Sementara yang terakhir, yakni berkata baik atau diam. Tak dapat dipungkiri salah satu kelalaian manusia adalah ketidakmampuannya menempatkan kata-kata sesuai dengan tempat dan porsinya. Padahal, kata-kata merepresentasikan seberapa banyak pembendaharaan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya.Â
Pendek kata, kata-kata yang menjadi buah dari setiap ucapan seseorang menjadi cermin dari pribadi yang melontarkannya. Mengapa demikian? Karena melalui kata-kata seseorang bisa mencapai kebaikan yang dikehendaki. Begitupun sebaliknya, melalui kata-kata seseorang bisa saja mendapat murka, bencana hingga derita sepanjang masa.Â
Tidak hanya demikian, kata-kata juga dapat menjadi biang kerok hadirnya "chaos" yang meluluhlantakkan peradaban manusia. Dalam konteks ini, kata-kata tidak baik (buruk) itu mewujud; caci maki, adu domba, fitnah, tajasus, dan lain sebagainya.Â
Kata-kata buruk pada kenyataannya mengalirkan energi negatif bagi komunikan yang mendengarnya. Energi negatif inilah yang kemudian sedikit banyak memberikan sumbangsih bagaimana ia harus bertindak dan merespon cara bertutur kata komunitakor. Termasuk di dalamnya, mengatur bagaimana komunikan harus menentukan hubungan sosial dengan komunikator.Â
Tidak ada pilihan yang menjadi solusinya, selain berkata baik atau diam. Sebab dengan berkata baik berarti menebarkan energi positif kepada komunikan yang mendengarnya. Lantaran adanya aliran energi positif itulah yang kemudian akan menjadi bahan pertimbangan (alasan) kenapa seseorang harus berbuat baik kepada orang lain. Tentu ini penafsiran serampangan yang tak bernas dan harus dipertanyakan kembali (?).Â
Sementara diam adalah jalan buntu untuk menghentikan kelancangan kita dalam mengobral kata. Kelancangan mengobral kata yang mungkin bisa saja membuat luka baru atau mengoyak hubungan baik di antara masing-masing kita. Atas dasar itu pula mungkin yang menjadi alasan logis kenapa pribahasa diam adalah emas itu lahir.
Sudahkah kita berkata baik kepada sesama? Jika belum, ini adalah salah satu PR yang harus kita benahi untuk mencapai paripurna. Lima hal kecil yang berarti ini tidak lain adalah upaya introspeksi sekaligus resolusi pribadi untuk meningkatkan kualitas diri di tahun selanjutnya.Â
Akhir kata, selamat tinggal tahun 2020 yang banyak menampung catatan merah. Serta selamat datang 2021 yang menjadi harapan akan hadirnya sejuta kebaikan.Â
Tertanda di ujung tanduk tahun 2020.
Ciamis, 31 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H