Dalam menjalani rutinitas sehari-hari terkadang kita cenderung tertarik pada segudang rencana besar yang harus diwujudkan. Fokus kita selalu terjebak dalam ritme permainan strategis untuk menggenapkan segala hal yang dikehendaki. Entah itu dalam upaya menggapai hal profan, seperti kemapanan sandang, pangan dan papan. Atau mungkin sebaliknya, ketenangan jiwa yang sebagian kecil orang cari.
Kesibukan "mengejar-ngejar dan menjadi gila" itulah yang kerap kali membutakan kejernihan hati dan pikiran kita, bahwa sesuatu yang besar itu sejatinya dimulai dari hal kecil yang berarti. Laiknya anak tangga yang sama rata memberi kontribusi. Tinggi-rendah bukan biang untuk menjadi caci maki melainkan tahapan proses yang harus dinikmati.
Dari sekian banyak hal kecil yang kerap kali kita lupakan sebagai anak tangga tersebut ialah tepat waktu tatkala berjanji, tiga kata ajaib; ma'af, tolong dan terimakasih, mendengar terlebih dahulu baru menjawab, mengingat nama orang dan berkata baik atau diam.
Pertama, tepat waktu tatkala berjanji. Tepat waktu adalah salah satu hal penting yang kerapkali kita abaikan. Bahkan saking abainya, molor (jam karet) pun menjadi tradisi yang mendarah daging dalam segala aktivitas yang kita sapa.Â
Sejauh pengamatan saya, tepat waktu ini adalah tantangan luar biasa yang benar-benar belum tertundukan oleh sang empu karsa secara merata. Siapa pun orangnya, tatkala dia senantiasa tepat waktu dalam segala hal tentu termasuk manusia istimewa. Barang langka yang sangat diniscayakan kehadirannya.
Sehingga logikanya, ketika orang telah mampu tepat waktu dalam segala hal, niscaya dia akan tepat waktu tatkala memenuhi janji. Disiplin akan menjadi karakter kuat dalam menaklukkan segala onak yang dihadapinya. Keajegan dalam bersikap disiplin inilah yang nantinya akan mengantarkan seseorang pada titik konsisten yang sering kita sebut dengan istilah istikamah.
Istikamah dalam melakukan hal kecil yang positif lebih baik daripada mengerjakan kebaikan besar yang sekali saja dalam pengerjaannya. Bahkan dikatakan pula, istikamah adalah salah satu anugerah yang diberikan kepada manusia pilihan layaknya karomah. Namun dalam konteks yang lebih intim, sebagian orang menyebutkan istikamah lebih baik dari karomah yang hadirnya hanya sekali dalam sejarah.
Masalahnya, sudahkah kita istikamah tepat waktu dalam mengerjakan segala hal? Termasuk tepat waktu tatkala berjanji.
Kedua, mengamalkan tiga kata ajaib; ma'af, tolong dan terima kasih. Pada dasarnya manusia adalah makhluk egois. Makhluk cerdas yang kerap kali bersikap culas, hendak menang sendiri, merasa paling benar dan mencari keuntungan secara pribadi. Hal itu tidak lain adalah realitas kehidupan yang sedikit banyak melulu berusaha kita taklukkan dan terus-menerus sibuk kita tutupi.
Sadar ataupun tidak, hal itu dibuktikan oleh sebagian besar di antara kita yang lebih suka dipuji, menggenggam persepsi "kemantapan" dalam zona nyaman karena gelimang serba memiliki dan terus berpacu pada titik tertentu yang khalayak ramai sebut dengan prestasi. Hingga akhirnya kita lupa bahwa semua itu hanya akan terwujud melalui proses panjang interaksi, saling mengakui dan menghargai. Satu anak tangga yang hanya akan dicapai dan tidak luput dari adanya komunikasi.
Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial inilah urgensi komunikasi perlu dibangun sedemikian idealitas berdasarkan normativitas kesepakatan bersama. Utamanya bila mengingat, bahwa manusia tidak akan pernah mampu mengerjakan semua tugas, kebutuhan dan kewajiban secara mandiri, melainkan berpijak pada fondasi yang sering kita sebut kerjasama dan gotong royong di antara sesama. Mutualisme simbiosis persisnya.
Kerjasama dan gotong royong ini tentu membutuhkan tenggang rasa, dimana masing-masing pribadi harus memiliki rasa yang peka, empati yang tinggi dan sikap identifikasi atas dimensi yang sama sekali berbeda. Samudera rasa setiap orang tentu berbeda-beda kedalamannya, meskipun wajah mereka menebar senyum yang sama rata.Â
Penggunaan tiga kata ajaib; ma'af, tolong dan terima kasih ini sejatinya sedikit banyak bersentuhan dengan keintiman penggunaan bahasa sang komunikator dan gejolak hati komunikan sebagai lawannya. Bagaimanapun sebagian besar di antara kita lebih suka bercakap-cakap ria tanpa mengontrol dan mengevaluasi setiap kalimat yang telah dilontarkan sebelumnya. Apakah itu bahasa yang tepat, tidak melukai hati lawannya atau malah menjadi bumerang bagi dirinya.Â
Seseorang yang jumawa tidak menutup kemungkinan jika melakukan kesalahan maka dia enggan mengakui di mana letak kesalahannya. Terlebih lagi, mau lebih dulu mengutarakan kata ma'af atau meminta ma'af atas segala keteledorannya. Bagi orang yang jumawa, menuding dan menjadikan kambing hitam orang lain sangatlah mungkin sebagai upaya membangun citra.
Sebaliknya, bagi mereka yang rendah hati dan memiliki karakteristik pribadi pemaaf akan ringan mengucapkan kata ma'af, berani mengakui dan menyebutkan dengan detail di mana letak kesalahannya. Sikap introspeksi terhadap diri sendiri ini adalah hal yang luar biasa. Sementara jika orang lain menyalahkannya ia akan menerima sekaligus mengonfirmasi dengan menyebutkan kata "tolong" untuk menunjukkan di mana letak kesalahannya.Â
Penyebutan kata tolong atau minta tolong lebih banyak disembunyikan di balik gumam kedua bibir kita. Padahal meminta kesediaan bantuan dari orang lain pun memiliki adab dan tata cara. Ada norma yang meliputi kehendaknya untuk mewujudkan setiap permintaan kita.
Tentu permintaan kita terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu pun akan memiliki posisi dan respon yang berbeda. Antara permintaan dengan menyertakan kata minta tolong dan tidak menyertakan, sudah pasti memiliki nasib dan perlakuan yang tidak sama.Â
Begitu halnya dengan kata terima kasih. Satu kata ajaib yang terkadang banyak menggetarkan hati kecil kita. Umumnya, seseorang akan merasa lega, bahagia dan merasa dihargai setelah melakukan sesuatu yang kemudian diucapkan kata terima kasih.Â
Dapat dikatakan, mengucapkan kata terima kasih pada tempatnya adalah imbalan yang paling sederhana namun sangat mengena. Satu kata sederhana yang memiliki nilai sangat berharga. Bahkan jika kita disiplin mengamalkannya, maka ikatan persaudaraan di antara sesama umat manusia semakin kukuh saja simpulnya. Jika meminjam istilah Nur Cholis Madjid maka keadaan itu disebut dengan ukhuwah insaniah. Satu ikatan persaudaraan yang berlandaskan pada kesadaran atas hakikat nasabiah sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Pertanyaan, sudahkah kita mendisiplinkan diri mengamalkan kata ma'af, tolong dan terima kasih dalam kehidupan sehari-hari?
Ketiga, mendengar terlebih dahulu baru menjawab. Kebanyakan dari kita lebih suka memposisikan diri sebagai pembicara. Terlebih lagi berbicara banyak tentang apa yang menjadi kegelisahan dalam hidupnya. Bahkan saking gemarnya berbicara, terkadang kita membahas hal-hal yang tidak penting dan tidak diketahui kebenarannya.Â
Alih-alih hendak mencairkan kejenuhan dan kegabutan diri dengan lancang asal menjawab, yang terjadi justru terjerumus pada keadaan sok tahu. Satu keadaan rapuh yang diam-diam diamini sebagai satu kebenaran tak bernas dalam upaya menjaga harga diri dan bullying dari berbagai kalangan. Sebutkan saja itu dengan kebebalan diri.Â
Dalam konteks kebebalan yang sangat akut, keadaan itu berevolusi menjadi kelihaian berjilat lidah. Lebih mengutamakan sok tahu-mendalahulukan menjawab- daripada mendengar kebenaran yang sesungguhnya dari segala masalah yang menjadi topik pembicaraan. Â
Sikap sok tahu ini adalah salah satu penyakit yang harus sesegera mungkin kita tanggalkan. Terlebih lagi, jika status kita sebagai pembelajar yang haus akan ilmu. Memelihara sikap sok tahu berarti hendak memalukan diri sendiri dalam waktu yang berkelanjutan. Memelihara sok tahu berarti menutup pemahaman paripurna atas ilmu baru yang sangat kita inginkan. Tak jarang pula, sikap sok tahu ini menjadi alasan kenapa orang lain bersikap jengkel dan dongkol terhadap seseorang.Â
Membudayakan mendengar terlebih dahulu baru menjawab itu bermakna salah satu cara kita bersyukur. Karena menempatkan diri menjadi pendengar yang baik juga sangat diperlukan untuk membangun komunikasi, kualitas hubungan dan kepercayaan antara satu sama lain.Â
Apabila telah berhasil menempatkan diri sebagai pendengar yang baik, maka secara otomatis kita akan mampu menjadi lawan bicara yang baik. Lawan bicara yang baik dalam artian memahami segenap kegelisahan dan permasalahan yang sedang dihadapi oleh komunikator yang bersangkutan.Â
Sudahkah kita menjadi pendengar setia sekaligus lawan bicara yang baik? Jika belum, mari kita mulai dari sekarang.
Keempat, hal kecil selanjutnya, yakni mengingat nama orang. Tidak semua orang memiliki ingatan yang kuat. Tidak semua hal yang telah dipelajari dan dijumpai oleh manusia paripurna diingat. Tersimpan rapat dalam ingatan kuat-kuat.Â
Tidak menutup kemungkinan, adakalanya sebagian besar dari kita memiliki teman yang banyak. Saking banyaknya memiliki teman terkadang tidak ada satu pun nama yang diingat. Namun itu mustahil. Begitupun sebaliknya, sudah memiliki teman sedikit dan lupa pula namanya, kalau yang itu si alamat. Kok alamat? Iya alamat. Alamat pikunmu sudah stadium empat. Kumat.Â
Dalam konteks sosial, mengingat nama orang berarti kita melanggengkan tali persaudaraan. Melestarikan silaturahmi menerobos segala kepentingan. Menghidupkan obor untuk menapaki jalan kebaikan. Menganggap, menempatkan dan mengakui orang lain menjadi bagian penting dalam kehidupan. Sebutkan saja mengingat nama orang lain itu adalah jembatan kita untuk menemukan identitas diri di masa sekarang dan masa yang akan datang.Â
Coba saja dibanyangkan, betapa bahagianya kita tatkala disapa oleh seseorang yang kita kenal tepat di tengah keramaian atau di manapun itu adanya. Bukankah tawa kecil berbalut bahagia akan tumpah ruah mewarnai keadaan? Tidak hanya tegur sapa, bahkan kadang kala guyon itu hadir tanpa sungkan hingga lancang membuat perut kita merasa geli.
Ya, memang mengingat nama orang itu menjadi satu kebutuhan yang penting, utamanya tatkala kita melakukan perjalanan jauh di mana kenalan kita itu tinggal. Semakin tak terhingga teman di belahan benua semakin mudah kita mendapatkan keberuntungan di mana-mana. Barang kali saja, dengan mengingat nama orang itu kita mendapatkan jamuan. Yekkkk... Ngarep banget si pengen dapet tumpangan nginep. Hehe. Ah, dasar si aku.Â
Masalahnya, seberapa kuat ingat anda? Sudah seberapa banyak nama orang yang anda simpan di memori kepala? Jika belum, segera update kapasitas ingat anda.Â
Sementara yang terakhir, yakni berkata baik atau diam. Tak dapat dipungkiri salah satu kelalaian manusia adalah ketidakmampuannya menempatkan kata-kata sesuai dengan tempat dan porsinya. Padahal, kata-kata merepresentasikan seberapa banyak pembendaharaan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya.Â
Pendek kata, kata-kata yang menjadi buah dari setiap ucapan seseorang menjadi cermin dari pribadi yang melontarkannya. Mengapa demikian? Karena melalui kata-kata seseorang bisa mencapai kebaikan yang dikehendaki. Begitupun sebaliknya, melalui kata-kata seseorang bisa saja mendapat murka, bencana hingga derita sepanjang masa.Â
Tidak hanya demikian, kata-kata juga dapat menjadi biang kerok hadirnya "chaos" yang meluluhlantakkan peradaban manusia. Dalam konteks ini, kata-kata tidak baik (buruk) itu mewujud; caci maki, adu domba, fitnah, tajasus, dan lain sebagainya.Â
Kata-kata buruk pada kenyataannya mengalirkan energi negatif bagi komunikan yang mendengarnya. Energi negatif inilah yang kemudian sedikit banyak memberikan sumbangsih bagaimana ia harus bertindak dan merespon cara bertutur kata komunitakor. Termasuk di dalamnya, mengatur bagaimana komunikan harus menentukan hubungan sosial dengan komunikator.Â
Tidak ada pilihan yang menjadi solusinya, selain berkata baik atau diam. Sebab dengan berkata baik berarti menebarkan energi positif kepada komunikan yang mendengarnya. Lantaran adanya aliran energi positif itulah yang kemudian akan menjadi bahan pertimbangan (alasan) kenapa seseorang harus berbuat baik kepada orang lain. Tentu ini penafsiran serampangan yang tak bernas dan harus dipertanyakan kembali (?).Â
Sementara diam adalah jalan buntu untuk menghentikan kelancangan kita dalam mengobral kata. Kelancangan mengobral kata yang mungkin bisa saja membuat luka baru atau mengoyak hubungan baik di antara masing-masing kita. Atas dasar itu pula mungkin yang menjadi alasan logis kenapa pribahasa diam adalah emas itu lahir.
Sudahkah kita berkata baik kepada sesama? Jika belum, ini adalah salah satu PR yang harus kita benahi untuk mencapai paripurna. Lima hal kecil yang berarti ini tidak lain adalah upaya introspeksi sekaligus resolusi pribadi untuk meningkatkan kualitas diri di tahun selanjutnya.Â
Akhir kata, selamat tinggal tahun 2020 yang banyak menampung catatan merah. Serta selamat datang 2021 yang menjadi harapan akan hadirnya sejuta kebaikan.Â
Tertanda di ujung tanduk tahun 2020.
Ciamis, 31 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H