Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tabayyun terhadap Diri Kita

1 Maret 2021   06:53 Diperbarui: 1 Maret 2021   06:57 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika engkau tidak bisa menjadi pensil untuk menuliskan kebaikan seseorang, maka jadilah engkau penghapus bagi keburukan dan kejahatan seseorang lain", Teguh.

Dalam kelangsungan hidup adakalanya kita dipertemukan dengan berbagai macam orang. Berbagai macam orang tersebut dalam artian mencakup; karakter, watak, kepribadian, cara pandang, pola pikir, keyakinan dan lain sebagainya.

Keberagaman tersebut di satu pihak menunjukkan bagaimana hakikat manusia yang bergerak dalam proses menjadi. Satu sosok yang memiliki kemungkinan praduga, yang terkadang tak mampu diterka logika dan berkesempatan banyak dalam menentukan pilihannya sebagai pribadi sesuka hati. Yang jelas, setiap orang memiliki kehendak "motif" tersendiri tentang apa yang ia kenakan untuk membentuk citra diri.

Sementara di lain sisi, keberagaman itu menarik simpulan persepsi dalam upaya memotret dan menerjemahkan manusia, di mana perbedaan yang ada tak ayal dipahami sebagai keniscayaan yang tak dapat dipungkiri.

Alih-alih perbedaan itu selalu diposisikan sebagai alasan utama-"biang kerok"- atas timbulnya segala bentuk ketidakharmonisan; stigamatif, stereotip, labelisasi, judge dan konflik dalam dimensi sosial kemasyarakatan, justru di sanalah seharusnya kita curiga dengan cara pandang dan pola pikir yang kita miliki.

Mulai saat ini sudah seharusnya kita benar-benar berani curiga dengan apa-apa yang menjadi pemahaman, pengetahuan dan keyakinan kita demi kemaslahatan khalayak umum sesama manusia. Upaya Tabayyun (klarifikasi) ini penting dilakukan untuk meninjau kembali posisi sikap tawasuth, ta'adul dan tasamuh di dalam diri kita.

Jangan-jangan yang selama ini kita persepsikan sebagai sesuatu yang menurut kita benar adalah arogansi, kenaifan dan ambisius yang memberanguskan.

Jangan-jangan apa yang kita lakukan dan putuskan sebagai upaya menegakkan amal ma'ruf nahi mungkar atau 'anil fahsyai wal mungkar dari keyakinan itu tak lain adalah subversif. Atau mungkin selama ini kita salah paham dalam menafsirkan doktrin agama sehingga dengan mudah memvonis musuh setiap mereka yang tak sejalan dengan pemahaman kita.

Tidak hanya sampai di sana, jangan-jangan dalam beragama pun kita secara sepihak selalu ingin tampil mendominasi sekaligus merendahkan kepercayaan-kepercayaan yang lain dengan istilah sesat dan kafir, seakan-akan kita menjadi hakim yang bijak dan paling benar dalam beragama.

Tampaknya di sini manusia telah melampaui batas-batas kemakhlukan sebagai hamba sekaligus mengambil hak cipta atas kebenaran tunggal tentang bagaimana cara Tuhan mengada.

"Ketika engkau menghakimi orang lain, kau tidak sedang menjelaskan tentang mereka, tapi engkau menjelaskan ihwal dirimu sendiri", Wayne Dyer. We judge because we don't understand this is me.

Bukankah Tuhan menciptakan segala-galanya -termasuk di dalamnya perbedaan- bukan atas dasar alasan yang sia-sia? Tentu bukan sekadar tahap penciptaan yang tanpa tujuan di ruang hampa.

"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik dari sana. Dan Dia bersama kamu di mana kamu saja berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan", (Q.S. Al-Hadid: 4).

Secara mendasar perbedaan itu adalah kunci atas nikmat yang harus disyukuri. Satu anugerah terindah yang bersifat teleologi. Satu fakta ontologi yang menunjukkan titik terkecil permulaan dan titik terbesar akhiran berhenti sekaligus bermula dari wujud yang sama. Manifestasi ada tak lain sebagai cerminan atau citra Tuhan di dunia fisik.

Perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap benak manusia itu pada hakikatnya adalah media pembelajaran yang disediakan Tuhan untuk kita, manusia sebagai umatnya.

Melalui interaksi di antara perbedaan yang ada itu sebenarnya masing-masing kita selalu dituntun untuk menjadi seorang pribadi yang lebih dewasa. Melampui perbedaan itu tanpa mengesampingkan adanya adalah kunci utama Tuhan menaruh pemahaman yang paripurna dalam cawan pikiran kita.

Hal yang demikian berlaku pula dalam konteks bagaimana upaya manusia menjalin relasi di antara sesama. Manusia sudah selaiknya menaruh ruang-ruang khusus di dalam diri untuk interaksi dan membangun interelasi sosial dalam kontinuitas kehidupannya. Entah itu dalam bentuk pertemanan, rekan kerja, saudara, keluarga, mitra dan lain sebagainya.

Tak terkecuali bentuk kesalingan dalam konteks persahabatan. Dalam kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu 'Ainil Akhyar fi Syarhi Jawami'il Akhbar, Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di menegaskan;

"Di antara kenikmatan terbesar yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada hamba-Nya yang mukmin adalah Dia memberinya taufik untuk bersahabat dengan orang-orang yang baik. (Sebaliknya), termasuk hukuman-Nya terhadap hamba-Nya adalah dia diuji dengan bersahabat dengan orang-orang yang jelek".

Menjalin hubungan persahabatan dengan siapapun sebenarnya adalah pilihan kita. Sebab bersahabat bermula dari rasa nyaman, satu passion, satu pemikiran dan sama dalam hal kebiasaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa menentukan seseorang sebagai sahabat dekat kita itu berarti satu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

Tatkala kita memilih bersahabat dengan orang-orang yang baik dan shaleh secara spiritual dan sosial itu berarti akan berdampak positif sekaligus membawa kebaikan pula bagi diri kita. Sebaliknya, dikala kita memutuskan untuk bersahabat dengan lingkungan orang-orang yang kurang baik (buruk) sudah pasti persahabatan itu akan lebih banyak menimbulkan hadirnya ujian dan onak yang tak berkesudahan.

Selain itu ditegaskan pula;

"Bersahabat dengan orang-orang yang baik akan mengantarkan seorang hamba ke tempat yang tinggi (surga tertinggi). Adapun bersahabat dengan orang-orang yang jelek akan mengantarkan hamba ke tempat yang paling rendah (neraka)".

Dalam hal ini, secara sadar diri kita pribadi yang sebenarnya bisa mengetahui dan menilai seperti apa mentalitas seorang sahabat yang kita punya. Bagaimanapun, baik dan jelek kualitas sahabat yang kerap melibatkan kita bergaul dengannya adalah sebuah citra atas diri kita. Sebab seorang sahabat turut memberikan kontribusi dalam membentuk kepribadian kita.

Jadi, jangan heran kalau ada seseorang yang tiba-tiba memandang sinis atau sok akrab terhadap kita. Entah mereka sangat begitu sopan, mengumbar senyum sinis sembari menatap penuh ironis dan lain sebagainya, bisa saja ia telah banyak mengorek informasi mengenai diri kita melalui sahabat terdekat sehingga orang lain yang mengetahuinya berusaha memposisikan kita sesuai dengan pengetahuannya.

Tentu, dalam konteks ini sebaiknya kita mengutamakan berbaik sangka. Khusnudzon terhadap orang lain lebih utama. Karena hanya dengan cara pandang yang positif kita bisa menghadapi segala bentuk ketidakmungkinan dengan penuh ketulusan dan kelapangan hati. Sehingga kita bisa mengambil hikmah dari kejadian itu.

Tidak hanya sampai di sana, selanjutnya disebutkan pula;

"Bersahabat dengan orang-orang yang baik membuahkan ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, dan amalan-amalan yang shalih. Adapun bersahabat dengan orang-orang yang jelek bisa menghalangi semua (kebaikan) tersebut".

Jika dianalogikan, sahabat ibarat anggota tubuh kita. Setiap bagian tubuh sudah pasti memberikan pengertian, pengaruh dan kesempatan bagaimana kita harus merespon. Jika ada anggota tubuh yang sakit pasti kita tidak optimal dalam melakukan satu pekerjaan. Sementara tatkala diberikan kesehatan yang sempurna sangat besar kemungkinannya semua tugas terselesaikan dengan baik.

Begitupun dalam konteks lingkungan bersahabat yang baik dan sehat, sudah barang tentu imbasnya akan mengisi cawan ilmu yang terus berilmu padi, karakter kepribadian kita menjadi lebih baik dan mengkonstruk behavior positif dalam beramal shalih. Begitupun sebaliknya, membaur pada lingkungan persahabatan yang jelek justru hanya akan menjadi toxic terhadap diri kita.

Tak terkecuali jika memang keberadaan kita di lingkaran persahabatan jelek itu justru hendak menuntun atau menunjukkan kepada mereka supaya segera melangkah menuju jalan yang penuh kebaikan dan memberi kemanfaatan bagi kontinuitas kehidupan mereka.

Sebagai pamungkas, mari kita sama-sama tabayyun terhadap masing-masing diri kita supaya ke depannya setiap langkah lebih baik lagi.

Ringinagung RT 05 RW 03, Ringinpitu, Tulungagung, 1 Maret 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun