kecil. Ukuran panjangnya kisaran 80 sentimeter dan lebarnya 50 sentimeter. White board itu ditempelkan pada bagian dinding sebelah utara pelataran musala Baitussalam. White board tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan memberikan pengumuman terkait agenda kegiatan yang diprogramkan TPQLB. Selain itu, white board mini tersebut juga kerapkali dijadikan sebagai tempat representatif untuk menginformasikan jadwal salat, agenda pengajian umum dan pengumuman lainnya yang dibuat oleh pihak pengelola musala Baitussalam.

Keempat, pengadaan lemari berkas administrasi lembaga. Tidak jauh berbeda dengan pengadaan sarana sebelumnya, lemari berkas administrasi lembaga juga tersedia setelah terjadi obrolan tipis-tipis antara Mas Zakaria dengan ketua yayasan. Setahu saya, lemari tersebut dibeli menggunakan uang pribadi ketua yayasan. Lagi-lagi beliau menunjukkan apresiasi dan kepedulian yang tinggi terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Di lain waktu, terkadang beliau juga kerapkali mengenaskan bahwa jikalau ada persoalan yang sukar dipecahkan, membutuhkan bimbingan dan kebutuhan terkait TPQLB diinstruksikan untuk langsung menghadap kepada beliau.

Secara fisik, lemari baru tersebut full berwarna coklat. Keseluruhan kerangka lemari berbahan dasar besi ringan, sedangkan di bagian tengah kedua pintunya terpasang kaca hitam transparan yang lumayan cukup tebal. Ketebalan kaca hitam transparan itu kisaran 0.5-0.8 milimeter.  Dari segi ukuran, tinggi lemari itu sekitar 1,5 meter, panjang 80 sentimeter dan lebar 40 sentimeter. Lemari yang berukuran sedang itu memiliki tiga sekat di dalamnya. Masing-masing sekat itu dialasi kaca hitam transparan yang tebalnya hampir sama dengan kaca yang terpasang pada kedua pintunya.

Untuk menunjang keamanan barang yang disimpan di dalamnya, kedua ujung pintu sisi kiri dipasangi kunci tolak. Sedangkan untuk merekatkan antara kedua sisi pintu (pintu sisi kanan dan kiri) dipasangi kunci kontak. Kunci kontak bawaan lemari tersebut berjumlah dua buah. Dua buah kunci kontak bawaan lemari tersebut dipegang oleh dua orang. Satu dibawa oleh Mas Zakaria, sedangkan satu lagi saya pegang. Kenapa kunci lemari tersebut harus dipegang oleh dua orang? Alasannya adalah untuk jaga-jaga dan siap siaga. Manakala ada kebutuhan mendesak dan lupa tidak membawa kunci, maka masih bisa mengandalkan satu orang lagi. Sementara jikalau kedua buah kunci hanya dipegang oleh satu orang dan kebetulan hilang, maka alamat apes; lemari tidak bisa dibuka.

Kehadiran lemari tersebut sangat bermanfaat untuk menyimpan berkas administrasi lembaga. Mulai dari data keseluruhan santri dan asatidz, buku pedoman pembelajaran, surat-surat berharga sampai dengan buku pendataan penyelenggaraan pendidikan: absensi santri dan murid, buku tamu, buku evaluasi, buku inventaris barang dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, pada kenyataannya lemari tersebut juga dimanfaatkan untuk menyimpan beberapa buah mainan, hand sanitizer, masker, face shield tisu dan alat tulis. Masing-masing berkas dan barang dikategorikan sesuai dengan pembagian sekat yang ada.

Sejauh yang saya amati selama ini, pembagian isi sekat lemari tersebut kurang lebih ialah sebagai berikut. Pada sekat yang pertama berisikan buku pedoman, lembar kontrol mengaji, jilid dan Al-Qur'an braille. Sekat kedua, menampung berkas administrasi santri dan asatidz, buku administrasi penyelenggaraan pendidikan dan alat tulis. Sekat ketiga tempat menyimpan perlengkapan antivirus Covid-19: hand sanitizer, masker, face shield dan tisu. Sedangkan pada sekat yang terakhir, keempat, diisi penuh dengan berbagai macam jenis mainan media pembelajaran.

Semenjak tersedia lemari yang diletakkan di sisi utara bagian dalam musala Baitussalam, lebih tepatnya di wilayah tempat menunaikan salat jemaah perempuan, semua berkas administrasi lembaga lebih terpusatkan di satu tempat. Berbeda dengan sebelumnya, di mana semua berkas administrasi lembaga tercecer di mana-mana. Sebagian berkas dibawa oleh Mas Zakaria, sebagian dibawa oleh sekretaris dan sebagian yang lain diamankan oleh bendahara. Tercecernya berkas administrasi lembaga di banyak tempat menyebabkan tidak terkontrolnya tingkat akurasi, keberadaan dan kuantitas data. Tentu saja hal ini membingungkan pengurus harian (PH) tatkala ada kebutuhan mendesak terkait berkas administrasi lembaga.

Kelima, pengadaan kipas angin. Masih terlintas betul dalam ingatan saya, pertama kali menghelat pembelajaran mengaji di musala Baitussalam para santri dan asatidz sangat dimanjakan dengan keberadaan dua kipas angin. Satu buah kipas angin gantung menempel di langit-langit sisi bagian utara musala. Sedangkan satu buah kipas angin lagi terpasang kokoh pada bagian atas dinding sebelah selatan musala. Jika keduanya dibandingkan berdasarkan kecepatan, kipas angin yang berada di bagian sisi selatan musala lebih dapat diandalkan.

Keberadaan dua kipas angin tersebut sangat bermanfaat untuk menyetabilkan sirkulasi udara yang ada di ruangan musala, utamanya tatkala kami merasakan udara panas di luar mulai lancang dan merembet menjangkiti tubuh kami. Dengan demikian, jikalau udara panas dirasa sedang tidak bersahabat dan ekstrim dengan tubuh kami sontak kami tak segan untuk menyalakan kipas angin. Akan tetapi, apabila udara dingin sedang menikam tubuh sampai ke tulang, kami tidak sampai hati untuk menyentuh tombol power kipas angin.

Keberadaan dua kipas angin tersebut di mata pengelola musala Baitussalam tampaknya tidaklah cukup, hingga akhirnya pada permulaan bulan Juni telah terpasang dua buah kipas angin baru. Dua kipas angin baru berwarna hitam yang berukuran besar tersebut menempel pada dinding sebelah timur musala. Posisinya persis di atas jendela. Tak lupa, untuk memudahkan menghidupkan kipas angin tersebut stopkontak dipasang dengan tinggi yang ideal. Kurang lebih dengan tinggi 1,5 meter masing-masing stopkontak kedua kipas angin tersebut dipasang.

Tentu saja kehadiran dua kipas angin tambahan tersebut membuat para santri dan asatidz merasa sangat dimanjakan dalam menikmati proses pembelajaran mengaji di musala Baitussalam. Setidaknya sirkulasi udara yang stabil dan merata ke semua sudut ruangan turut meningkatkan kenyamanan tatkala kami berada di dalam musala, sehingga membuat kami betah untuk berlama-lama di sana.

Jika diamati lebih jauh, semenjak kepindahan TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung ke musala Baitussalam pihak pengelola pada kenyataannya telah banyak melakukan pengadaan sarana dan prasarana yang kian lengkap dan mendukung proses pembelajaran mengaji TPQLB, kendati yang demikian tidak dilakukan secara serentak, melainkan dengan cara dicicil satu persatu. Mengetahui progres itu, sudah barang tentu  kami harus pandai-pandai mensyukuri nikmat yang ada tanpa putus-putus.

Tulungagung, 03 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun