Kedelapan, berhias. Berhias di sini maksudnya berusaha menampilkan ekspresi kebahagiaan karena telah sampainya kita pada hari kemenangan. Penampilan mencitrakan pancaran kegembiraan yang bersemayam di dalam diri.Â
Adapun berhias dalam konteks ini bisa berupa; memotong rambut, meotong kuku, membersihkan badan, memakai wewangian sebagaimana mestinya tanpa berlebihan dan mengenakan pakaian yang terbaik.Â
Warna pakaian lebih afdhol jika berwarna putih, akan tetapi jika ada pakaian yang lebih baik dan bagus maka kenakanlah itu. Dikatakan, alasan ini pula yang menjadi dasar kenapa terdapat tradisi membeli baju baru menjelang lebaran. Satu tradisi yang dikuatkan oleh teks agama dalam rangka syiar kebahagiaan di hari raya yang Fitri dan mulia.
Syekh Zakariya al-Anshari memberikan rambu-rambu yang tegas dalam hal berhias khususnya bagi para perempuan. Bahwa penampilan itu harus sesuai dengan batasan-batasan syari'at yang dianjurkan. Tidak mempertontonkan aurat, menampilkan bagian tertentu pada yang bukan mahramnya dan lain sebagainya, (Asna al-Mathalib, juz 1: 281).
Yang harus menjadi perhatian dan catatan dalam konteks berhias di sini adalah sesuaikan upaya maksimal kita dalam berhias tanpa harus menjadi sesuatu hal isrof, riya' dan menimbulkan kemafsadatan. Sebab, bagaimanapun jangan sampai euforia kemenangan itu malah mengerdilkan ataupun mengikis hakikat dari hari raya Idulfitri itu sendiri.Â
Salah satu hal yang harus diingat oleh kita semua, kunci utamanya dalam berhias itu sendiri adalah baik dan bagus yang bertumpu pada keadaan masing-masing kita.
Sementara yang terakhir yakni memberi ucapan selamat (tahniah). Sebagai salah satu bentuk suka cita yang begitu mendalam- yang melibatkan jiwa dan raga- karena sampainya kita pada hari raya Idulfitri maka tidak menjadi sesuatu hal yang salah (diperbolehkan) untuk saling memberi ucapan selamat (tahniah).Â
Bahkan, tahniah ini menjadi sesuatu hal yang dianjurkan adanya. Sebagaimana kita diperintahkan untuk bersyukur atas segala bentuk nikmat. Bersyukur atas keselamatan dari segala macam marabahaya.Â
Lantas tidak heran jika, M. Mubasysyarum berusaha mencari dalil pembenaran atas tahniah dengan mendeskripsikan bagaimana upaya Imam Al-Baihaqi menginventarisasi hadits tentang ucapan selamat meskipun secara sanad masih dapat dikatakan lemah.Â
Selain itu, tidak adanya aturan baku dalam redaksi pemberian ucapan selamat juga sangat membantu kita dalam menerjemahkannya ke dalam segala bentuk. Misalnya saja seperti redaksi tahniah yang telah lumrah; Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, perkenan kami sekeluarga menghaturkan Mohon Maaf Lahir dan Batin atas segala kesalahan dan kekhilafan serta lain sebagainya.Â
Selain, tahniah yang banyak bertumpu pada permainan bahasa, pada perkembangannya tahniah juga dilengkapi dengan berjabat tangan (bersalam-salaman). Dalam Hasyisyah al-Syarwani dikatakan bersalam-salaman tersebut dilakukan sesuai ketentuan mahram dengan syariat Islam. Sedangkan tahniah dengan yang bukan muhrimnya tidak dianjurkan untuk bersentuhan tangan, (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Juz 3: 56).