Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gundulnya Hutan dan Win-win Solution Menghalau Timbulnya Bencana

18 Februari 2021   10:35 Diperbarui: 18 Februari 2021   10:56 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyaknya hutan yang gundul turut memicu terjadinya bencana banjir. Dilansir dari Liputan6.com (4/2/2021) banjir di Tulungagung juga dipicu oleh kondisi rusak dan gundulnya hutan di kawasan pegunungan. Kebenaran akan hal ini dikonfirmasi langsung oleh Bupati Tulungagung Maryoto Birowo, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) dan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH). 

Kerusakan hutan di area pegunungan ini menyebabkan tidak adanya proses drainase dan tutupan di kala hujan mengguyur dengan intensitas yang tinggi. Alhasil, air di pegunungan langsung meluncur ke dataran rendah. Bahkan bisa saja, luncuran air dari pegunungan ini serta-merta membawa material tanah yang terkikis. Lambat-laun air kiriman tersebut melebihi kapasitas saluran pembuangan air, hingga akhirnya meluap ke permukiman, ladang dan sawah warga. 

Kerusakan dan gundulnya hutan sendiri bukanlah sesuatu hal yang sama sekali baru, sebab hutan-hutan yang rimbun akan pepohonan sudah tidak tabu lagi digasak kerakusan manuisa.

Mungkin kita sering mendengar sekaligus menyaksikan bagaimana pencurian pohon berskala besar diberitakan di media massa ataupun di kanal-kanal media sosial tertentu yang umumnya pernah kita baca. Pepohonan ditebang merajalela demi pembangunan infrastruktur yang kita anggap lebih menjamin seantero jagat kehidupan warga negara. 

Terakhir, kabar duka itu datang dari kejadian penggundulan hutan terluas yang ada di Indonesia, hutan Kalimantan yang digadang-gadang sebagai salah satu paru-paru dunia terus saja dipelontosi dengan sengaja.

Tepat pada bulan Agustus 2020, hastag save hutan Kalimantan, save Borneo, save Kinipan, Ibu Kota pindah  dan kalah moncer Ibu Kota di pindah, sempat menjadi trending topik pembicaraan netizen di kanal Twitter. 

Terdapat ragam argumentasi yang mengitari fakta yang menyayat banyak hati nurani; mulai dari mengait-ngaitkan upaya perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan sebagai modus membabat hutan yang dirindukan, upaya perlawanan warga Dayak Kinipan yang bersikeras memandang bahwa hutan Kinipan adalah hutan adat, video penangkapan ketua adat Dayak Kinipan Effendi Buhing oleh aparat sampai dengan cuitan nyeleneh dan meme sarkastik yang menunjukkan ketidaksetujuan netizen terhadap penggundulan hutan demi investasi kelapa sawit.

Sebagai sampel dari argumentasi pertama yang telah disinggung di atas, sebagaimana diproyeksikan oleh akun Twitter yaudah iya @gantiakuns (26/08/2019). Akun tersebut mencuit; "Lama-lama hutan di Kalimantan ge habis untuk pembangunan dan pabrik-pabrik pada pindah, yang semula asri/adem jadi panas/gersang. Please don't think about anything else, but think about habitat and nature. #KalahMoncerIbuKitaDipindah #IbuKotaPindah #savealam #savehutanKalimantan. 

Cuitan itu juga dilengkapi dengan capture visualisasi gagasan kita sebagai simbol identitas negara dan momentum tatkala presiden Joko Widodo mengumumkan berpindahnya Ibu Kota Jakarta ke wilayah sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah kabupaten Kutai Kertanegara, pulau Kalimantan".

Untuk argumentasi yang kedua dan ketiga fokus memotret setiap episode perlawanan yang dilakukan oleh adat Dayak Kinipan lebih banyak digaungkan oleh akun Twitter Andreas Harsono @anderasharsono. Bahkan hampir setiap rekam jejak pergerakan yang dilakukan oleh warga adat Dayak Kinipan ini nampak seperti menggambarkan nafas-nafas kehidupannya. 

Andreas dengan konsistensi menunjukkan keberpihakannya dan kesamaan suara dengan perlawanan yang dilakukan oleh warga adat Dayak Kinipan, sampai dengan mengumumkan akan hadirnya sosok ketua adat Dayak Kinipan Effendi Buhing di acara Mata Najwa. Demikian cuit Andreas (20/09/2020); "Ketua adat Dayak Kinipan Effendi Buhing akan muncul dalam acara @MataNajwa soal hutan Kinipan dan bagaimana izin-izin dari Bupati sampai menteri merusak hutan demi perkebunan sawit". 

Polemik yang santer tampil memadati kolom berita dan topik pembicaraan lintas dunia; realitas dan jagat Maya hampir-hampir tuntas membuat sesak dada para penonton. Di lain pihak gencarnya pemberitaan tersebut juga turut menampilkan dikotomi antara pihak yang pro dan siapa saja yang kontra.

Tapi apalah daya, ujung-ujungnya pasti mudah ditebak, sekte oligarki yang mampu mengendalikan dan membeli segala-galanya bisa membungkam suara rakyat jelata yang bukan siapa-siapa. Pada akhirnya, kasus itu tak jauh beda dengan nasib hutan adat yang dipertahankan oleh masyarakat Samen Sedulur Sikep dikala pabrik semen hendak membumihanguskan rimbunnya pepohonan.

Sedangkan akun Twitter yang merepresentasikan argumentasi yang terakhir yakni diwakili oleh Hako S.Ngamban @hakoesingmbn, cuitnya demikian;"Mau puas-puasin masuk ke hutan sebelum disulap jadi gedung tingkat 100 hewan ber-uang. #SaveHutanKalimantan #Saveburungenggag #Saveorangutan". Cuitan itu juga dilengkapi dengan foto sosok remaja pemilik akun yang bertelanjang setengah badan. 

Argumentasi-argumentasi itu muncul tak ubahnya dari kebebasan setiap orang dalam menafsirkan satu persoalan yang muncul ke permukaan. Pertebaran komentar miring tersebut tidak dapat disalahkan dan dilegitimasi melanggar hukum selama tidak bertabrakan dengan undang-undang ITE. Selain itu argumentasi tersebut juga mencerminkan betapa tingginya ikatan persaudaraan di antara sesama umat manusia. Betapa tingginya relasi ketergantungan manusia atas kesuburan dan kelestarian alam. 

Perbedaannya terletak pada keyakinan, cara pandang dan falsafah hidup; orang modern meminjam kacamata positivisme dalam memandang kebaikan hidup di masa mendatang sementara masyarakat lokal memandang kontinuitas hidup hanya akan terjamin manakala kearifan lokal (alam sekitar; ekosistem hutan, ekosistem laut dan lain sebagainya) dihormati, dilindungi dan dilestarikan.

Jika gambaran umum tentang bagaimana keadaan hutan di Indonesia saja nampak begitu menyedihkan maka keadaan itu lebih mengerikan lagi nasib kerusakan dan penggundulan hutan yang tidak tertangkap kamera. Utamanya di pelosok-pelosok negeri yang tak terendus baunya. Ada kemungkinan pula pihak-pihak tak bertanggungjawab sedang mengeksploitasi sumber daya alam di setiap relung bumi tanpa sisa. Semoga tidak!

Entah apologi atau memang fakta, sebagaimana dilansir Surya.co.id M. Ichwan Msoyafa selaku Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi menduga bahwa gundulnya hutan di area pegunungan Tulungagung juga salah satunya disebabkan pemanfaatan lahan untuk tanaman jagong. Sehingga jika adanya tutupan pohon lindung diasumsikan akan menggangu tanaman yang terletak di bawahnya. Keadaan hutan yang minim tutupan itu sebenarnya telah lama adanya dan tidak berubah kurang lebih sejak 20 tahun yang lalu. Satu alasan yang kemudian menjadikan daerah di Tulungagung sebagai langganan banjir, utamanya jika hal itu tidak kunjung diatasi.

Lebih lanjut lelaki Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) itu juga memberi saran agar sebaiknya hutan dikelola oleh pemerintah dan rakyat. Secara prosedural hal itu dimulai dengan melalui Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). 

Skema selanjutnya, warga diberi tanggung jawab untuk menanam pohon-pohon pelindung akan tetapi juga dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Misalnya pohon yang ditanam adalah jenis buah-buahan atau mungkin menanam pohon yang dapat dipanen dalam skala pendek menengah seperti halnya Sengon dan Albasiah. 

Selain itu, masyarakat juga tetap bisa menanam jenis  tanaman pangan seperti jagung selama area belum berproduksi penuh. Sementara setelah ekosistem hutan tutupan dan produksi pohon pelindung telah terbentuk, pemanfaatan lahan untuk pertanian akan sangat dikurangi.

Sebagai contoh yang telah mengimplementasikan skema IPHPS ialah kelompok Tani Hutan Ago Lestari, Desa Besole, Kecamatan Besuki. Dahulu wilayah Desa Besole menjadi langganan banjir akibat air yang berasal dari pegunungan atau yang kerap disebut dengan istilah ancar. Namun setelah menerapkan skema IPHPS, hutan tutupan yang ada di wilayah itu pun mulai membaik, sehingga tatkala di berbagai daerah ramai-ramai terkena banjir kiriman justru wilayah Besole telah bebas dari banjir. 

Hal itu menunjukkan, upaya yang dilakukan para petani dalam menanam pohon telah menuai hasil. Toh pada akhirnya, segala daya upaya yang dilakukan melalui kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat menuai hasil yang positif terhadap kelestarian alam sekitar dan kelangsungan hidup bersama.

Masih dalam kasus yang sama, ketiadaan hutan tutupan dan pohon pelindung sebenarnya juga kentara di kawasan perbukitan Jalumarat Desa Dayeuhluhur Kecamatan Jatinagara Kabupaten Ciamis. Hampir telah menjadi tradisi turun-temurun justru kegundulan kawasan perbukitan Jalumarat malah dimanfaatkan sebagai lahan cocok tanam tanaman pangan oleh warga setempat. 

Hampir-hampir dari tahun ke tahun tidak ada upaya reboisasi dan upaya penghijauan kawasan perbukitan Jalumarat dengan pepohonan. Yang terjadi justru pihak pemerintahan daerah mendukung program peningkatan pangan demi mendorong pertumbuhan ekonomi warga lokal dengan bercocok tanam di kawasan tersebut. 

Mungkin hal itu adalah salah satu solusi yang tepat, mengingat geografis perbukitan Jalumarat itu memang tidak menimbulkan ancar hingga menyebabkan banjir kiriman. Selain itu, aliran sungai di kawasan sekitar perbukitan memang selalu dalam keadaan normal sehingga meskipun intensitas hujan lebat tetap dapat tersalurkan dengan baik.

Dari kasus yang terjadi di atas secara umum kita dapat menggarisbawahi bahwa upaya kerjasama antara pihak pemerintahan dan masyarakat lokal dalam pengelolaan lahan di pegunungan demi kelestarian hutan tutupan dan pepohonan pelindung tak lain adalah win-win solution sekaligus menghindari upaya penjarahan hasil hutan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. 

Akan tetapi proses yang demikian dilakukan dengan catatan upaya itu disesuaikan dengan kebutuhan, keadaan geografis dan atas nama kesejahteraan bersama. Sehingga melalui kerjasama itu mampu menjamin kelangsungan hidup sekaligus meningkatkan kualitas hidup bersama. 

Tulungagung, 18 Februari 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun