Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gedung DPR

10 Oktober 2020   09:38 Diperbarui: 10 Oktober 2020   09:43 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Diam mematung tanpa kata

Sorak-soraipun anarkis tak mampu menggentarkannya

Kegaduhan demonstran itu tak pernah menyumat gejolak bara emosi di dada

Ia tetap tenang, damai dalam kemantapan ajegnya

Dinding-dinding itu tetap saja kokoh mendengar putusan perkata

Selancang apa pun fraksi-fraksi politik itu saling menghujat dan membanting kursi tetap saja ia si cerdik penyumpal cerita

Akal bulus seperinci rahasia dalam genggamnya

Saksi bisu di bilik perahara

Mungkin benar ia telah bosan dengan kegandrungan rapat-rapat ala barbarian

Memanggang undang-undang sesuai kepentingan golongan

Menyelundupkan pasal-pasal sebangsa monopoli kekuasaan

Mengibaskan dasi seiring jas kebanggaan

Entah sejak kapan cermin aspirasi rakyat lupa atas kebermulaan

Gila atas kursi jabatan tak ayal hasil mengemis penuh cengengesan

Mengundi janji pengelabuan

Penampakan yang ada tak lebih sekadar permainan petak umpet pun atau kucing-kucingan

Dan itu bukan berarti banyak membenah kebobrokan

Sekadar menegangkan!

Menumpuk kekayaan merumuskan kesengsaraan untuk dimakan  

Bahkan mikrofon harga selangit mereka matikan

Seandainya atap-atap itu telanjur lelah dalam melacurkan diri

Mungkin besar kemaluannya telah memberangus nyawa tanpa harus menghitung jemari

Entah itu mereka berkacamata maupun yang berpeci

Semua terpahami sama dalam satu arti

Tokoh utama drama kolosal dalam mengerdilkan hak asasi

Seandainya deret kursi itu memihak aksi

Mungkin sejak awal takan pernah sudi masif disinggahi

Terlebih jijik membopong tubuh yang molor di saat rapat berkali-kali

Apalagi acuh tak acuh terhadap sejubel materi, mungkin ia sibuk mengutuk diri

Sementara semua kursi mufakat untuk angkat kaki

Dalam bungkamnya menertawakan kursi, pun meja menatap tajam sembari mengenali

Lima menit selanjutnya ia sibuk menyumpahi

Siapa-siapa yang selalu usil menampar pipinya berpuluh-puluh tahun dan kini

Meja pun berani mengernyitkan dahi sekaligus menghakimi

Kiranya, inikah kacang yang dzolim atas kulitnya sendiri?

Dan pagar-pagar itu korbannya pertama kali

Ah, sewindu sayang, orasi-orasi itu tak kunjung menginsyafkan diri

Tak ada obat ampuh penyembuh kelalilan diri

Jikapun ketukan palumu adalah benar

Pahamkan kami dari kebebalan akal anak tiri

Pancarkan kebijaksanaanmu demi kebebasan egoku yang merusuhi

Tulungagung, 10 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun