Dalam rentang waktu 2019-2021 saja saya kira kemunculan santri baru itu kian membludak. Walaupun pada kenyataannya kemunculan santri baru juga disertai dengan surutnya (jarang masuk yang entah ke mana) santri yang lama.Â
Mengenai sistem dan alokasi waktu penerimaan santri baru ini saya kira menjadi satu catatan tersendiri untuk evaluasi lembaga kedepannya. Hal ini penting dilakukan, mengingat jumlah tenaga asatidz yang terbatas dan penerimaan relawan yang kian surut. Padahal regenerasi dan pengelolaan sumber daya manusia sebagai tenaga pendidik sangat menentukan kontinuitas eksistensi lembaga.
Realitas penambahan kuantitas lintas usia dan latarbelakang santri serta perpindahan tempat pembelajaran juga turut memengaruhi perkembangan sekaligus pembentukan karakter para santri. Mayoritas wali santri memandang bahwa semenjak putra-putrinya mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia kian hari kian berkembang.Â
Hal itu ditopang oleh lingkungan tempat yang nyaman, interaksi sosial di antara santri yang terbangun dengan baik dan dewan asatidz yang terbuka: mengajar tanpa membeda-bedakan, mengajar dengan pendekatan emosional dan selalu membangun hubungan timbal balik dengan wali santri.Â
Secara pribadi saya memandang bahwa karakter setiap santri banyak dipengaruhi latarbelakang cara orangtua mendidik, teman bergaul dan gender. Kendati demikian, setiap santri juga kerap menampilkan karakternya masing-masing selama proses pembelajaran.Â
Di antaranya saja: ada santri yang mudah bergaul, mudah menirukan semua hal yang diajarkan oleh asatidz, pilih-pilih asatidz, usil, suka menyendiri, susah fokus dan konsentrasi, mudah lupa, kuat ingatannya dan lainnya.Â
Di samping itu ada juga santri yang berusaha memanfaatkan waktu jeda sorogan mengaji atau selesai menulis dengan menyalurkan hobinya. Misalnya saja, mengisi waktu jeda itu dengan menggambar, membuat sketsa, menulis sesuai selera dan lain sebagainya.
Akhir-akhir ini saya juga menemukan sesuatu hal baru bahwa karakter itu juga dipengaruhi oleh jenis disabilitas yang disandang oleh masing-masing santri. Misalnya saja santri tuna netra karakternya ketika pembelajaran akan banyak diam jika tidak dibantu dengan indera peraba. Sedang santri down sindrom memiliki karakter yang susah ditebak, sebab dapat berubah sewaktu-waktu.Â
Terkadang usil terhadap santri yang lain, menampilkan attitude yang kurang baik pada asatidz- misalnya meludahi, mengangkat kaki ke meja, merampas peci- dan enggan dikendalikan dengan tanda tidak merespon interaksi secara verbal. Moodnya sangat memengaruhi. Sekali lagi, tidak dapat ditebak!
Sedang siklus pembelajaran santri yang kerap terjadi di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia ialah dapat dibedakan menjadi tiga: adaptasi, berbaur dan mandiri. Tahapan adaptasi biasa cenderung melanda para santri baru. Sebagai penghuni baru sudah barang tentu mereka ingin tahu ini dan itu. Merasa asing sekaligus takut dengan asatidz dan santri lainnya.Â
Selama proses adaptasi ini tidak jarang mereka (red: santri baru) enggan untuk diajari mengaji. Tidak jarang mereka malah merengek pada ibunya sembari berujar, "emoh". Jika tidak demikian mereka memilih jalan dengan melarikan diri. Menjauh pelan-pelan atau berontak pada ibunya.Â