Pula mungkin kita masih ingat dengan kasus kematian kura-kura berukuran besar yang diakibatkan karena memakan sampah plastik. Sementara kasus terakhir yang sempat viral di berbagai kanal media sosial ialah ban bekas yang tersangkut pada kepala buaya. Tentu ini sekadar contoh kecil dari seabrek kasus besar yang belum terekspos di awak media. Bisa jadi jika kita mengetahui realitas yang terjadi sesungguhnya maka akan menyebabkan berdirinya bulu roma hingga trauma.
Selain itu, ketidakteraturan membuang sampah  sebenarnya beriringan pula dengan meningkatnya pola dan gaya hidup konsumtif. Terlebih lagi di musim pandemi Corona saat ini. Aturan work from home (WFH) yang diberlakukan oleh pemerintah menyebabkan masing-masing kita benar-benar membatasi ruang gerak yang leluasa. Hingga akhirnya kita mulai dipaksa untuk terbiasa dengan hal-hal yang bersifat instan.Â
Termasuk di dalamnya memesan makanan melalui jasa delivery order yang dibungkus dengan beragam plastik.
Kumpulan beragam plastik ini lambat-laun kuantitasnya sulit untuk dikendalikan. Keberadaannya sangat sulit untuk dimusnahkan.
Terlebih-lebihbulan ini adalah puncak musim hujan. Sehingga akan sangat sulit untuk membakar sampah. Meskipun dibakar, sampah plastik sendiri sebenarnya sangat sulit untuk mengalami proses penguraian dengan unsur tanah. Maka alangkah baiknya sampah kantong plastik ini didaur ulang.
Ada banyak cara untuk mendaur ulang sampah kantong plastik. Di antaranya; sebagai bahan dasar membuat tali, membuat kerajinan tangan (seperti dompet, tas, wadah pernak-pernik, dan lain sebagainya), menggunakan kantong plastik untuk melapisi tempat sampah, menjadikan kantong plastik sebagai kantong cadangan yang digunakan berulang-ulang, sebagai bahan untuk membuat paving blok sampai dengan bahan bakar alternatif.
Kompas.com (12/11/2019) mewartakan tentang bagaimana kreativitas Ipung (27) sebagai salah satu pemuda anggota karang taruna Kampung Kedung Hilir RT 001/003 Desa Sukamanah, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang berusaha keras mendaur ulang kantong plastik menjadi paving blok. Dikatakan, Ipung telah menekuni produksi paving blok berbahan dasar kantong plastik semenjak dua bulan terakhir.
Prosesnya cukup panjang. Seminggu dua kali Ipung berkeliling kampung untuk mengumpulkan sampah rumah tangga dari warga. Selanjutnya ia memilah kategori sampah sesuai jenisnya. Mencacah sampah kantong plastik kemudian dimasukkan ke dalam drum atau tong, dicampur dengan pasir dan oli bekas, semua bahan itu digodok sampai menyatu. Takaran antara sampah plastik, pasir dan oli bekas harus sesuai, bagaimanapun porsi itu akan mempengaruhi hasil. Satu kilogram kantong plastik akan menghasilkan satu paving blok.
Rumus pembuatan paving blok berbahan limbah kantong plastik ini tentu tidak sekali jadi melainkan telah mengalami kegagalan 6 kali, hingga akhirnya Ipung berhasil pada percobaan yang ketujuh. Lebih lanjut, Ipung mengaku kualitas paving blok buatannya tersebut lebih kuat daripada paving blok berbahan dasar pasir dan semen. Jika dilempar atau dibanting, paving blok buatannya tidak pecah ataupun rusak.Â
Kendati demikian, ia baru membuat 5-6 paving blok sebagai sampel, belum berani memproduksi secara massal sebab belum ada proses pengujian laboratorium. Tanpa pengujian dari laboratorium, Ipung khawatir paving blok buatannya akan berdampak pada kelestarian lingkungan.
Selain menjadikan limbah kantong plastik sebagai paving blok yang dilakukan Ipung, empat tahun sebelumnya Republika.co.id (31/8/2015) juga menampilkan sosok Suprihadi warga Bangun Rejo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat yang menyulap limbah plastik menjadi gas.
Temuan itu dimulai dari ketidakpuasan Suprihadi atas penggunaan bahan bakar biogas kotoran ternak yang apinya dinilai tidak bertahan lama. Akhirnya ia mencari potensi lain dan melakukan uji coba berkali-kali. Mulai dari menyuling kulit kayu manis hingga berinisiatif mencoba memanfaatkan limbah kantong plastik.Â