"Jika engkau tidak bisa menjadi pensil untuk menuliskan kebaikan seseorang, maka jadilah engkau penghapus bagi keburukan dan kejahatan seseorang lain", Teguh.
Dalam kelangsungan hidup adakalanya kita dipertemukan dengan berbagai macam orang. Berbagai macam orang tersebut dalam artian mencakup; karakter, watak, kepribadian, cara pandang, pola pikir, keyakinan dan lain sebagainya.
Keberagaman tersebut di satu pihak menunjukkan bagaimana hakikat manusia yang bergerak dalam proses menjadi. Satu sosok yang memiliki kemungkinan praduga, yang terkadang tak mampu diterka logika dan berkesempatan banyak dalam menentukan pilihannya sebagai pribadi sesuka hati. Yang jelas, setiap orang memiliki kehendak "motif" tersendiri tentang apa yang ia kenakan untuk membentuk citra diri.
Sementara di lain sisi, keberagaman itu menarik simpulan persepsi dalam upaya memotret dan menerjemahkan manusia, di mana perbedaan yang ada tak ayal dipahami sebagai keniscayaan yang tak dapat dipungkiri.
Alih-alih perbedaan itu selalu diposisikan sebagai alasan utama-"biang kerok"- atas timbulnya segala bentuk ketidakharmonisan; stigamatif, stereotip, labelisasi, judge dan konflik dalam dimensi sosial kemasyarakatan, justru di sanalah seharusnya kita curiga dengan cara pandang dan pola pikir yang kita miliki.
Mulai saat ini sudah seharusnya kita benar-benar berani curiga dengan apa-apa yang menjadi pemahaman, pengetahuan dan keyakinan kita demi kemaslahatan khalayak umum sesama manusia. Upaya Tabayyun (klarifikasi) ini penting dilakukan untuk meninjau kembali posisi sikap tawasuth, ta'adul dan tasamuh di dalam diri kita.
Jangan-jangan yang selama ini kita persepsikan sebagai sesuatu yang menurut kita benar adalah arogansi, kenaifan dan ambisius yang memberanguskan.
Jangan-jangan apa yang kita lakukan dan putuskan sebagai upaya menegakkan amal ma'ruf nahi mungkar atau 'anil fahsyai wal mungkar dari keyakinan itu tak lain adalah subversif. Atau mungkin selama ini kita salah paham dalam menafsirkan doktrin agama sehingga dengan mudah memvonis musuh setiap mereka yang tak sejalan dengan pemahaman kita.
Tidak hanya sampai di sana, jangan-jangan dalam beragama pun kita secara sepihak selalu ingin tampil mendominasi sekaligus merendahkan kepercayaan-kepercayaan yang lain dengan istilah sesat dan kafir, seakan-akan kita menjadi hakim yang bijak dan paling benar dalam beragama.
Tampaknya di sini manusia telah melampaui batas-batas kemakhlukan sebagai hamba sekaligus mengambil hak cipta atas kebenaran tunggal tentang bagaimana cara Tuhan mengada.
"Ketika engkau menghakimi orang lain, kau tidak sedang menjelaskan tentang mereka, tapi engkau menjelaskan ihwal dirimu sendiri", Wayne Dyer. We judge because we don't understand this is me.