Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menyemai Marwah Kemerdekaan

28 Agustus 2021   02:25 Diperbarui: 28 Agustus 2021   02:41 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

Selebihnya, penjajahan negara asing atas nama investasi, penguasaan aset negera atas nama trah keturunan penjabat yang dahulu kita hormati, merebaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh orang sendiri, jual beli jabatan dan bentuk lain daripada korupsi, kolusi dan nepotisme yang jumlahnya tidak terhitung lagi kita anggap bukan sebagai penjajahan terkini.

Lantas sudut pandang macam apa seperti ini? Katanya merdeka, namun justru tidak sedikit orang dalam sendiri yang merongrong kedaulatan negeri, sedang mencari-cari dan menduduki posisi sebagai biang keladi. 

Sengkuni yang berperan sebagai tokoh penting yang harus kita hormati. Dan sialnya kita lebih banyak tidak merasa dan sadar diri, bahwa hal itu pula yang seharusnya menjadi salah satu problematika yang harus banyak kita renungkan, koreksi dan secepat mungkin harus dibenahi, tanpa terkecuali.

Akan tetapi arti memperingati hari kemerdekaan dalam level yang kedua, yang menunggunakan sudut pandang epistemologi tidak demikian. Tidak sedangkal pada kewajiban menghelat seremonial semata, melainkan setiap pengulangan memperingati kemerdekaan dari tahun ke tahun itu sudah seharusnya menyuguhkan berbagai macam pembenahan paradigma dan pemahaman yang bersifat kontekstual terkait pembelajaran nilai-nilai moralitas dalam berbangsa dan bernegara.

Ibarat batrei yang kehilangan massanya, maka setiap peringatan itu adalah momentum yang tepat untuk menambah daya. Penambahan daya sebagaimana semangat yang diusung dalam satu tema. Tema yang dipandang mencerminkan tangga harapan atas orientasi makna yang harus dicapai masing-masing hidup kita dalam berbangsa dan bernegara.

Itu artinya, kemerdekaan bangsa sebagai fakta sejarah bukan tujuan akhir daripada perjuangan hidup masing-masing kita, melainkan ibarat cermin yang harus terus-menerus memantulkan cahaya ke dalam sanubari khalayak orang yang mau mengambil pelajaran atas kejadian 76 tahun yang lalu. Sederhananya, ada motivasi untuk istikamah dalam menepatkan kemerdekaan sebagai gairah dan falsafah hidup.

Kesadaran menempatkan kemerdekaan sebagai gairah dan falsafah hidup itu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas dasar penghayatan yang kuat terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945 dan konsep bhineka tunggal Ika yang telah dirumuskan oleh para proklamator kemerdekaan Indonesia.

Sebagai bentuk nyata daripada proses pembentukan kesadaran secara epistema itu kita bisa melihat bagaimana upaya Orde lama menitikberatkan penerapan paradigma nation dan character building ke dalam tubuh pendidikan formal melalui mata pelajaran Civics, (Bunyamin Maftuh, 2008: 135).

Tidak hanya sampai di sana, pada masa Orde baru bahkan upaya itu diterus digencarkan dengan sporadis melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN), yang kemudian dipertegas dan  berganti nama menjadi pendidikan moral Pancasila (PMP) seiring keluarnya kurikulum 1975. Selain itu, dalam cakupan yang lebih luas (khalayak masyarakat) Orde baru juga menetapkan P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila). Disebutkan, dahulu P4 dijadikan bahan penataran siswa atau pun mahasiswa baru, (Bunyamin Maftuh, 2008: 136).

Dalam dunia pendidikan sekarang, kita mengenalnya dengan sebutan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn). Mata pelajaran yang isinya fokus mengkaji Pancasila, Undang-undang dan segala bentuk pengetahuan yang menata bagaimana seharusnya menjadi warga negara Indonesia yang baik. Baik dalam konteks pikiran, perkataan dan perbuatan.

Jika kita meminjam cara pandang Chatterjee, upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila, nasionalisme dan kewarganegaraan ini dilakukan dengan tujuan adanya proses "saringan ideologis". Sebab ideologi yang kita miliki (red; setiap negara) seharusnya menemukan konsep nasionalisme secara mandiri, bukan semata-mata menjadi konsumen abadi atas skenario pencerahan dan eksploitasi kolonial, sekaligus skenario perlawanan antikolonialisme dan pascakolonial. Atau bahkan imajinasi-imajinasi atas kebebasan yang kita miliki pun adalah bentuk-bentuk modular tertentu yang sudah disediakan oleh orang Barat: Eropa-Amerika, (P. Chatterjee, 1993: 5).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun