Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Logika Mencari Biang Bencana

15 Februari 2021   17:50 Diperbarui: 15 Februari 2021   17:59 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Salah satu hikmah Tuhan menciptakan nyamuk adalah agar engkau sesekali menampar dirimu sendiri", Teguh.

Tidak hanya di Semarang, pada kenyataannya bencana banjir juga melanda beberapa wilayah, tak terkecuali kota marmer, Tulungagung. Surya.co.id menyebutkan banjir di Tulungagung sekurang-kurangnya melanda 9 desa di tiga Kecamatan. Dari kesembilan desa tersebut di antaranya; Tugu, Sumberagung, Pojok, Ngentrong, Tenggong, Sumbergempol, Pasir, Panggungploso dan lainnya. Sedangkan ketiga kecamatan tersebut yakni Campurdarat, Kalidawir dan Rejotangan.

Kebenaran atas kabar duka itu pun dikonfirmasi langsung akun Facebook Kacamata Tulungagung sembari memastikan beberapa hal; pertama mempertanyakan bagaimana kondisi terkini beberapa titik yang terkena banjir. Kedua, berusaha membuat list terkait desa mana saja yang terlanda banjir. Ketiga, postingan akun tersebut juga menegaskan kesiapannya untuk memberikan bantuan sewaktu-waktu. Dalam konteks ini, mungkin kesiapan yang dimaksud yakni memberikan bantuan berupa materiil kepada beberapa korban banjir.

Selain itu, kalimat terakhir yang tercantum dalam postingan akun tersebut; "Terusno, dingge bahan evaluasi. Nyapo yo cah kok akeh nggon neng Tulungagung iso Sampek banjir Ki?" (Lanjutkan, sebagai bahan evaluasi. Kenapa ya cah kok banyak tempat di Tulungagung bisa sampai banjir sih?). 

Bagi saya, konteks redaksi kalimat tersebut mendeskripsikan ekspresi diri yang menggenggam erat adanya sikap empati, humanis dan kritis. Salah satu ciri yang menegaskan bahwa setiap kata itu sejatinya memiliki nyawa. Setiap kata mampu merepresentasikan betapa dalamnya keterkaitan rasa dan kepedulian antara komunikator dan komunikan.

Secara implisit poin terakhir dari postingan akun Facebook Kacamata Tulungagung tersebut saya sebut sebagai stressing utama dalam menyikapi banjir yang melanda di jilid kedua pandemi Corona. Penggunaan logika dalam membaca bencana alam menemukan momentumnya. Mencari kausalitas atas persoalan yang menerpa adalah karakter mahkluk yang dianugerahi akal dan jiwa. Upaya merasionalkan setiap kejadian adalah ciri khas manusia.

Bak melepas dahaga di tengah-tengah terik fatamorgana, warta yang disampaikan situs liputan6.com pada 4 Februari 2021 memberi jawaban tegas atas musabab kejadian. Berita tersebut mengabarkan bahwa banjir bandang yang melanda beberapa daerah Tulungagung dua hari terakhir disebabkan jebolnya dua tanggul sungai. Tanggul di sungai terusan desa Pojok, kecamatan Campurdarat dan tanggul di aliran sungai desa Sumberagung dan Tugu.

Menyikapi kejadian itu, Anang Prastistianto selaku Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman dan Sumber Daya Air Kabupaten Tulungagung menjabarkan bahwa upaya normalisasi tanggul sungai yang jebolpun dilakukan dengan sigap. Sementara waktu, tanggul yang jebol ditambal dengan menggunakan karung pasir. Mengingat curah hujan dikhawatirkan akan turun kembali.
Itulah alasan yang tampil ke permukaan. 

Akan tetapi pembacaan atas bencana banjir harus terus berlanjut pada tahap pengkajian, dan itu memang perlu dilakukan. Bagaimanapun manusia tidaklah sopan jikalau dengan sengaja mengasumsikan setiap kejadian dalam hidup yang dijalani di dunia adalah semata-mata takdir Tuhan yang digariskan. Satu pandangan yang berusaha menyembunyikan-menihilkan- maksud dan tujuan dari penciptaan. Dalam artian tidak ada kehendak dan usaha memfungsikan akal untuk mencari alasan serinci mungkin hingga keakar sampai dengan kita menemukan hikmah dan pelajaran. Sudah barang tentu hal itu adalah satu kedzaliman. Menistakan syukur atas gunungan nikmat yang telah diberikan.

Padahal jika kita termasuk orang-orang yang beriman dan berusaha memaksimalkan kinerja akal pikiran maka kita akan pandai mengelola ingatan bahwa Allah SWT. telah menandaskan firman-Nya dalam Hudan. 

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia: Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)", Q. S.  Ar-Rum: 41.

Ayat tersebut memproyeksikan satu gambaran umum akan adanya kemungkinan besar bahwa setiap bencana alam ditimbulkan-tidak lepas dari- perbuatan "nakal" umat manusia. Kelaliman manusia terhadap kelestarian lingkungan sekitar sehingga menyebabkan kerusakan di mana-mana, dan ia harus menuai sekaligus menganggung akibat perbuatannya. Pola kelaliman tersebut bermula dari keacuhan, kebebalan dan kelancangan manusia atas sikap rakus yang merajalela. Selanjutnya disambung dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang menggila, tak beretika dan tak ada habisnya.

Lantas benarkah bencana banjir yang melanda Tulungagung memang bermula dari kemafsadatan yang diperbuat tangan-tangan lalim manusia? Di sinilah kita mulai menginjak tahap pengkajian secara mendalam. Di balik jebolnya dua tanggul sungai itu tentu ada alasan logis lain yang sistematis dan terstruktur. Satu rangkaian prosesi yang menggiring dan memancing hadirnya bencana banjir.

Benar saja, setelah Bupati Tulungagung Maryoto Birowo dan jajaran Forkopimda meninjau titik-titik penyebab banjir, pada kenyataannya bencana tersebut bukan semata-mata dipicu jebolnya tanggul sungai karena debit air yang terus meningkat. Melainkan disokong pula oleh beberapa faktor lain, yakni sampah yang terbawa hanyut dan gundulnya hutan. Hemat saya, selain dua faktor yang disebutkan di atas, membuang sampah di sembarang tempat juga menjadi ada faktor lain yang dominan.

Kebiasaan buruk kita membuang sampah sembarangan, bukan pada tempatnya, turut menerjemahkan kita sebagai manusia nista yang tak menghormati alam yang berjasa membesarkan beribu-ribu umat manusia. 

Utamanya membuang sampah ke sungai dengan seenaknya. Kebiasaan negatif ini tentu menjadi problematika bersama yang hampir terjadi di berbagai daerah Indonesia. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa beberapa daerah telah begitu ketat dalam menertibkan ceceran sampah di setiap penjuru kota dan menghukum mereka yang melanggar aturan; entah itu dengan sangsi pidana ataupun denda.

Penempatan tong sampah sesuai dengan jenisnya di beberapa titik yang dipandang representatif pada akhirnya tidak bekerja sebagaimana mestinya bahkan nampak tidak terkelola. Tetap saja sampah itu lebih sering berceceran di mana-mana. Sampah anorganik dan organik itu sangat begitu susah terkumpul di satu tempat yang sama. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana banjir membawa hanyut sampah hingga menyangkut di titik-titik pintu air dan tiang jembatan yang menjadikan aliran tersumbat.

Ironisnya, di tengah-tengah air bah yang terus-menerus merambah ke berbagai tempat pemukiman penduduk, masih saja ada segelintir orang yang berusaha mengais rezeki dengan memungut kategori sampah yang dapat dijual kembali. Mereka bekerja di tengah kegetiran. Di kala sebagian orang benar-benar dilanda ketakutan dan kecemasan atas banjir yang sewaktu-waktu bisa merenggut kenyamanan, persediaan bahan pokok makanan dan kebahagiaan yang diagungkan. Tapi bagi si pengais barang bekas, banjir itu justru mendatangkan rezeki yang tidak terduga sebelumnya. Satu jalan rezeki yang mampu melukisan merekah bibir dua di wajah kusamnya.

Memang dunia demikian adanya, selalu menyodorkan dua sisi yang berbeda. Seperti halnya rapalan do'a dan harapan yang saling bertabrakan di langit sana. Analoginya, di satu pihak terdapat penjual es krim yang langgeng mengharapkan sengat mentari nan terus terjaga sementara di pihak lain ada si penjual bakso yang bersimpuh mendambakan hujan menyirami dunia. Rupa-rupa hidup itu demikian kompleks tak terbantahkan selisihnya.

Sejauh pengamatan saya, persoalan sampah ini adalah tantangan lama. Tantangan lama yang sama sekali tidak bergantung dan dipengaruhi oleh faktor pergantian musim semata. Musim kemarau ataupun penghujan sampah tetaplah tersebar di mana-mana. Sebagai contoh faktual, misalnya tatkala kita pergi liburan ke pantai, tetap saja pada bagian-bagian tertentu sampah adalah pengunjung yang tak bernyawa. Bahkan saking banyaknya sampah-sampah itu terkadang menghiasi bibir pantai tak terhingga. Mengikis keasrian pantai tak terkira.

Mungkin kita masih ingat dengan film dokumenter yang memvisualisasikan betapa ngerinya sampah mengancam kehidupan ekosistem laut, sungai dan danau. Tidak sedikit pula kasus hewan laut, berbagai jenis ikan sungai dan danau yang mati karena pencemaran sampah kantong plastik dan sampah lainnya. 

Pula mungkin kita masih ingat dengan kasus kematian kura-kura berukuran besar yang diakibatkan karena memakan sampah plastik. Sementara kasus terakhir yang sempat viral di berbagai kanal media sosial ialah ban bekas yang tersangkut pada kepala buaya. Tentu ini sekadar contoh kecil dari seabrek kasus besar yang belum terekspos di awak media. Bisa jadi jika kita mengetahui realitas yang terjadi sesungguhnya maka akan menyebabkan berdirinya bulu roma hingga trauma.

Selain itu, ketidakteraturan membuang sampah  sebenarnya beriringan pula dengan meningkatnya pola dan gaya hidup konsumtif. Terlebih lagi di musim pandemi Corona saat ini. Aturan work from home (WFH) yang diberlakukan oleh pemerintah menyebabkan masing-masing kita benar-benar membatasi ruang gerak yang leluasa. Hingga akhirnya kita mulai dipaksa untuk terbiasa dengan hal-hal yang bersifat instan. 

Termasuk di dalamnya memesan makanan melalui jasa delivery order yang dibungkus dengan beragam plastik.
Kumpulan beragam plastik ini lambat-laun kuantitasnya sulit untuk dikendalikan. Keberadaannya sangat sulit untuk dimusnahkan.

Terlebih-lebihbulan ini adalah puncak musim hujan. Sehingga akan sangat sulit untuk membakar sampah. Meskipun dibakar, sampah plastik sendiri sebenarnya sangat sulit untuk mengalami proses penguraian dengan unsur tanah. Maka alangkah baiknya sampah kantong plastik ini didaur ulang.

Ada banyak cara untuk mendaur ulang sampah kantong plastik. Di antaranya; sebagai bahan dasar membuat tali, membuat kerajinan tangan (seperti dompet, tas, wadah pernak-pernik, dan lain sebagainya), menggunakan kantong plastik untuk melapisi tempat sampah, menjadikan kantong plastik sebagai kantong cadangan yang digunakan berulang-ulang, sebagai bahan untuk membuat paving blok sampai dengan bahan bakar alternatif.

Kompas.com (12/11/2019) mewartakan tentang bagaimana kreativitas Ipung (27) sebagai salah satu pemuda anggota karang taruna Kampung Kedung Hilir RT 001/003 Desa Sukamanah, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang berusaha keras mendaur ulang kantong plastik menjadi paving blok. Dikatakan, Ipung telah menekuni produksi paving blok berbahan dasar kantong plastik semenjak dua bulan terakhir.

Prosesnya cukup panjang. Seminggu dua kali Ipung berkeliling kampung untuk mengumpulkan sampah rumah tangga dari warga. Selanjutnya ia memilah kategori sampah sesuai jenisnya. Mencacah sampah kantong plastik kemudian dimasukkan ke dalam drum atau tong, dicampur dengan pasir dan oli bekas, semua bahan itu digodok sampai menyatu. Takaran antara sampah plastik, pasir dan oli bekas harus sesuai, bagaimanapun porsi itu akan mempengaruhi hasil. Satu kilogram kantong plastik akan menghasilkan satu paving blok.

Rumus pembuatan paving blok berbahan limbah kantong plastik ini tentu tidak sekali jadi melainkan telah mengalami kegagalan 6 kali, hingga akhirnya Ipung berhasil pada percobaan yang ketujuh. Lebih lanjut, Ipung mengaku kualitas paving blok buatannya tersebut lebih kuat daripada paving blok berbahan dasar pasir dan semen. Jika dilempar atau dibanting, paving blok buatannya tidak pecah ataupun rusak. 

Kendati demikian, ia baru membuat 5-6 paving blok sebagai sampel, belum berani memproduksi secara massal sebab belum ada proses pengujian laboratorium. Tanpa pengujian dari laboratorium, Ipung khawatir paving blok buatannya akan berdampak pada kelestarian lingkungan.

Selain menjadikan limbah kantong plastik sebagai paving blok yang dilakukan Ipung, empat tahun sebelumnya Republika.co.id (31/8/2015) juga menampilkan sosok Suprihadi warga Bangun Rejo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat yang menyulap limbah plastik menjadi gas.

Temuan itu dimulai dari ketidakpuasan Suprihadi atas penggunaan bahan bakar biogas kotoran ternak yang apinya dinilai tidak bertahan lama. Akhirnya ia mencari potensi lain dan melakukan uji coba berkali-kali. Mulai dari menyuling kulit kayu manis hingga berinisiatif mencoba memanfaatkan limbah kantong plastik. 

Hasilnya di luar dugaan, limbah kantong plastik dan botol air mineral sebanyak seperempat kilogram mampu menghasilkan gas yang bertahan selama satu jam. Berbeda dengan gas hasil penyulingan kayu manis yang hanya mampu bertahan selama setengah jam.

Lebih lanjut Suprihadi mengemukakan, selain menghasilkan gas, pada kenyataannya limbah kantong plastik juga berpotensi menghasilkan bahan bakar alternatif yang serupa dengan minyak tanah, premium dan solar. Bahkan Suprihadi sendiri sempat menguji bahan bakar alternatif yang menyerupai premium untuk menghidupkan motor dan genset. Hasilnya mencengangkan, premium sebanyak 30 sentimeter kubik hanya mampu bertahan selama 3 menit 40 detik, sementara dengan menggunakan bahan bakar alternatif mampu bertahan lebih lama sampai dua puluh detik. Persisnya bertahan sampai dengan 4 menit. 

Hasil temuan Suprihadi ini diserahkan ke kelompok konservasi mandiri (KKM) Bangun Rejo yang kemudian disampaikan ke kantor lingkungan hidup (KLH) Solok Selatan.

Meski demikian, sebenarnya sebelum sosok Suprihadi viral menyulap limbah plastik menjadi sesuatu yang memberi kemanfaatan, di tahun 2012 seorang siswa yang menempuh pendidikan di Zahran Language School, Alexanderia, Mesir, bernama Azza Abdel Hamid Faiad telah lebih dulu mengubah plastik menjadi bahan dasar yang menghasilkan metana, propana dan etana. 

Selanjutnya metana, propana dan etena tersebut diproses lebih lanjut hingga berubah menjadi etanol yang dapat digunakan untuk biofuel. Faiad menegaskan, semua itu dihasilkan dari adanya proses pemanasan plastik dan polimer dalam temperatur yang tinggi. Akan tetapi penggunaan katalisasi yang ia buat memperkuat ide mengubah plastik menjadi energi gas.

Jika memang temuan itu telah melewati proses standaritas prosedur pengujian laboratorium dan hasilnya positif (ramah lingkungan) maka tentu ide-ide kreatif daur ulang limbah plastik ini harus terus dikembangkan, disikapi dengan penuh antusias dan diaplikasikan sesegera mungkin. Bagaimanapun proses mendaur ulang limbah kantong plastik ini adalah solusi terbaik daripada bumi yang kita tempati ini melulu menjadi tak terkendali kelestariannya karena sebaran sampah plastik yang tak terhingga.

Tulungagung, 15 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun