Penulis mencoba menelaah berbagai paham sosial di Negara kesatuan republik Indonesia, yang terjadi di tengah kalangan masyarakat adalah benturan persepsi yang kemudian membentuk pradigma Premodial. Namun Para pendiri bangsa ini mencoba menletakan satu konsep dasar untuk bagaimana menyatukan masyarakat yang homogen ini, para pendiri Negara (Ir Soekarno) melihat sosiokultural dan teologi sosial adalah suatu muatan atau puncak sosio tertingi masyarakat sehingga diramu menjadi suatu paham atau Ideologi yang kita kenal Dengan pancasila. kita dapat menbangun suatu praduga bahwa pancasila adalah hasil dari perselingkuhan antara Sosioislam dan Sosiokultural, soekarno mengunakan kerajaan sebagai kemajemukan bangsa dan islam sebagai kemanungalan bangsa atau suatu asas persatuan. Sehinga pancasila sebagai representase dari pada kebehinekaan kita, perbedaan sudah menjadi suatu sunahtullah namun bukan berarti bercerai berai, bangsa ini telah lama memahami Falsafah Pancasila sebelum pancasila itu sendiri ada dimana masyarakat telah mengpraktekan gotong royong, ritual keagamaan, persaudaraan dan cinta kasih adalah suatau prangkat pemersatu yang non artefak.
Manusia adalah individu yang tidak bisa hidup tanpa orang lain atau tanpa bersosialisasi dengan sesamanya, melainkan saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam hubungan dengan orang lain tentu saja tidak semudah yang dibayangkan. Karena setiap individu tentu saja memiliki watak atau katakter yang berbeda, sehingga kerap muncul silang pendapat atau salah paham. Setiap individu tentu memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu objek sehingga membentuk kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan dalam cara pandang dari suatu objek tersebut. Untuk dapat membentuk suatu kelompok atau paham, tentu saja memiliki persyaratan-persyaratan yang menjadi suatu kesepakan bersama. Perbedaan pandangan itu sesuatu yang tidak mudah karena merupakan sesuatu yang mutlak terjadi di tengah kemajemukan.
 Dari kemajemukan ini yang paling menakjubkan adalah kita bisa bersatu dalam satu bangsa. Yang oleh Ben Anderson di sebut sebagai komunitas terbayang (Imagined community) yang membentuk satu nation, yakni bangsa Indonesia. Masyarakat Kenegaraan (civic society) sebagai suatu upaya menciptakan masyarakat madani (moderen) yang tercerahkan dalam berbagai aspek sosial, Budaya,agama,dan politik. Manusia pada dasarnya mengetahui apa yang di maksud dengan perubahan namun untuk berangkat menuju suatu perubhan itu seringkali berhenti pada metode dan tradisi premodial yang masih menjadi budaya setempat, dengan dalil peningalan para leluhur dan adat istiadat yang memiliki nilai mitoteologi.
 Dalam literature Kuntowijoyo allayrham, beliau menukilkan sedikit prihal gejala-gejala sosial di arab pada konteks masa kini dan disini. Ada jarak antara kedua sosio-history antara kedua masyarakat tersebut pak kunto membagi fase sosial di arab menjadi dua yaitu Pra-industrial (tribal society) tatanan masyarakat homogen dan Pasca-Industrial (civic society) tatanan masyrakat heterogen.
 Prihal Perubahan sosial dari masa-kemasa selalu mengalami perubahan bahkan bisa di sebut sudah menjadi suatu Sunahtullah pada alam (Realisme), Baqir Shadr dalam literaturnya sedikit mengkritik paham Emperisme yang menganggap alam sebagai suatu realitas yang pasif, bagi Baqir Shadr alam akan senantiasa berubah begitu juga dengan Manusia dalam pola piker dan pola tindak. Jika kita melihat beberapa sejarah yang dimana pada zaman neolitik sekitar 1-9 sebelum Masehi (sm) dimana individu masyarakat tidak memiliki ketergantungan pada individu yang lain namun lebih pada ketergantungan individu terhadap alam, bisa kita rujuk pada buku yang berjudul (Mengapa Negara gagal) Dimana Lahirlah sebuah Revolusi pertama di dunia yang di sebut sebagai Revolusi Neolitikum perubahan pola piker dan pola tindak individu masyarakat dari ketergantungan kepada alam menjadi ketergantungan kepada individu yang lain atau kita kenal dengan istilah mahluk sosial. Dari sejarah singkat ini kita bisa melihan bahwa banyak corak pimikiran tentang teori perubahan sosial adalah akumulasi dari pada perspektif sejarah yang individualistic dimana kecenderungan manusia yang di lihat pada fase sejarah amatlah subjektif namun sebagaimana yang di lakukan oleh manusia di zaman pra-sejarah.Â
 Indonesia adalah salah satu Negara yang dimana memiliki pergolakan sosial yang amat luar biasa cepatnya belum ada satupun para penulis tanah air menganilis prihal latar belakang masyarakat di indonesi, apakah kita lahir sebagaimana pradaban manusia atau kita adalah percikan ekspansi pradaban manusia, muncul suatu pertanyaan masyarakat masyarakat Indonesia yang bagaimana Indonesia itu seperti apa? Kita hanya bisa menjawab sampai pada fakta kerajaan nusantara, mengapa kita begitu cepat mengalami perubahan sosial.Â
Sebelum menalar lebih jau terkait pedahukuan di atas penulis terlebih dahulu mengutip Q.S (Ar-ra'ad, ayat 11) "Sesunguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehinga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka". Prinsip ini kiranya Allah menjelaskan pada umatnya bahwa pentinya basis spiritual pada setiap gerakan sosial (Sosial Profetik), bahwa apa yang kemudia sudah menjadi suatu nalar sosial ekonomi (materi) adalah instrument perubahan sosial menuju pradaban manusia. Dari ayat di atas Muthahhari menegaskan bahwa Kita mesti menolak kekuatan ekonomi sebagai sarana transformasi sejarah.
 Persepsi islam memandang sangatlah penting suatu keyakinan bahwa tuhan adalah sumber dan keyakinan akan adanya hari kebangkitan. Muthahhari menyebutkan bahwa ini adalah salah satu metode yang di gunakan Rassul kepada umatnya, kesadarn yang di bangkitkan adalah kesadaran akan pertanyaan "darimana kita datang, sekarang kita ada di mana, kemana tujuanmu, dari mana datangnya dunia ini, tahap apa yang tengah di laluinya, serta kea rah mana tujuanya?" tangung jawab pertama yang di ciptakan para Nabi a.s adalah tangung jawab manusai terhadap seluruh alam dan kehidupanya. Dan Tangung jawab sosial adalh bagian dari tangung ini. Selama 13 tahun fase mekah nabi tak lain mengajarkan ketuhanan dan kebangkitan.
A. Perspektif Teori Perubahan Sosial
Masyarakat selalu bergerak, berkembang, dan berubah. Dinamika masyarakat ini terjadi bisa karena faktor internal yang melekat dalam diri masyarakat itu sendiri, dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal. Narwoko mengatakan bahwa ada banyak perspektif teori yang menjelaskan tentang perubahan sosial, misalnya perspektif teori sosiohistoris, struktural fungsional, struktural konflik, dan pikologi sosial.
Teori sosiohistoris menempatkan variabel latar belakang sejarah dengan menekankan proses evolusi sebagai faktor utama dalam proses terjadinya perubahan sosial. Perspektif ini melihat perubahan sosial dalam dua dimensi yang saling berbeda asumsi yakni perubahan sebagai suatu siklus dan perubahan sebagai suatu perkembangan. Sebagai siklus sulit diketahui ujung pangkal terjadinya perubahan sosial. Perubahan terjadi lebih merupakan peristiwa prosesual dengan memandang sejarah sebagai serentetan lingkaran yang tak berujung. Sedangkan perubahan sebagai suatu perkembangan juga bahwa pada dasarnya masyarakat walau secara lambat namun pasti akan selalu bergerak, berkembang dan akhirnya berubah dari struktur sosial sederhana menuju ke arah yang lebih modern. Perubahan sosial secara umum diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya tatanan/struktur didalam masyarakat, yang meliputi pola pikir, sikap serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Berikut pandangan para ahli tentang perubahan sosial antara lain:
Kingsley Davis, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Contoh perubahan sosial yang dimaksud adalah terjadinya pengorganisasian buruh dalam masyarakat industri atau kapitalistis. Hal ini menyebabkan perubahan hubungan antara majikan dan para buruh yang kemudian terjadi perubahan juga dalam organisasi politik yang ada dalam perusahaan tersebut dan masyarakat.
Mac Iver, perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam interaksi sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
Selo Soemarjan, perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap dan perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
William Ogburn, menjelaskan pengertian perubahan sosial dengan membuat batasan ruang lingkup perubahan tersebut. Ogburn menjelaskan bahwa perubahan sosial itu mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materiil maupun immateriil dengan penekanan yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang materiil terhadap unsur-unsur kebudayaan yang immateriil. Belajar dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian perubahan sosial, dapat disimpulkan bahwa tidak semua perubahan sosial yang terjadi dalam struktur sosial masyarakat mengalami kemajuan, bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran. Maka dari itu perubahan sosial yang dibahas di sini adalah perubahan sosial berdasarkan penyebabnya yakni perubahan sosial yang direncanakan dan perubahan sosial yang tidak direncanakan.
 Contoh perubahan sosial yang direncanakan seperti adanya rencana pemerintah dalam program pembangunan masyarakat melalui sistem KB (Keluarga Berencana). Sedangkan perubahan sosial yang tidak direncanakan seperti peristiwa peperangan, bencana alam dan lain sebagainya. Menurut pendapat Weber bahwa tindakan sosial atau aksi sosial tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku (Max Weber dalam Berger 2004, 27). Tindakan sosial dilihat dari segi motifnya terdapat empat tindakan yakni, (1) tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentu, (2) tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, (3) tindakan emosional, (4) tindakan yang didasarkan atas adat istiadat tertentu (tradisi).
B. Teori Perubahan SosialÂ
 Perubahan sosial terjadi karena ada faktor dari dalam maupun dari luar. Adapun faktor dari dalam yang menyebabkan perubahan sosial seperti keadaan ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, agama dan sebagainya. Sedangkan faktor dari luar yang menyebabkan perubahan sosial seperti bencana alam, perang, gunung meletus, tsunami dan sebagainya.
 Konsep perubahan sosial yang mau diangkat dalam tulisan ini adalah soal perubahan sosial ekonomi dan perubahan sosial budaya. Karl Max dalam konsep economic structure berpendapat bahwa penggerak perubahan yang akan memimpin perubahan adalah termasuk proses perubahan sosial dan lingkungan ekonomi menjadi dasar segala perilaku masyarakat. Marx berpendapat bahwa, "siapa yang menguasai ekonomi, akan juga menguasai aspek lainya" Hal ini berarti ekonomi menjadi dasar dari perubahan sosial. Pendapat yang sama ditulis oleh Damsar ketika ekonomi dalam hal ini adalah materi masyarakat berkembang dengan baik, maka akan mempengaruhi perilaku sosial atau sosio budaya masyarakat, seperti cara berpikir, bertindak, gaya hidup, pertemanan atau ideology.
 Khomsan mengatakan bahwa ekonomi masyarakat menunjukkan ekonomi yang sangat rendah atau dikategorikan miskin (Khosman 2015, 3). Miskin menurut Chambers dan Nasikun (Nasikun 2001, 3) tergolong dalam 4 bentuk, yaitu:
Kemiskinan absolut, bila pendapatan berada di bawah garis kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau semua masyarakat.
Kemiskinan kultural, persoalan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, misalnya malas, pemboros, tidak kreatif.
Kemiskinan struktural, situasi miskin karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial dan kerap menyuburkan kemiskinan.
 Dari keempat kategori yang sudah dijelaskan di atas menggambarkan situasi masyarakat dalam kemiskinan. Kemiskinan yang paling utama adalah kemiskinan absolut. Kebutuhan dasar ini sangat mempengaruhi budaya masyarakat. Budaya mereka tidak bisa berkembang karena situasi dan kondisi mereka yang hidup dalam kemiskinan. Perubahan ekonomi dan perubahan budaya dapat berkembang atau berubah tentu saja banyak mengalami konflik dalam struktur masyarakat. Maka, pendekatan konflik lebih cocok untuk melihat suatu perubahan dalam segi ekonomi dan budaya. Pendekatan konflik ini dilihat dari teori pendekatan konflik klasik dan teori pendekatan modern.
 Max dalam teori perubahan sosialnya sering digolongkan ke dalam pendekatan konflik karena menekankan aspek struktur atau klasifikasi dalam perubahan ekonomi. Hal ini yang mendorong Karl Max menggolongkan masyarakat ke dalam dua golongan atau kelas, yakni golongan utama yaitu kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja (proletar). Kedua kelas ini senantiasa berada dalam posisi berhadapan sesuai dengan kepentingan ekonominya masing-masing. Kepentingan ekonomi kelompok pemilik modal (borjuis) yaitu pengusaha, pemilik tanah, pemilik bangunan dan lain sebagainya, yang tentu saja memiliki tujuan atau orientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga pengusaha akan berusaha bagaimanapun caranya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
 Menurut pengusaha, keuntungan (profit) didapat dengan menekan kaum proletar atau pekerja untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya dan biaya kerja atau upah kerja yang diberikan kepada kaum proletar ini sangat kecil atu kecil. Sementara pihak pekerja (proletar) menekankan kepentingan ekonominya untuk meningkatlan kesejahteraan mereka sebagai imbalan dari tenaga dan waktu yang telah diberikan dalam proses menghasilkan produksi. Dengan demikian terjadilah pertentangan atau konflik yang berkepanjangan dan dari konflik itu yang selalu menjadi korban adalah kelompok proletar karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan tidak mendapat hak atas tanah, bangunan dan hidup yang layak.
 Teori pendekatan konflik modern yang diuraikan di sini adalah teori konflik menurut Ralf Dahrendorf, sekitar tahun 1960. Arisandi menguraikan pendapat Dahrendorf mengenai proses konflik sosial yang mendorong terjadinya perubahan sosial, adalah pada setiap masyarakat, terdapat dua kelompok yang masing-masing menampilkan peran positif dan peran negatif (Arisandi 2015b, 175). Kelompok yang berkepentingan untuk mempertahankan keadaan yang sekarang disebut status quo, dianggap menampilkan peranan positif, sedangkan kelompok yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat secara progresif, dianggap menampilkan peranan negatif. Kedua kelompok ini mendapatkan peranan yaitu demi kepentingannya masing-masing yang saling bertentangan. Kelompok yang satu tetap pada keadaan yang sekarang, sedangkan kelompok yang lain ingin maju dan berubah. Konflik yang terus menerus terjadi diantara kedua kelompok ini akan membawa masyarakat ke dalam perubahan sosial. Cepat atau lambat, besar atau kecil ukuran atau skala perubahan sosial yang terjadi, tergantung pada faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya dan politik.
 Dengan demikian kelompok yang menang atau berhasil dalam konflik menurut teori ini adalah kelompok yang mendapat otoritas atau kewenangan untuk menguasai atau menekan orang lain sehingga stabilitas masyarakat dapat berjalan. Otoritas menurut pandangan Dahrendorf bukan terletak pada individu, melainkan terletak pada posisi, sehingga tidak bersifat statis. Orang yang berkuasa pada lingkungan tertentu belum tentu memiliki kuasa di lingkungan lain. Perubahan sosial dapat terjadi dalam teori ini melalui konsensus. Konsensus adalah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada kelompok yang lebih besar karena berdasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat keputusan yang dikembangkan. Konsensus yang dimaksudkan di sini adalah secara tidak langsung, masyarakat akan tunduk pada proses perubahan yang kebijakannya ditetapkan otoritas saat itu. Masyarakat akan tumbuh dan tunduk di dalam sistem sosial yang dibentuk oleh otoritas yang berwenang atau yang berkuasa. Manfaat otoritas yang dibuat oleh otoritas belum tentu diperuntukkan bagi masyarakat yang miskin, sehingga akibat dari kebijakan itu malah membuat masyarakat miskin menjadi semakin miskin.
 Problem yang muncul dari perubahan ekonomi dan sosio budaya ini adalah siapa yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini? Masyarakat membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal (kebutuhan pokok) dan pemberdayaan sumber daya manusia. Abraham Maslow menuliskan tingkat kebutuhan manusia, kebutuhan yang paling dasar yang harus dipenuhi adalah kebutuhan fisiologis. Agar tetap hidup, manusia membutuhkan makan setiap hari, pakaian yang layak dan memiliki tempat tinggal yang pantas. Soetomo menulis bahwa semua warga masyarakat tentu mempunyai cita-cita yang sama yaitu hidup sejahtera (Soetomo 2016, 340). Hidup sejahtera yang dimaksud adalah sejahtera secara jasmani dan spiritual termasuk dari segi ekonomi.2 Masyarakat tidak takut menghadapi hari esok, masyarakat merasa nyaman dan tenteram menjalani hidup ini, kebutuhan dasar terpenuhi sehingga perubahan sosial dalam bidang lain akan terpenuhi juga.
 Jika ekonomi belum terpenuhi, maka hal ini juga menyebabkan sumber daya manusia yang meliputi; cara berpikir, bertindak, bertutur kata atau gaya hidup, budaya, cara bersosialisasi sangat berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang hidup layak dari segi ekonomi. sumber daya menjadi problem, karena jalan keluar yang ditawarkan oleh pihak lain, belum tentu diterima oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan gaya hidup lama.
 Menurut Weber problem ekonomi dan sumber daya manusia ini bisa dipecahkan dengan menggunakan sistem otoritas legal atau kepemimpinana legal. Ritzer berpendapat bahwa kekuasaan atau kepemimpinan adalah probabilitas (peluang bahwa sesuatu akan terjadi) suatu perintah tertentu yang akan dipenuhi oleh sekelompok orang (Ritzer 2008, 140). Pemikiran Marx Weber hampir sama dengan pemikiran Dahrendorf tetapi Weber lebih melihat otoritas kepemimpinan, lebih dalam pengertian kemampuan untuk mempengaruhi tindakan dan pikiran.
 Weber berpendapat bahwa kepemimpinan otoritas legal merupakan kepemimpinan yang didasarkan pada aturan tertulis atau ada sistem yang jelas dan baku, yang dalam hal ini disebut birokrasi. Sistem kepemimpinana birokrasi ini bisa sangat memaksa dan terstruktur dengan baik sehingga sangat kuat, rasional, serta paling dapat diandalkan untuk menjaga sebuah otoritas berjalan dengan baik.
C.Teori-Teori Perubahan Sosial
 Berikut ada beberapa teori perubahan sosial yang berkaitan dengan apa yang sudah dibahas di atas. Teori-teori tersebut antara lain:
Teori Evolusi Diri
Dalam teori perubahan sosial ini dijelaskan bahwa evolusi individu sebulm turun kerana sosial terlebih dahulu selesai secara dirinya, barulah beranjak ke suatau tahapan perubahan sosial yang lebih tinggi.
Teori Konflik
Teori perubahan sosial ini dipengaruhi oleh pandangan beberapa ahli seperti Karl Max dan Mao zedong. Dalam teori perubahan sosial ini tentu saja memandang konflik sebagai sumber terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat.
Teori ini melihat masyarakat dalam dua kelompok atau kelas yang saling berkonflik yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kedua kelompok sosial dalam masyarakat ini dapat dianggap sebagai majikan dan pembantunya. Dengan kepemilikan harta dan hak atas hidup yang lebih banyak oleh kaum borjuis dan minimnya bagi kaum proletar akan memicu konflik dalam masyarakat sehingga terjadi revolusi sosial yang berakibat pada terjadinya perubahan sosial.
Teori Perubahan Sosial Dahrendorf
Teori perubahan sosial oleh Dahrendorf berisi tentang hubungan stabilitas struktural sosial dan adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur kelas sosial akan berakibat pada nilai. Kepentingan dalam hal ini dapat menjadi nilai serta realitas dalam masyarakat. Kepentingan merupakan elemen dasar dalam kehidupan sosial. Apabila kepentingan itu saling bertabraakan, maka sudah tentu akan terjadi konflik. Dari segi ekonomi, misalnya kepentingan buruh tani dan pekerja pabrik tuntutan kenaikan upah agar dapat mempertahankan hidupnya.
Teori Rasial
Menurut teori ini ras-ras tertentu terutama bertangung jawab atas kemajuan sejarah. Beberapa ras di pandang mampu membentuk budaya dan peradaban, semenetara beberapa ras lain tidak. Sebagian ras dapat melahirkan ilmu pengetahuan, filsafat, etika, seni, serta teknologi, sendangkan senagian ras lainya sebagai konsumen komuditas-komuditas ini, bukan menjadi produsenya. Olehnya itu perlu adanya pembagian kerja di antara berbagai ras. Ras-ras yang mempunyai kecakapan politik,pendidikan dan budaya harus betangung jawab atas aktivitas manusia yang tinggi.
Teori Geografis
Menurut teori ini, lingkungan alam tebty melahirkan budaya,pendidikan dan industry. Misalnya daerah-daerah beriklim sedang melahirkan temperamen sedang dan otak yang tanguh, pada bagian pertama Al-Qanun,Ibnu Sina membedah panjang lebar efek lingkungan pada mental dan Temperamen manusia.Â
Teori Peran Besar Intelektual (Theory of Intellectual Giants)
Namun hal yang berbeda ketika kita mengunakan teori ini, dimana seluruh perkembangan sejarah, mulai dari ilmu pengetahuan,politik,ekonomi,teknologi dan moral terjadi karna orang yang luar biasa cerdas.dalam hal ini manusai berbeda dengan mahluk lainya.
Teori Ekonomi
Menurut teori ini, ekonomi merupakan kekuatan pebdorong sejarah.
Teori Serba Tuhan
Menurut teoti ini, apa saja yang terjadi di bumi merupakan urusan tuhan ke bumi seturut dengan kebijaksanaan tinggi tuhan.
D. Makna Modern
 Modern di tandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidup di dunia ini. Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah yang terkenal, mengatakan bahwa modernitas telah mulai sejak abad ke-15 M, Ketika di dunia barat telah tidak berterimakasih kepada tuhan tetapi kepada dirinya sendiri sebab iya telah berhasil mengatasi kungkungan manusia di abad Pertengahan. Modernitas sebagai suatu corak atau babak baru dalam kehidupan manusia, yang lebih cenderung diafirmasi kepada era kemunculan industry dan teknologi di barat yang dimana kehadiran kedua hal tersebut juga berpengaruh terhadap penampilan, perilaku dan gaya hidup manusia.
 Modernitas tentunya, tidak kita temukan di zaman Yunani kuno, mesir kuno, romawi maupun arab jahiliyah, karena secara konsep dan karakteristik, istilah modern ini baru menampakkan dirinya bersamaan dengan (perubahan) kondisi sosio-ekonomi dan sosio-kultural di barat. Olehnya itu modernitas sebagai sebuah istilah dan konsep lebih dirujuk pada perkembangan kebudayaan dan peradaban di barat yang dicirikan dengan terciptanya suatu kondisi baru yang berbeda secara signifikan daripada abad-abad sebelumnya, yang jika ditinjau dan direfleksikan secara spesifik (berdasarkan perpektif sosio-historis modernisme), factor atau unsur kemodernan pada awal kemunculannya cenderung diidentikkan pada factor budaya dan aktivitas produksi (ekonomi), yang didalamnya terjadi transisi dari aktivitas produksi yang manual ke aktivitas produksi yang berbasis industry atau mesin.
 Kiranya dari perpektif sosio-historis (sisi perbedaan karakteristik didalam aktivitas produksi dan ekenomi tersebut), sehingga menjadi alasan dan dalil bagi Max Weber membagi kapilatisme sebagai budaya ekonomi menjadi dua model yakni Kapitalisme Tradisional dan Kapitalisme Modern, yang kemudian Weber menderivasi keduanya lagi menjadi dua yakni; yang satu (tradisional) sebagai Kapitalisme Irasional dan yang satu lagi (Modern) sebagai Kapitalisme Rasional; (lebih lanjut dari penjelasan Max weber ini, silahkan rujuk pada buku Kapitalisme; Sosio-historis, karya Dede Mulyanto)
 Kita tidak ingin hanya membahas kemodernan dari perspketif sosio-ekonomi dan sosio-kultural sebagaimana nampak dihadapan kita sebagai sebuah fenomena budaya didalam kehidupan kita, walaupun secara subtansi kita melihat dan akan menilai bahwa kemodernan sendiri adalah sebuah budaya yang secara potensial merupakan sesuatu yang inheren dalam proses perkembangan kebudayaan dan kehidupan kemanusiaan kita. Yasraf Amir Piliang, seorang pemikir Indonesia kontemporer, (dalam Bukunya; Dunia Yang Berlari---Menacari Tuhan-tuhan Digital) mencirikan Modernitas atau Modernime lebih kepada aspek "Budaya" daripada ekonomi maupun aspek-aspek lainnya.
 Pencirian ini berdasarkan uraian dan pemetaanya mengenai apa yang disebutnya sebagai Dunia yang Berlari---yang menurutnya Dunia yang berlari adalah dunia diciptakan oleh manusia itu sendiri dengan hasrat yang berlebihan (Hyperhasrat), dan sebagai implikasinya dunia terus berlari tanpa tekendali. Menurutnya, Dunia yang berlari tersebut adalah diunia yang dibangun atas tiga kekuatan besar (yang ia menyebutnya sebagai dewa-dewa) yakni modernisme (budaya), kapitalisme (ekonomi), dan Cyberspace (dunia digital). Dia melihat ketiga unsur tersebut sebagai satu kesatuan yang saling menopang, yang secara ekplisit ia lahir dari Libido manusia yang ingin menguasai dan menggantikan posisi Tuhan di muka bumi.Â
E. Insan Profetik
 Insan adalah istilah yang pertama kali di sebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak 65 kali dan tersebar dalam 43 surah, insan berasal dari kata Al-Ins yang mendapat tambahan Alif dan Nun. Sebagian para ulama menuturkan makna dari insan dalam Qur'an bertujuan untuk menguatkan karakter manusia sebagai mahluk sosial, atau dengan istilah lain manusia adalah mahluk yang tidak bisa menjalankan hidupnya tanpa manusia lain.
 Dalam Q.s Al-Imran ayat 110. Yang artinya : "Kamu adalah umat terbaik yang di lahirkan untuk manusia, menyeruh berbuat kebaikan, dan mencegah dari kejahatan, dan beriman kepada Allah". Kuntowijoyo mengaris bawahi, Menyuruh kebaikan, Mencegah kejahatan, dan beriman kepada Allah. Atau dengan bahasa yang lebih umum untuk telinga modern, Ketinganya di istilakan dengan istilah Humanisasi (Memanusiakan manusia), Liberasi (Pembebasan), dan Transendensi (Membawa manusia kepada tuhan). Makna profetik sendiri lebih bertumpuh pada pesan sejarah kenabian yaitu Hablun minallah dan Hablun minannas, segala urusan kemanusian sosial politik dan ekonomi harus di sandarkan pada suatu tujuan tertingi manusia yaitu tujuan Illahiayah (Transenden).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI