Mohon tunggu...
Mandalla Syaputra Wijaya
Mandalla Syaputra Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Suara jangkrik dan kidung rimba tak menghalangi daya ciptaku sebagai seorang hamba, kuingin menghantar sejuta Makna, lewat rangkaian kata dan tatapan mata didunia maya. Semoga persembahan ini bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

PERAN MEDIA MASA

16 Juni 2014   00:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 10537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14028273631111522864

Namun demikian, adanya kebebasan pers ini belum secara langsung meningkatkan pelaksanaan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Bahkan peningkatan kualitas penerbitan dan pertambahan jumlah penerbitan pers justru cenderung mendorong terjadinya penyajian informasi yang rancu dan membingungkan masyarakat.

Pemberdayaan Khalayak Dan Literasi Media

Pemosisian khalayak dalam medan komunikasi yang terjadi pada saat ini, sepertinya membuat khalayak menjadi tak berdaya menghadapi terpaan pesan-pesan komunikasi yang setiap hari menghampirinya. yang kemudian melahirkan gagasan untuk memberdayakan khalayak media massa. Secara formal, upaya memberdayakan khalayak ini mendapatkan dasar institusionalnya pada tahun 1982 yang digagas UNESCO yang menyatakan, “kita mesti mempersiapkan anak-anak muda kita untuk hidup di dunia yang sesak dengan suara, kata dan citra yang begitu perkasa.” Konferensi di Grundwald Jerman tahun 1982 yang menghasilkan Deklarasi Grundwald menjadi tonggak untuk mempersiapkan anak-anak muda menjadi khalayak media yang berdaya.

Konsep literasi media mulai diperkenalkan sebagai bagian penting kehidupan dan merupakan salah satu bentuk literasi yang diperlukan untuk bisa hidup dalam dunia sesak media (media saturated-world). Kelahiran konsep pemberdayaan sendiri tak lepas dari dinamika proses modernisasi di negara-negara berkembang. Pada saat konsep pembangunan yang berorientasi pertumbuhan menjadi konsep dominan, maka paradigma modernisasi menjadi dasar setiap kebijakan pembangunan yang dijalankan di negara-negara berkembang. Dalam pada itu berkembang konsep akternatif yang menggunakan paradigma struktural, khususnya yang dikenal dengan konsep dependensi yang dikembangkan di Amerika Latin. Konsep struktural ini membawa konsep pemberdayaan untuk memperbaiki posisi sosial kelompok-kelompok masyarakat yang secara struktural dirugikan oleh sistem sosial yang dikembangkan konsep modernisasi.

Kindervatter (1879:13), melalui karyanya yang monumental tentang pemberdayaan, mendefinisikan pemberdayaan sebagai “people gaining an understanding of control over social, economic, and for polical force in order to improve their standing in society.” Berdas arkan definisi tersebut, pada akhirnya , tujuan pemberdayaan adalah membuat orang-orang bisa memperbaiki posisinya di tengah masyarakat. Ikhtiar pemberdayaan pun umumnya dilakukan oleh para aktivis kemasyarakatan pada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan oleh sistem sosial dominan yang dikembangkan dengan pendekatan modernisasi yang amat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Konsep pemberdayaan yang dikembangkan secara sederhana bisa dirumuskan sebagai pemberian daya (power) kepada mereka yang tak berdaya (powerless). Studi yang dilakukan Bank Dunia tentang pemberdayaan menunjukkan bahwa di dalam istilah pemberdayaan tercakup pengertian kekuatan-diri (self-stregth), kontrol, kuasa-diri (selfpower), percaya-diri (selfreliance), pilihan sendiri, hidup bermartabat sesuai dengan nilai-nilai sendiri, mampu memperjuangkan hak-haknya sendiri, independen, mengambil keputusan sendiri, bebas, sadar, dan kapabel (world Bank, 2002 : 10).

Dengan pemberdayaan khalayak itu, maka posisi khalayak ditarik kembali untuk berada di tengah-tengah proses komunikasi. Khalayak bukan sekedar figuran belaka dari proses yang peran utamanya dipegang komunikator, pesan dan media. Khalayak diajak untuk membongkar apa yang ada di balik pesan yang disampaikan komunikator melalui media. Ketulusan, kesungguhan dan demi kemaslahatan khalayak yang selalu menjadi asumsi setiap tindak komunikasi dipertanyakan kebenarannya. Ideologi-ideologi dibalik pesan komunikasi dibongkar dan dipertanyakan.

Khalayak tidak lagi menjadi partisipan yang pasif dalam proses komunikasi, melainkan menjadi partisipan aktif proses komunikasi yang berlangsung dalam sistem sosialnya. Dengan menjadi khalayak yang berdaya akan terbuka kemungkinan untuk menjadi partisipan aktif tersebut mulai dari menafsirkan pesan komunikasi secara kritis, menyadari bahwa isi media sesungguhnya merupakan konstruksi dan media bukan sekedar merefleksikan kenyataan melainkan mempresentasikan kenyataan.

Dalam konteks hubungan antara khalayak dan media, setidaknya ada tiga pandangan dominan. Pertama untuk menghilangkan pengaruh buruk media, tindakan yang diperlukan adalah menghindari media. Kedua , bukan menghindari media melainkan hidup bersama media dengan membekali diri kemampuan literasi media. Ketiga , bukan hidup bersama media melainkan hidup memanfaatkan media dengan kemampuan literasi media. Bidang pemberdayaan khalayak media berkenaan dengan butir kedua dan ketiga tadi.

Dari sisi tujuan litrerasi media, ada dua pandangan yang berbeda yang sama-sama memiliki pengaruh di kalangan praktisi pendidikan media/literasi media. Pandangan pertama yang disebut kelompok proteksionis menyatakan, pendidikan media/literasi media dimaksudkan untuk melindungi warga masyarakat sebagai konsumen media dari dampak negatif media massa. Pandangan kedua yang disebut preparasionis menyatakan, literasi media merupakan upaya mempersiapkan warga masyarakat untuk hidup di dunia sesak-media (media-saturated world), sehingga mampu menjadi konsumen media yang kritis.

Perbedaan pandangan tersebut, menurut Kotilainen (2001 : 2), karena pandangan proteksionis melihat media dengan pendekatan behavioris yang melihat media sebagai ancaman terhadap warga negara, sehingga warga negara harus mendapat perlindungan melalui pendidikan media untuk mencapai literasi media. Sedangkan pandangan preparasionis memandang media dengan pendekatan humanis dan konstruktivis yang melihat media sebagai peluang untuk kehidupan yang lebih baik dan peluang untuk belajar sepanjang hayat di dalam masyarakat yang terus berubah, sehingga manusia perlu dipersiapkan dengan mengajarkan kompetensi literasi media yang didalamnya termasuk pemahaman dan refleksi diri. Kini pandangan yang dominan cenderung bergeser dari pendekatan yang berbasis “inokulasi” atau pencegahan menuju pendekatan yang berbasis “pemberdayaan”.

Kompetensi Pendidikan Media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun