Tatkala itu pula, hampir saja ia mengambil peran pak polisi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hingga ia berani mengintrogasi saya tentang menu sarapan apa yang diidam-idamkan.
Pertanyaannya sepele namun begitu menegangkan. Mungkin karena AC mobil itu terlalu berhembus kencang hingga leluasa tega membuat saya merasa gagap seketika. "Kulo... Kulo... Kulo nderek panjenengan mawon", pendek timpal saya.
Ah, sialnya, tatkala itu secara tidak sadar saya telah memfitnah AC yang masih suci laiknya perawan yang disebut-sebut sebagai Maryam. Saya telah merampas hak asasi AC yang tak pernah terjerat pasal hukum apapun yang berlaku di muka bumi ini.
Jikalau AC itu bisa membalasnya dengan tukas kalimat sanggahan, mungkin ia akan banyak melayangkan hardik di hadapan saya. Jika mau, bisa saja dia sewaktu-waktu menuntut dan menyeret saya ke meja hijau dengan alasan pencemaran nama baik.
Alur ceritanya mungkin akan sangat viral di jagat maya, melebihi trending pemberi pinjaman utang yang dipidanakan oleh pihak yang berutang. Toh, kasusnya juga sama, dalih pencemaran nama baik sebagai dalil permainan yang menjeratnya.
Jika telah demikian siapa yang salah? Bukankah menolong orang lain yang sangat membutuhkan bantuan itu kewajiban? Termasuk di dalamnya urusan utang-piutang. Meminjamkan uang dan membayarnya sudah barang tentu harus dengan penuh etika. Masa iya, air susu dibalas air tuba?
Apa iya kamu lupa? Kalau kita ini penduduk asli Indonesia. Para pelancong mancanegara menyebutkan bahwa warga negara Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang bertatakrama, ramah dan penuh etika. Di bumi Nusantara, di manapun itu adanya, kita adalah saudara. Bagaimanapun nasabiyah kita melampui dikotomi kesukuan, bahasa daerah, agama dan budaya. Sebab kita semua berpijak pada Bhineka Tunggal Ika.
Meski demikian, tapi ini bukan kepayahan utang-piutang yang harus segera diselesaikan, melainkan urusan perut. Satu persoalan runyam yang memang sangat musykil untuk dicecar dengan mudah. Mana mungkin saya berani berlagak sok dan penuh perlente ekspresif. Terlebih-lebih, posisi saya hanya sebatas orang yang melengkapi kehendak sang empu pemilik tujuan.
Lancangnya saya, justru berondong pertanyaan itu membuat pikiran picik saya kambuh membabi buta semena-mena. Menerka-nerka muara kasus yang menunggangi urusan perut.
Cobalah tengok rumah yang kita sebut sebagai cita-cita dan kemewahan. Di mana orang-orang mengasumsikan buncitnya perut sebagai bentuk kesempurnaan hidup yang diidam-idamkan. Sebuah keadaan hidup ideal yang dipandang sebagai bentuk kesejahteraan.
Sayang seribu sayang, saya melihat di dalamnya memuat banyak kenistaan hebat yang akan membuat kita terbelalak dan tercengang. Sebagai buktinya, coba lihat saja telah seberapa banyak orang terjerat kasus karena urusan perut.