Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Sepanjang Jalan Sesumbar Jacob

2 Oktober 2020   13:08 Diperbarui: 2 Oktober 2020   13:19 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Terhitung, hampir dua bulan berturut-turut saya mengunjungi satu daerah pelosok yang sama di Trenggalek. Tepatnya, pada bulan Juni dan bulan Agustus lalu.

Sebelumnya harus ditegaskan, bahwa dua bulan berturut-turut di sini bukan berarti kunjungan dalam kurun waktu satu bulan penuh melainkan hanya satu-dua hari kunjungan saja. Sementara daerah pelosok yang dimaksud adalah desa Jombok kecamatan Pule kabupaten Trenggalek.

Pada kesempatan ini, izinkan saya berbagi cerita terkait kunjungan saya ke desa Jombok pada minggu keempat bulan Juni. Rabu, 24 Juni 2020. Sementara pemberangkatan perjalanan tersebut kurang lebih dimulai dari pukul delapan kurang seperempat.

Masih terbersit betul dalam ingatan, tatkala  itu saya diajak untuk mendampingi wawancara penelitian oleh salah seorang teman bernama Jacob (nama samaran). Alhasil, yang bertandang ke sana berjumlah tiga orang; Jacob, saya, dan mas Adi selaku sopir.

Di pagi yang sangat cerah itu kami bertiga menyusuri dan melahap panorama indah sepanjang jalan Tulungagung-Trenggalek dengan mengendarai mobil Toyota Avanza warna hitam.

"Mas Adi, nanti kita sarapan dulu ya? Mumpung ini masih waktu yang tepat untuk sarapan. Di mana saja gitu. Cari tempat makan di pinggir jalan saja tapi yang menu masakannya Joss gandos", tukas Jacob pada sang sopir.

"Sebentar ya, seingat saya di dekat sini ada satu-dua warung makan yang enak deh. Tapi efek lama gak lewat jalan ini, jadinya saya kok lupa-lupa ingat gini ya", timpal mas Adi sembari sibuk mengernyitkan dahi, menggali-gali ingatannya.  

Saya yang duduk di samping mas Adi sempat membuang wajah sembari menatap penuh curiga ke arahnya. Selepas itu, saya bergumul dengan angan dan renungan singkat laiknya kilat.

"Mungkin di antara kami bertiga yang paling sibuk di mobil ini hanya mas Adi. Coba saja anda bayangkan. Sepanjang mewujudkan tujuan, mas Adi benar-benar sibuk berkencan dengan setir, tuas gigi, gas, kopling dan rem. Belum lagi ditambah harus meladeni dua orang penumpangnya yang bawel ini", sergah saya dalam pikiran.

"Jadi sopir itu hebat ya? Dalam satu waktu mampu menggerakkan beberapa anggota tubuhnya secara reflek dan itu dikerjakan sejauh mana tujuan yang hendak ditempuh. Belum lagi ia harus melawan kantuk, rasa jenuh dan bosan yang melulu menggelayuti tubuh. Syukurlah, mas Adi tidak sampai meleng, meski sesekali celingukan, tetapi ia seratus persen mampu fokus", lanjut saya dalam angan.

Di penghujung lamunan itu saya terkaget-kaget. Jacob tiba-tiba sibuk menumpahkan pertanyaan ke muka saya. Hampir saja, saya mendapati titisan Socrates  dengan gaya dialektikanya yang khas di abad disrupsi ini.

Tatkala itu pula, hampir saja ia mengambil peran pak polisi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hingga ia berani mengintrogasi saya tentang menu sarapan apa yang diidam-idamkan.

Pertanyaannya sepele namun begitu menegangkan. Mungkin karena AC mobil itu terlalu berhembus kencang hingga leluasa tega membuat saya merasa gagap seketika. "Kulo... Kulo... Kulo nderek panjenengan mawon", pendek timpal saya.

Ah, sialnya, tatkala itu secara tidak sadar saya telah memfitnah AC yang masih suci laiknya perawan yang disebut-sebut sebagai Maryam. Saya telah merampas hak asasi AC yang tak pernah terjerat pasal hukum apapun yang berlaku di muka bumi ini.

Jikalau AC itu bisa membalasnya dengan tukas kalimat sanggahan, mungkin ia akan banyak melayangkan hardik di hadapan saya. Jika mau, bisa saja dia sewaktu-waktu menuntut dan menyeret saya ke meja hijau dengan alasan pencemaran nama baik.

Alur ceritanya mungkin akan sangat viral di jagat maya, melebihi trending pemberi pinjaman utang yang dipidanakan oleh pihak yang berutang. Toh, kasusnya juga sama, dalih pencemaran nama baik sebagai dalil permainan yang menjeratnya.

Jika telah demikian siapa yang salah? Bukankah menolong orang lain yang sangat membutuhkan bantuan itu kewajiban? Termasuk di dalamnya urusan utang-piutang. Meminjamkan uang dan membayarnya sudah barang tentu harus dengan penuh etika. Masa iya, air susu dibalas air tuba?

Apa iya kamu lupa? Kalau kita ini penduduk asli Indonesia. Para pelancong mancanegara menyebutkan bahwa warga negara Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang bertatakrama, ramah dan penuh etika. Di bumi Nusantara, di manapun itu adanya, kita adalah saudara. Bagaimanapun nasabiyah kita melampui dikotomi kesukuan, bahasa daerah, agama dan budaya. Sebab kita semua berpijak pada Bhineka Tunggal Ika.

Meski demikian, tapi ini bukan kepayahan utang-piutang yang harus segera diselesaikan, melainkan urusan perut. Satu persoalan runyam yang memang sangat musykil untuk dicecar dengan mudah. Mana mungkin saya berani berlagak sok dan penuh perlente ekspresif. Terlebih-lebih, posisi saya hanya sebatas orang yang melengkapi kehendak sang empu pemilik tujuan.

Lancangnya saya, justru berondong pertanyaan itu membuat pikiran picik saya kambuh membabi buta semena-mena. Menerka-nerka muara kasus yang menunggangi urusan perut.

Cobalah tengok rumah yang kita sebut sebagai cita-cita dan kemewahan. Di mana orang-orang mengasumsikan buncitnya perut sebagai bentuk kesempurnaan hidup yang diidam-idamkan. Sebuah keadaan hidup ideal yang dipandang sebagai bentuk kesejahteraan.

Sayang seribu sayang, saya melihat di dalamnya memuat banyak kenistaan hebat yang akan membuat kita terbelalak dan tercengang. Sebagai buktinya, coba lihat saja telah seberapa banyak orang terjerat kasus karena urusan perut.

Telah seberapa banyak orang telanjur menggadaikan rasa malu, kejujuran, membolak-balikkan kebenaran, menjungkirbalikkan hukum dan mempermainkan agamanya karena keroncong perut.

Tidak hanya sampai di sana. Urusan perut terus merembet pada sejauh mana orang-orang merampas hak-hak kemanusiaan karena alasan tak berlogika; padahal hanya hendak melepas kentut. Seleluasa apa mereka memberanguskan nyawa karena diteror takut dan bayang-bayang yang disebut bangkrut.

Mungkin iya, segelintir dari kita hanyalah korban tipu daya yang tak pernah punya kuasa. Sekalipun menuntut dan bicara ke muka yang terjadi justru harus berurusan dengan pengacara di depan jaksa. Satu kepastian yang berakhir sebagai malapetaka.

Padahal dulu orang-orang yang punya kuasa itu sempat mengiba karena suara penentu digenggam rakyat jelata. Ah, mungkin mereka sudah lupa atau memang sengaja melupa dengan setumpuk janji yang dikoar-koarkan di mimbar pilkada.

Lantas saya menjadi sangsi seketika, sembari diam-diam memproklamirkan diri sebagai skeptis sejati tanpa terbubuhkan secuil tanda. Sontak, saya pun terperanjat tatkala mobil berhenti di beranda warung makan. "Soto Lamongan", plakat warung  makan itu terpampang jelas di kaca bagian depan.

"Sretttttt... Hemmmm, akhirnya", suara kursi ditarik bercampur lega. Belum juga panasnya pantat mendingin, titisan Socrates milenial itu mengeroyok saya dengan peleton pertanyaan lanjutan. "Mau soto apa mas Roni? Daging atau ayam? Telurnya mau satu atau dua? Minumnya mau apa? Jeruk hangat atau dingin, teh dingin atau hangat?", lontarnya.

Untungnya saya tidak sedang mood untuk berdebat, alhasil balasan singkatpun saya jamak, "soto ayam, minumnya jeruk hangat". Sembari menunggu pesanan, curahan demi curahan terus-menerus Jacob imbuhkan sebagai hidangan pembuka. Hampir saja, saya dibuatnya kenyang sebelum mencicipi rasa.  

Mungkin jika dianalogikan, Jacob sebagai titisan Socrates milenial yang piawai berjilat lidah itu bersinonimitas dengan tokoh Jeng Kelin pada sitkom salah satu channel TV yang difavoritkan dahulu. Tak usahlah saya sebutkan, kalau-kalau perkataannya mudah dicerna diawal namun akhirnya menjengkelkan lawan bicaranya.

Di tengah keasyikan melahap soto Lamongan, titisan Socrates itu masih saja menyempatkan waktu untuk memintal kata. Seakan-akan keselak dipastikan tunduk pada setiap tutur katanya. Sekali-dua kali dia menawarkan, "mas, Iki lo opak.e. Saya kalau makan tanpa opak rasanya kurang afdhol gimana gitu".

"Enggeh. Loh kok saget ngoten nggeh?", sergahku dengan penuh kehati-hatian karena takut keselak. Bagaimanapun diam adalah teman terbaik saya di kala makan, namun kali ini saya harus menduakannya dengan cerocos yang harus terladeni karena segan.  

Ia mengambil dua kerupuk dan meletakkan satu kerupuk di atas mangkuk saya. Tanpa menunggu jeda, akhirnya ia mulai bercerita mengorek-ngorek ingatan lamanya pada saat ia kecil.

"Dahulu, tetangga sebelah rumah saya punya pabrik kerupuk. Ya, meskipun pabrik itu tidak begitu luas namun sudah mampu memberdayakan tetangga sekitar yang pengganguran. Tatkala itu, pemilik pabrik punya tradisi unik, di mana setiap hasil penggorengan kerupuk yang pertama kali, pasti dibagikan kepada para tetangganya, termasuk anak-anak. Ya, saya sebagai anak-anak, di kala itu sangat bahagia dapat kerupuk gratisan setiap hari", celotehnya.

"Sekarang, pabriknya sudah berkembang, memiliki cabang dan diurus oleh anak-anaknya. Saya pikir Itu ganjaran yang setimpal atas sikap ringan tangan dan kedermawanannya", lanjutnya yang diikuti suapan pamungkas kuah soto. "Wah, keren", saya menimpalinya seraya termangut-mangut.

Setelah perut terisi, sejenak kami pun secara bergantian menuju toilet. Ceritanya kami dengan lancang membajak toilet sang pemilik warung makan. Ah, tak apalah. Toh pembeli adalah raja, bukan?

Tak butuh waktu lama, kami pun kembali menduduki singgasana semula. Setiap masing-masing orang telah siap berkutat dengan panasnya pantat. Tapi perjuangan setengah perjalanan kali ini sungguh terasa berbeda, pasalnya kantuk setelah sarapan mulai lihai meredupkan kesadaran saya. Beberapa saat saya berkubang di dalamnya dan sesaat melek kemudian suara titisan Socrates itu masih saja merasuk dua gendang telinga. Sialan.

Loh kok sialan ya? Bukankah kantuk itu muncul karena muara nikmat-Nya yang telah tercecap? Lantas mana mungkin manusia kerdil seperti diri saya mampu mendustakan nikmatnya. Hati kecil langsung tersentak. Saya mematung sejenak.

Tampak jelas, suara mobil itu kini berubah nada. Agak sedikit tersengal-sengal menapaki jalan menanjak dan berkelok. Sementara itu kedua bola mata saya tertawaan asyik jelujur pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Tentu tingginya tidak menembus langit, laiknya serial kisah pohon kacang dan si Kadrun di salah satu kanal stasiun televisi.

Meski demikian, hijau dedaunan dan asrinya lingkungan berhasil menghilangkan rasa kantuk saya. Tapi tetap saja, kelestarian alam ini sangat tidak cukup untuk menyumpal tradisi oral yang dimiliki titisan Socrates. Justru yang terjadi sebaliknya, ocehan itu makin beranak pinak. Tumpah ruah menjejali setiap ruang kosong di dalam mobil. Hampir saja, penjabarannya persis dengan ajaran atomisme Demokritos.

Segala sesuatu yang ada tidak lain adalah terisi yang penuh dan yang kosomg. Pada ruang yang kasat mata dan tampak kosong itu disesaki bagian-bagian materi yang begitu kecil, dan jumlahnya tidak terhingga. Namun mata kita saja yang terbatas, tak mampu mengamatinya dengan baik (K. Bertens,  1999: 76).

Dalam konteks ini, saya pikir ada benarnya juga qoutes dari K.H. Mustofa Bisri; "beruntunglah mereka yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam dan selalu berusaha agar diam dan bicara bermanfaat".
Untungnya saja kami tidak mati karena tercekik tumpah kata itu.

Namun, etika santri yang tertunduk di pinggir jalan tatkala kami melintas tampak jelas sebagai sambutan hangat. Sementara segudang jawaban yang diberikan oleh K. H. Maksum pengasuh pondok pesantren Hidayatulloh yang begitu terang-benderang dan meneduhkan, rasa-rasanya itu berhasil membuat kikuk sekaligus membungkam hasrat berjilat titisan Socrates.

Belum lagi ditambah dengan hidangan lodeh, karedok dan telur dadar yang telah terhidang sebagai pamungkas di ujung percakapan, rasanya sempurna sudah tujuan dan dahaga keinginan tahuan ini.

Tapi, pada kenyataannya langkah kaki kami pun belum benar-benar terhenti, sebab masih ada dua informan kunci yang harus kami temui. Bagaimanapun data yang telah  terkoleksi harus valid terkonfirmasi dan terverifikasi. Namun cukup dua jam saja untuk itu, hingga akhirnya di daerah Salamrejo hajat kami terpenuhi.

Ah, sialnya saya pun tidak ingin membohongi diri sendiri, bahwa sepanjang jalan kenangan itu rasa-rasanya Jacob memang telah banyak menceramahi. Sementara saya memilih banyak diam sembari menghakimi di dalam hati dan mendengarkan celotehnya meskipun itu tidak benar-benar saya pahami.

Bagaimanapun saya merasa memosisikan diri dengan benar, berethok-ethok dan lambe-lambe abang yang digadang-gadang oleh Franz Magnis Suseno dalam buku "Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa" , lebih njawani untuk menyikapi perbedaan antara karakter saya dan titisan Socrates itu.

Tulungagung, 2 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun