"Masing-masing pribadi kita adalah Hibriditas sempurna dari persilangan dua ideologi dan rasa, antara sosok yang kita sebut Ibu dan lelaki tangguh yang kerap kita panggil Bapak", Dewar Alhafiz.
Welcome speech
Alhamdulillah sekali, malam kemarin tepatnya di malam kedua puluh Ramadan saya merasa beruntung karena dapat diberi kesempatan untuk bergabung dan menjadi bagian dari grup WhatsApp Coaching Abang-Neng Jaga di KMO batch 33.
Salah satu grup khusus yang sengaja dibentuk untuk menggembleng pengetahuan dan kemampuan kami (red; saya dan teman-teman yang lain) dalam menggeluti dunia literasi. Tentu, tidak semua orang mampu mengambil, diberi kesempatan dan diberikan kepercayaan yang sama untuk menjadi bagian dari grup WhatsApp itu. Terlebih lagi, jika mengingat persyaratan khusus untuk masuk ke dalam grup itu harus mampu showing, istikamah dan mau belajar lebih keras lagi.
Ya, bagaimanapun itu adalah tantangan yang harus di hadapi oleh kami selaku kandidat yang diseleksi secara serius untuk mendapuk titel Abang-Neng Jaga pada batch 33 KMO ini. Lantas, setelah beberapa saat saya tergabung di dalamnya, mulailah sang admin sekaligus Coach menyampaikan sambutan sembari menyodorkan menu berbuka dan sahur untuk tiga hari ke depan.
Menu kali ini tidak semanis takjil puasa; Sekhasiat minum Kojima yang di dalamnya mengandung perpaduan kurma, Jinten, Habatussauda dan madu, kolak, rujak, minuman seger, pisang dan lain sebagainya. Melainkan schedule sesi pertemuan yang harus kami simpan rapat-rapat di memori internal gadget. Ya, menyimpan schedule sesi pertemuan di memori gadget itu lebih aman dibandingkan menyimpannya dengan mengandalkan ingatan yang kapasitasnya sudah tersamarkan, lupa-lupa ingat.Â
Maklum saja, semakin tua ternyata semakin banyak pula persoalan yang menumpuk di ruang pikiran. Masalah keuanganlah, ekonomi, sosial, tetangga, kebutuhan fisiologis, dan ini-itu lain sebagainya. Belum lagi, ini adalah bulan puasa. Terkadang perut yang kosong, mudah sekali mengaburkan pikiran dan kejelian kita dalam bekerja. Lah, kok malah menyudutkan puasa ya? Astaghfirullah.
Ah, tapi itu bukanlah alasan yang layak untuk disuguhkan ke permukaan. Sebab, bagaimanapun persoalan simpan -menyimpan dan ingat-mengingat adalah tanggung jawab personal. Tanggung jawab personal bagi orang-orang yang jones (red; jomblo ngenes) ya kak? Loohh.. bukan itu maksudnya. Terus apa? Tanggung jawab personal kalau diingatkan oleh istri tercinta, ya kak? Ya bukan gitu juga kali... Dulmajid! Maksudnya itu, ya tugas yang harus dilakukan atas dasar kesadaran diri sendiri.
Tepat pada pukul 08.00-09.00 WIB, sesi perkenalan di antara kandidat Abang-Neng Jaga KMO33 itu berlangsung. Ya, dua jam, kami saling menyambung tanya jawab sekadar untuk menyebutkan nama, alamat, domisili, tokoh idola, nama pena, akun sosial media dan lain sebagainya. Sisanya, kami hahahihi mengumbar jenaka. Melukis senyum perkenalan di masing-masing wajah kami.
Setelah selesai hahahihi, saya kira hanya cukup ditutup dengan mengucapkan salam dan balik kanan jalan grak. Eh, bussset... ternyata, langsung ada tugas dadakan. Itu pun batas akhir pengerjaan tugasnya harus selesai jam 17.00 WIB, dan telah diunggah di akun Facebook KMO Club. Ah, weekend ini sempurna sudah dikejar deadline. Tapi tak apa, toh itu pun demi kebaikan diri saya. Kalau tidak ditekan, kapan lagi akan terbiasa dan bisa?
Nah, di bawah ini hasil tulisan kejar tayang saya yang amburadul. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Hibriditas Pergerakan Nasionalisme Boedi Oetomo
Menyoal tentang Boedi Oetomo tentunya tidak akan pernah lepas dari sejarah hegemoni kolonialisme dan inferioritas pribumi yang sengaja dibentuk pada masa penjajahan Belanda. Satu masa sebelum masyarakat pribumi Hindia-Belanda memproklamirkan diri untuk merdeka dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sederhananya, kemunculan Boedi Oetomo menandakan perubahan pola pikir dan taktik perjuangan panjang yang telah lama digencarkan. Yakni perpindahan haluan perjuangan dari yang semata-mata mengandalkan kekuatan fisik yang bersifat sektoral dan ego kelompok parsial menjadi perjuangan yang bertumpu pada pemikiran- satu pandangan dalam hal; pentingnya kesatuan, adanya semangat nasionalisme dan kehendak untuk merdeka.
Lantas bagaimana Boedi Oetomo menarik simpati dan dukungan dari semua kalangan masyarakat Hindia-Belanda untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut? Hal itu akan terjawab tuntas tatkala kita mengulik dalam tentang sepak terjang Boedi Oetomo sebagaimana yang telah dituliskan tinta sejarah.
Boedi Oetomo secara sah berdiri pada 20 Mei 1908. Organisasi pergerakan nasional yang bertujuan untuk menyongsong kemerdekaan. Satu pergerakan nasional rintisan yang kemudian mendorong lahirnya organisasi lain yang banyak menghimpun kekuatan ideologi bhineka tunggal Ika, (Gamal Komandoko, 2008: 46). Karena alasan ini pula selanjutnya tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari kebangkitan Nasional.
Berdirinya pergerakan Boedi Oetomo diinisiasi oleh para mahasiswa kedokteran STOVIA di Batavia, (Winahyu dkk., 2017: 98). Nagazumi (1989: 10) menyebutkan di antara tokoh muda yang memiliki peran penting dalam berdirinya organisasi pergerakan nasional ini ialah Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreg, Mohammad Saleh dan Soelaiman. Namun, tokoh yang paling berjasa di antara mereka adalah Soetomo. Lantas tidak heran, jika banyak orang yang menggadang-gadang Soetomo sebagai pendiri Boedi Oetomo.
Terbentuknya pergerakan Boedi Oetomo terilhami dari gagasan untuk merubah nasib bangsa Indonesia yang ditawarkan Dr. Wahidin Sudirohoesodo tatkala beliau bertandang ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten; Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera), (Gamal Komandoko, 2008: 40). Seorang priyayi rendahan alumni STOVIA yang yang berprofesi sebagai asisten Wedana yang bergelar dokter, (Nagazumi, 1989: 41).Â
Adapun gagasan yang ditawarkan Dr. Wahidin Sudirohoesodo untuk merubah nasib bangsa Indonesia ialah dengan menyokong semangat mengenyam pendidikan pelajar-pelajar pribumi yang berprestasi namun tidak mampu secara finansial. Dalam artian, beliau mengusulkan kepada pemerintah Hindia-Belanda agar adanya bantuan dana untuk para pelajar pribumi yang berprestasi untuk melanjutkan sekolah. Atas dasar alasan itu pula, beliau berkeliling ke kota-kota besar yang ada di pulau Jawa untuk menyarankan kepada rakyat pribumi untuk bersekolah di STOVIA, (dikutip dari www.kebudayaan.kemendikbud.go.id)
STOVIA sendiri adalah sekolah kedokteran milik pemerintahan Belanda yang didirikan pada 1851. Lembaga pendidikan yang standaritasnya sengaja disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang ada di Belanda dan didirikan atas usulan direktur Sekolah Dokter Jawa, H. F. Roll, guna menyukupi kebutuhan dokter dalam mengatasi berbagai macam wabah yang menyebar di wilayah Hindia-Belanda.Â
Di samping itu, seolah mengetahui celah yang ada, selaku organisasi yang berdiri di bawah pengawasan kolonial Belanda, Boedi Oetomo murni bertujuan untuk memperjuangkan hak mengembangkan potensi sosial, kebudayaan dan pendidikan bagi rakyat pribumi, serta tidak ada kecenderungan pada arah politik. Karena tidak adanya kecenderungan politik yang ditampilkan oleh Boedi Oetomo dan mengingat kebutuhan yang dimiliki oleh pihak kolonial maka organisasi pergerakan nasional ini diizinkan keberadaannya.
Pada masa-masa awal pendirian dan berkembang, organisasi Boedi Oetomo sempat mengadakan ekspansi partisipan-simpatisan dan menghelat dua kali Kongres. Upaya membesarkan organisasi dengan jalan ekspansi persahabatan itu berhasil menggandeng sekolah OSVIA Magelang, sekolah pendidikan guru (Normaalschool) Yogyakarta dan sekolah Menengah Petang (Hogere Burgerschool) Surabaya, (Winahyu dkk., 2017: 90-91).
Melalui ekspansi persahabatan ini pula jumlah anggota Boedi Oetomo berlipat ganda dari jumlah sebelumnya. Dikatakan, sebelum kongres perdana tercatat jumlah anggota sebanyak 650 orang. Jumlah itu tersebar di STOVIA dan sekolah cabang-cabangnya. Itu berarti semua anggotanya adalah mahasiswa.
Selain berhasil membagun ikatan emosional di antara sesama anggota terus beranak-pinak jumlahnya, para pendiri Boedi Oetomo juga berusaha menjalin hubungan kekeluargaan dan mengambil hati para priyayi guna mendapatkan dukungan dan izin dari kompeni Belanda. Dikatakan, sikap sosial dan integritas personal yang dimiliki oleh para pengurus sangatlah baik sehingga mempermudah segala macam proses berkembangnya pergerakan organisasi tersebut.
Winahyu dkk. (2017: 93-94) menyebutkan di antara sikap kesalehan sosial yang dimiliki secara personal oleh anggota Boedi Oetomo khususnya yang melekat pada diri para pendiri organisasi pergerakan nasional ini ialah; jujur, disiplin, tanggung jawab, gotong royong, emansipasi, percaya diri, patuh nilai dan norma, serta sopan santun.
Jika saya meminjam istilah yang digunakan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid), kesalehan sosial yang dimiliki oleh setiap anggota Boedi Oetomo ini tidak lain karena mereka memahami tatanan kehidupan sosial masyarakat Hindia-Belanda sangatlah beragam dan penuh harmoni. Maka selaiknya mereka mengindahkan persamaan di antara sesama manusia (al-Musawah), persaudaraan berdasarkan iman (ukhuwah islamiah) dan sesungguhnya sesama manusia adalah saudara berdasarkan sisi kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah).
Keberhasilan dalam menjalin hubungan sosial yang mengena mengakibatkan bertambahnya jumlah anggota. Sementara di sisi lain, pada kenyataannya hal itu juga mengantarkan terjadinya rapat kedua di STOVIA pada 8 Agustus 1908 dengan menghasilkan empat keputusan mengenai kongres perdana yang akan segera dihelat dalam waktu dekat.
Pertama, menjadikan Yogyakarta sebagai tempat perhelatan kongres. Kedua, kongres terbuka untuk umum. Ketiga, setiap cabang wajib mengirimkan utusan, minimal 1 perwakilan. Sedangkan yang terakhir, yakni menjadikan Dr. Wahidin Sudirohoesodo sebagai ketua Kongres, (Robert Van Neil, 1984).
Atas dasar itu, maka kongres perdana pun akhirnya dihelat pada 3-5 Oktober 1908. Kongres yang dihelat di sekolah pendidikan guru dihadiri oleh 300 peserta dari berbagai kalangan dan mengahasilkan tiga keputusan; 1) pembentukan pengurus resmi organisasi Boedi Oetomo; 2) penetapan R. A. A. Tirtokoesoemo sebagai ketua organisasi dan ; 3) Perjuangan memperjuangkan nasib masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang sosial dan pendidikan.Â
Menurut Gamal Komandoko (2008: 66), uniknya dalam formatur pengurus resmi organisasi pergerakan Boedi Oetomo tersebut tidak menyertakan satu pun para pendiri organisasi tersebut. Alasannya, karena mereka masih sibuk dengan tugasnya sebagai mahasiswa, sehingga kalangan priyayi tua yang telah memiliki pengalaman adalah pilihan yang tepat.
Namun sayang, ambisi untuk memperjuangkan nasib masyarakat Indonesia dalam bidang sosial dan pendidikan itu pada akhirnya melempem juga. Hal itu dibuktikan dengan ketidakhadiran para pendiri untuk mempertahankan argumentasi dan pendiriannnya dalam kongres kedua, yang dihelat pada 10-11 Oktober 1909 di gedung Mataran Yogyakarta.Â
Alhasil, pada jalan perhelatan kongres yang kedua ini hanya banyak menyampaikan laporan keuangan dari kegiatan Boedi Oetomo dan selebihnya mengikuti dekrit dari kolonial Belanda. Bahkan peserta yang hadir pun sangat jauh dari angka sebelumnya.Â
Mungkin anda sempat bertanya-tanya. Lantas di mana letak Hibriditas Pergerakan Nasionalisme Boedi Oetomo? Jika saya meminjam pemaknaan istilah hibriditas ala Ania Loomba dalam bukunya yang berjudul Colonialism/Postcolonialism, maka persilangan antara dua pihak yang unggulan adalah jawabannya.Â
Persilangan dua pihak yang unggul dalam pergerakan Nasionalisme Boedi Oetomo dapat dilihat beberapa hal, di antara; pertama, Boedi Oetomo sebagai satu organisasi yang menampung orang-orang unggulan dari berbagai latarbelakang. Mulai dari anggota yang berstatus sebagai mahasiswa di STOVIA dan sekolah cabangnya yang lain, priyayi hingga partisipan-simpatisan penjabat-penjabat penting dalam kubu kolonial Belanda.
Kedua, para pendiri Boedi Oetomo yang notabene merupakan mahasiswa pribumi yang berprestasi namun mendapatkan kesempatan bersekolah di STOVIA secara gratis. Terlebih di sana ada banyak pelajar yang berasal dari daerah modern. Hal itu adalah persemaian yang saling menguntungkan di antara dua belah pihak. Mutualisme simbiosis. Meskipun pada akhirnya, setiap alumni sekolah pendidikan Belanda itu hidup dalam bayangan korban politik etis yang terus diperas.
Ketiga, tergabungnya berbagai mahasiswa berprestasi sebagai anggota Boedi Oetomo telah menjadi ruang diskusi dalam rangka pertukaran wawasan pengetahuan, pandangan dan pemikiran tentang sebuah arti daripada makna pendidikan mampu menjadi jembatan kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Pendek kata, secara tidak langsung, Boedi Oetomo ini turut membentuk kepribadian jiwa-jiwa patriot dan nasionalis dalam setiap masing-masing anggotanya menularkan akan pentingnya semangat kesalehan sosial dan kesatuan.Â
Sementara yang terakhir, terbentuk pergerakan Boedi Oetomo sendiri tidak hadir dalam ruang yang kosong, melainkan ada bentuk persilangan ideologi yang melatarbelakanginya. Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 adalah salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi bangkitnya pergerakan nasionalisme di Indonesia.
Terakhir, saya ucapkan; selamat memperingati hari pendidikan Nasional. Semoga jaya terus pendidikan Indonesia.
Tulungagung, 02 Mei 2021.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI