Bukankah Tuhan menciptakan segala-galanya -termasuk di dalamnya perbedaan- bukan atas dasar alasan yang sia-sia? Tentu bukan sekadar tahap penciptaan yang tanpa tujuan di ruang hampa.
"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik dari sana. Dan Dia bersama kamu di mana kamu saja berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan", (Q.S. Al-Hadid: 4).
Secara mendasar perbedaan itu adalah kunci atas nikmat yang harus disyukuri. Satu anugerah terindah yang bersifat teleologi. Satu fakta ontologi yang menunjukkan titik terkecil permulaan dan titik terbesar akhiran berhenti sekaligus bermula dari wujud yang sama. Manifestasi ada tak lain sebagai cerminan atau citra Tuhan di dunia fisik.
Perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap benak manusia itu pada hakikatnya adalah media pembelajaran yang disediakan Tuhan untuk kita, manusia sebagai umatnya.
Melalui interaksi di antara perbedaan yang ada itu sebenarnya masing-masing kita selalu dituntun untuk menjadi seorang pribadi yang lebih dewasa. Melampui perbedaan itu tanpa mengesampingkan adanya adalah kunci utama Tuhan menaruh pemahaman yang paripurna dalam cawan pikiran kita.
Hal yang demikian berlaku pula dalam konteks bagaimana upaya manusia menjalin relasi di antara sesama. Manusia sudah selaiknya menaruh ruang-ruang khusus di dalam diri untuk interaksi dan membangun interelasi sosial dalam kontinuitas kehidupannya. Entah itu dalam bentuk pertemanan, rekan kerja, saudara, keluarga, mitra dan lain sebagainya.
Tak terkecuali bentuk kesalingan dalam konteks persahabatan. Dalam kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu 'Ainil Akhyar fi Syarhi Jawami'il Akhbar, Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di menegaskan;
"Di antara kenikmatan terbesar yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada hamba-Nya yang mukmin adalah Dia memberinya taufik untuk bersahabat dengan orang-orang yang baik. (Sebaliknya), termasuk hukuman-Nya terhadap hamba-Nya adalah dia diuji dengan bersahabat dengan orang-orang yang jelek".
Menjalin hubungan persahabatan dengan siapapun sebenarnya adalah pilihan kita. Sebab bersahabat bermula dari rasa nyaman, satu passion, satu pemikiran dan sama dalam hal kebiasaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa menentukan seseorang sebagai sahabat dekat kita itu berarti satu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.
Tatkala kita memilih bersahabat dengan orang-orang yang baik dan shaleh secara spiritual dan sosial itu berarti akan berdampak positif sekaligus membawa kebaikan pula bagi diri kita. Sebaliknya, dikala kita memutuskan untuk bersahabat dengan lingkungan orang-orang yang kurang baik (buruk) sudah pasti persahabatan itu akan lebih banyak menimbulkan hadirnya ujian dan onak yang tak berkesudahan.
Selain itu ditegaskan pula;