Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menyemai Marwah Kemerdekaan

28 Agustus 2021   02:25 Diperbarui: 28 Agustus 2021   02:41 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

"Tak ada pengharapan yang sama persis di antara kita semua, selain mederka dari belenggu pandemi Corona", Dewar Alhafiz.

Dua kali sudah kita memperingati ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia dalam dekapan Corona, sementara kita masih dalam keadaan yang sama: dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemesan terpapar Covid-19 itu kita tetap teguh melestarikan sakralitas detik-detik proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita tahu-menahu betul bahwa memperingati hari kemerdekaan adalah "keharusan" setiap orang--dari Sabang sampai Merauke-- yang bernaung di bawah payung besar bernama negara kesatuan republik Indonesia.

Kata "keharusan" dalam konteks ini tentunya menyisipkan makna yang tak terhingga. Baik itu sebagai bentuk penghormatan tertinggi atas pengorbanan para pahlawan yang gugur dalam medan tempur, suri tauladan dalam patriotisme dan nasionalime, komitmen kesatuan di atas kebhinekaan, satu ideologi, status hukum, kode etik dan lain sebagainya.

Yang tampak jelas, kemerdekaan itu memang menjadi jembatan yang telah berhasil merubah nasib setiap apa-apa yang tampil atas nama bangsa Indonesia. Bangsa yang berdaulat, adil, makmur dan sentosa.

Meski demikian, secara pribadi saya yakin bahwa arti daripada kemerdekaan itu sendiri tidak berhenti pada pembakuan mengenang hari kemerdekaan menjadi tradisi peringatan hari besar nasional semata, melainkan harus menjadi lentera jiwa yang terus hidup dan berkembang dari masa ke masa.

Atas dasar keyakinan itu pula saya memandang terdapat gradasi arti daripada kemerdekaan bangsa Indonesia. Adapun gradasi arti kemerdekaan itu tak ubahnya anak tangga yang kemudian akan menentukan sejauh mana posisi kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Sudut pandang ontologis menjadi level yang pertama, kemerdekaan bangsa Indonesia diartikan sebagai fakta sejarah. Satu peristiwa penting dalam ruang lingkup bentangan sejarah. Artinya, kemerdekaan itu telah tercapai, tercatat dalam sejarah dan diakui belahan dunia, baik secara defacto maupun dejure.

Status sebagai peristiwa penting yang berdarah-darah atas nama kebangkitan nasionalisme dan patriotisme dalam rengkuhan sejarah itu pula yang menjadikan alasan kenapa kita harus mengenang dan memperingatinya.

Tak sedikit orang yang terjebak sekaligus terlena dalam mendefinisikan kemerdekaan itu cukup hanya dengan mengenang dan memperingati, seakan-akan kesadaran dan jiwa kemerdekaan dalam kesadaran masing-masing diri kita telah mati dan terhenti. Ada keyakinan, kemerdekaan itu ya  telah cukup tercapai satu kali. Terealisasikan oleh pengorbanan para pahlawan nasional yang telah mendahului.

Selebihnya, penjajahan negara asing atas nama investasi, penguasaan aset negera atas nama trah keturunan penjabat yang dahulu kita hormati, merebaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh orang sendiri, jual beli jabatan dan bentuk lain daripada korupsi, kolusi dan nepotisme yang jumlahnya tidak terhitung lagi kita anggap bukan sebagai penjajahan terkini.

Lantas sudut pandang macam apa seperti ini? Katanya merdeka, namun justru tidak sedikit orang dalam sendiri yang merongrong kedaulatan negeri, sedang mencari-cari dan menduduki posisi sebagai biang keladi. 

Sengkuni yang berperan sebagai tokoh penting yang harus kita hormati. Dan sialnya kita lebih banyak tidak merasa dan sadar diri, bahwa hal itu pula yang seharusnya menjadi salah satu problematika yang harus banyak kita renungkan, koreksi dan secepat mungkin harus dibenahi, tanpa terkecuali.

Akan tetapi arti memperingati hari kemerdekaan dalam level yang kedua, yang menunggunakan sudut pandang epistemologi tidak demikian. Tidak sedangkal pada kewajiban menghelat seremonial semata, melainkan setiap pengulangan memperingati kemerdekaan dari tahun ke tahun itu sudah seharusnya menyuguhkan berbagai macam pembenahan paradigma dan pemahaman yang bersifat kontekstual terkait pembelajaran nilai-nilai moralitas dalam berbangsa dan bernegara.

Ibarat batrei yang kehilangan massanya, maka setiap peringatan itu adalah momentum yang tepat untuk menambah daya. Penambahan daya sebagaimana semangat yang diusung dalam satu tema. Tema yang dipandang mencerminkan tangga harapan atas orientasi makna yang harus dicapai masing-masing hidup kita dalam berbangsa dan bernegara.

Itu artinya, kemerdekaan bangsa sebagai fakta sejarah bukan tujuan akhir daripada perjuangan hidup masing-masing kita, melainkan ibarat cermin yang harus terus-menerus memantulkan cahaya ke dalam sanubari khalayak orang yang mau mengambil pelajaran atas kejadian 76 tahun yang lalu. Sederhananya, ada motivasi untuk istikamah dalam menepatkan kemerdekaan sebagai gairah dan falsafah hidup.

Kesadaran menempatkan kemerdekaan sebagai gairah dan falsafah hidup itu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas dasar penghayatan yang kuat terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945 dan konsep bhineka tunggal Ika yang telah dirumuskan oleh para proklamator kemerdekaan Indonesia.

Sebagai bentuk nyata daripada proses pembentukan kesadaran secara epistema itu kita bisa melihat bagaimana upaya Orde lama menitikberatkan penerapan paradigma nation dan character building ke dalam tubuh pendidikan formal melalui mata pelajaran Civics, (Bunyamin Maftuh, 2008: 135).

Tidak hanya sampai di sana, pada masa Orde baru bahkan upaya itu diterus digencarkan dengan sporadis melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN), yang kemudian dipertegas dan  berganti nama menjadi pendidikan moral Pancasila (PMP) seiring keluarnya kurikulum 1975. Selain itu, dalam cakupan yang lebih luas (khalayak masyarakat) Orde baru juga menetapkan P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila). Disebutkan, dahulu P4 dijadikan bahan penataran siswa atau pun mahasiswa baru, (Bunyamin Maftuh, 2008: 136).

Dalam dunia pendidikan sekarang, kita mengenalnya dengan sebutan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn). Mata pelajaran yang isinya fokus mengkaji Pancasila, Undang-undang dan segala bentuk pengetahuan yang menata bagaimana seharusnya menjadi warga negara Indonesia yang baik. Baik dalam konteks pikiran, perkataan dan perbuatan.

Jika kita meminjam cara pandang Chatterjee, upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila, nasionalisme dan kewarganegaraan ini dilakukan dengan tujuan adanya proses "saringan ideologis". Sebab ideologi yang kita miliki (red; setiap negara) seharusnya menemukan konsep nasionalisme secara mandiri, bukan semata-mata menjadi konsumen abadi atas skenario pencerahan dan eksploitasi kolonial, sekaligus skenario perlawanan antikolonialisme dan pascakolonial. Atau bahkan imajinasi-imajinasi atas kebebasan yang kita miliki pun adalah bentuk-bentuk modular tertentu yang sudah disediakan oleh orang Barat: Eropa-Amerika, (P. Chatterjee, 1993: 5).

Kesadaran atas hal ini dalam bahasa Ania Loomba disebut dengan "mind idea". Yang menyatakan bahwa segenap perjuangan antikolonialisme harus mengejawantahkan identitas baru dalam kondisi yang lebih kuat dan baik, bukan saja secara politis atau intelektual, melainkan juga pada tingkatan emosional, (Ania Loomba, 2003: 240).

Dari sana setidaknya kita paham, bahwa mind mapping yang ada dalam diri masing-masing kita (sebagai warga negara Indonesia) sebenarnya telah disetting untuk menyadari arti daripada kemerdekaan. Baik itu selama kita bertahun-tahun mengenyam pendidikan, melalui pembelajaran nilai-nilai moralitas yang ditampilkan dalam sejarah (baik oral maupun literatur) hingga pelestarian tradisi peringatan hari kemerdekaan.

Sementara yang terakhir, yakni arti kemerdekaan pada tataran aksiologis. Pada level ini, kita tidak sebatas menjadikan marwah kemerdekaan sebagai gairah, falsafah hidup dan cara pandang serta paradigma berpikir, melainkan sudah menginternalisasikan nilai-nilai luhur  kewarganegaraan (red: Pancasila, UUD 1945 dan bhinneka tunggal Ika) itu sebagai bentuk cara berpikir, berkata dan bersikap. Pendek kata, kemerdekaan telah menjadi role model dalam menyelesaikan setiap rutinitas sehari-hari kehidupan kita.

Misalnya saja, kita ambil contoh implementasi role model kemerdekaan dalam konteks menghadapi tantangan pandemi Covid-19 yang tak kunjung sirna.

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, manusia Pancasila dan bersahaja, tentu kita harus tetap mengutamakan kepentingan dan keselamatan bersama tanpa terkecuali. Upaya itu dilakukan dengan cara menaati peraturan pemerintah: menjalankan prokes, sosial distancing, isolasi mandiri, work from home, vaksinasi dan menerapkan pola hidup sehat.

Selain mengondisikan kesehatan fisik, tentu dalam kondisi yang gupuh dan serba cemas ini kita juga harus mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila yang pertama--Ketuhanan yang Maha Esa--memupuk kesehatan rohani.  Artinya, pengondisian keselamatan diri itu harus dilakukan secara seimbang, baik secara fisik dan spiritualitas.

Terlebih jika kita mengingat, di awal-awal merebaknya kasus dan pemberitaan penularan virus, satuan tugas Covid-19 menyatakan pemberlakuan 3 M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak). Pemberlakuan aturan itu berlangsung karena tim satgas mendiagnosa penularan virus melalui persentuhan dan sirkulasi udara.

Uniknya, belakangan fakta baru tampil ke muka, bahwa orang yang secara intens menjaga prokes dan kesehatan fisik pun masih bisa terjangkit. Ambil saja contoh kasus Om Deddy Corbuzier yang kerap nge-gym, suntik vitamin C dan D serta rutin swab antigen, pada akhirnya terpapar juga. Dr. Gunawan selaku dokter yang menanganinya dalam podcast Deddy Corbuzier pernah menyebutkan penularan virus Covid-19 sendiri oleh ilmuwan masih diperdebatkan.

Lantas tidak heran, jika banyak sekali podcast pesan WhatsApp agamais berseliweran, yang menghubung-hubungkan antara merebaknya kasus penularan virus dengan salah kaprahnya menjaga kebersihan diri dengan berwudhu, menggunakan niqob sampai dengan menyebut wabah ini sebagai kutukan dari Tuhan.

Tentu bukan konteks itu yang dimaksud keseimbangan spiritual di sini, melainkan lebih kepada pelaksanaan ritual ibadah yang bersifat intensif dan istikamah. Serta memperbanyak sedekah dengan membantu kebutuhan hidup korban yang terjangkit, atau pun mereka yang sedang melakukan isolasi mandiri.

Sedekah di masa pandemi memang sangat dibutuhkan. Tidak harus mengerdilkan makna sedekah melulu menggunakan harta kalau memang kita termasuk golongan mustadafin, paling minimal kita mewujudkannya dengan memberikan perhatian, kasih sayang dan cinta. Tunjukkan kalau memang kemerdekaan telah menjadi lentera jiwa.

Intinya, kita harus tetap mengutamakan rasa kemanusiaan di atas penderitaan, bukan malah menjauhi, menganggap setiap orang yang terjangkit virus tidak pernah ada dan mendoakannya cepat tiada. Terlebih lagi, di saat-saat sebagian di antara kita sedang mengalami titik terendah dalam hidupnya, putus asa. Maka hemat saya, alangkah baiknya kita menyemangati, memberikan support dan menumbuhkan keyakinan untuk sembuh kepada yang bersangkutan.

Dari paparan di atas setidaknya kita bisa mengambil simpulan, bahwa eloknya jiwa kemerdekaan itu meliputi seluruh rekam jejak kehidupan. Selama hayat masih dikandung badan. Kemerdekaan itu tidak sebatas terhenti pada fakta sejarah dan tradisi seremonial yang lambat-laun mungkin saja kehilangan khittohnya. Melainkan jiwa kemerdekaan itu harus merasuk ke dalam kesadaran, cara berpikir dan bertindak sebagai falsafah hidup setiap orang yang mengaku warga negara Indonesia.

Akhir kata, semoga kita semua lekas merdeka dari keterjajahan pandemi Corona. Amin.

Tulungagung, 28 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun