Polemik yang santer tampil memadati kolom berita dan topik pembicaraan lintas dunia; realitas dan jagat Maya hampir-hampir tuntas membuat sesak dada para penonton. Di lain pihak gencarnya pemberitaan tersebut juga turut menampilkan dikotomi antara pihak yang pro dan siapa saja yang kontra.
Tapi apalah daya, ujung-ujungnya pasti mudah ditebak, sekte oligarki yang mampu mengendalikan dan membeli segala-galanya bisa membungkam suara rakyat jelata yang bukan siapa-siapa. Pada akhirnya, kasus itu tak jauh beda dengan nasib hutan adat yang dipertahankan oleh masyarakat Samen Sedulur Sikep dikala pabrik semen hendak membumihanguskan rimbunnya pepohonan.
Sedangkan akun Twitter yang merepresentasikan argumentasi yang terakhir yakni diwakili oleh Hako S.Ngamban @hakoesingmbn, cuitnya demikian;"Mau puas-puasin masuk ke hutan sebelum disulap jadi gedung tingkat 100 hewan ber-uang. #SaveHutanKalimantan #Saveburungenggag #Saveorangutan". Cuitan itu juga dilengkapi dengan foto sosok remaja pemilik akun yang bertelanjang setengah badan.Â
Argumentasi-argumentasi itu muncul tak ubahnya dari kebebasan setiap orang dalam menafsirkan satu persoalan yang muncul ke permukaan. Pertebaran komentar miring tersebut tidak dapat disalahkan dan dilegitimasi melanggar hukum selama tidak bertabrakan dengan undang-undang ITE. Selain itu argumentasi tersebut juga mencerminkan betapa tingginya ikatan persaudaraan di antara sesama umat manusia. Betapa tingginya relasi ketergantungan manusia atas kesuburan dan kelestarian alam.Â
Perbedaannya terletak pada keyakinan, cara pandang dan falsafah hidup; orang modern meminjam kacamata positivisme dalam memandang kebaikan hidup di masa mendatang sementara masyarakat lokal memandang kontinuitas hidup hanya akan terjamin manakala kearifan lokal (alam sekitar; ekosistem hutan, ekosistem laut dan lain sebagainya) dihormati, dilindungi dan dilestarikan.
Jika gambaran umum tentang bagaimana keadaan hutan di Indonesia saja nampak begitu menyedihkan maka keadaan itu lebih mengerikan lagi nasib kerusakan dan penggundulan hutan yang tidak tertangkap kamera. Utamanya di pelosok-pelosok negeri yang tak terendus baunya. Ada kemungkinan pula pihak-pihak tak bertanggungjawab sedang mengeksploitasi sumber daya alam di setiap relung bumi tanpa sisa. Semoga tidak!
Entah apologi atau memang fakta, sebagaimana dilansir Surya.co.id M. Ichwan Msoyafa selaku Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi menduga bahwa gundulnya hutan di area pegunungan Tulungagung juga salah satunya disebabkan pemanfaatan lahan untuk tanaman jagong. Sehingga jika adanya tutupan pohon lindung diasumsikan akan menggangu tanaman yang terletak di bawahnya. Keadaan hutan yang minim tutupan itu sebenarnya telah lama adanya dan tidak berubah kurang lebih sejak 20 tahun yang lalu. Satu alasan yang kemudian menjadikan daerah di Tulungagung sebagai langganan banjir, utamanya jika hal itu tidak kunjung diatasi.
Lebih lanjut lelaki Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) itu juga memberi saran agar sebaiknya hutan dikelola oleh pemerintah dan rakyat. Secara prosedural hal itu dimulai dengan melalui Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).Â
Skema selanjutnya, warga diberi tanggung jawab untuk menanam pohon-pohon pelindung akan tetapi juga dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Misalnya pohon yang ditanam adalah jenis buah-buahan atau mungkin menanam pohon yang dapat dipanen dalam skala pendek menengah seperti halnya Sengon dan Albasiah.Â
Selain itu, masyarakat juga tetap bisa menanam jenis  tanaman pangan seperti jagung selama area belum berproduksi penuh. Sementara setelah ekosistem hutan tutupan dan produksi pohon pelindung telah terbentuk, pemanfaatan lahan untuk pertanian akan sangat dikurangi.
Sebagai contoh yang telah mengimplementasikan skema IPHPS ialah kelompok Tani Hutan Ago Lestari, Desa Besole, Kecamatan Besuki. Dahulu wilayah Desa Besole menjadi langganan banjir akibat air yang berasal dari pegunungan atau yang kerap disebut dengan istilah ancar. Namun setelah menerapkan skema IPHPS, hutan tutupan yang ada di wilayah itu pun mulai membaik, sehingga tatkala di berbagai daerah ramai-ramai terkena banjir kiriman justru wilayah Besole telah bebas dari banjir.Â