Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Sepanjang Jalan Sesumbar Jacob

2 Oktober 2020   13:08 Diperbarui: 2 Oktober 2020   13:19 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

"Dahulu, tetangga sebelah rumah saya punya pabrik kerupuk. Ya, meskipun pabrik itu tidak begitu luas namun sudah mampu memberdayakan tetangga sekitar yang pengganguran. Tatkala itu, pemilik pabrik punya tradisi unik, di mana setiap hasil penggorengan kerupuk yang pertama kali, pasti dibagikan kepada para tetangganya, termasuk anak-anak. Ya, saya sebagai anak-anak, di kala itu sangat bahagia dapat kerupuk gratisan setiap hari", celotehnya.

"Sekarang, pabriknya sudah berkembang, memiliki cabang dan diurus oleh anak-anaknya. Saya pikir Itu ganjaran yang setimpal atas sikap ringan tangan dan kedermawanannya", lanjutnya yang diikuti suapan pamungkas kuah soto. "Wah, keren", saya menimpalinya seraya termangut-mangut.

Setelah perut terisi, sejenak kami pun secara bergantian menuju toilet. Ceritanya kami dengan lancang membajak toilet sang pemilik warung makan. Ah, tak apalah. Toh pembeli adalah raja, bukan?

Tak butuh waktu lama, kami pun kembali menduduki singgasana semula. Setiap masing-masing orang telah siap berkutat dengan panasnya pantat. Tapi perjuangan setengah perjalanan kali ini sungguh terasa berbeda, pasalnya kantuk setelah sarapan mulai lihai meredupkan kesadaran saya. Beberapa saat saya berkubang di dalamnya dan sesaat melek kemudian suara titisan Socrates itu masih saja merasuk dua gendang telinga. Sialan.

Loh kok sialan ya? Bukankah kantuk itu muncul karena muara nikmat-Nya yang telah tercecap? Lantas mana mungkin manusia kerdil seperti diri saya mampu mendustakan nikmatnya. Hati kecil langsung tersentak. Saya mematung sejenak.

Tampak jelas, suara mobil itu kini berubah nada. Agak sedikit tersengal-sengal menapaki jalan menanjak dan berkelok. Sementara itu kedua bola mata saya tertawaan asyik jelujur pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Tentu tingginya tidak menembus langit, laiknya serial kisah pohon kacang dan si Kadrun di salah satu kanal stasiun televisi.

Meski demikian, hijau dedaunan dan asrinya lingkungan berhasil menghilangkan rasa kantuk saya. Tapi tetap saja, kelestarian alam ini sangat tidak cukup untuk menyumpal tradisi oral yang dimiliki titisan Socrates. Justru yang terjadi sebaliknya, ocehan itu makin beranak pinak. Tumpah ruah menjejali setiap ruang kosong di dalam mobil. Hampir saja, penjabarannya persis dengan ajaran atomisme Demokritos.

Segala sesuatu yang ada tidak lain adalah terisi yang penuh dan yang kosomg. Pada ruang yang kasat mata dan tampak kosong itu disesaki bagian-bagian materi yang begitu kecil, dan jumlahnya tidak terhingga. Namun mata kita saja yang terbatas, tak mampu mengamatinya dengan baik (K. Bertens,  1999: 76).

Dalam konteks ini, saya pikir ada benarnya juga qoutes dari K.H. Mustofa Bisri; "beruntunglah mereka yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam dan selalu berusaha agar diam dan bicara bermanfaat".
Untungnya saja kami tidak mati karena tercekik tumpah kata itu.

Namun, etika santri yang tertunduk di pinggir jalan tatkala kami melintas tampak jelas sebagai sambutan hangat. Sementara segudang jawaban yang diberikan oleh K. H. Maksum pengasuh pondok pesantren Hidayatulloh yang begitu terang-benderang dan meneduhkan, rasa-rasanya itu berhasil membuat kikuk sekaligus membungkam hasrat berjilat titisan Socrates.

Belum lagi ditambah dengan hidangan lodeh, karedok dan telur dadar yang telah terhidang sebagai pamungkas di ujung percakapan, rasanya sempurna sudah tujuan dan dahaga keinginan tahuan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun