Mohon tunggu...
Farida Hanum
Farida Hanum Mohon Tunggu... Guru - MI. Asasul Huda Randegan

Hobby menulis dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Syahadat Terakhir

20 Desember 2023   11:21 Diperbarui: 20 Desember 2023   11:27 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SYAHADAT TERAKHIR

 

Farida Hanum

Hana menatap raga Andreas yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Perjuangan panjang Andreas telah berakhir. Berjuang melawan sakitnya, berjuang menjemput  ajalnya, berjuang untuk  kembali kepadaNya. Raga yang lemah,  Mata  yang tertutup rapat, hanya tersisa butiran air mata menetes membasahi pelipisnya, keringat dingin disekujur tubuhnya menjadi saksi betapa dahsyatnya sakaratul maut. Angka nol pada layar monitor ICU menjadi bukti bahwa ruh Andreas benar-benar  telah terpisah dari jasadnya. Hana masih belum percaya Andreas telah nyata meninggalkan dirinya. Ia terdiam di sisi ranjang  suami yang dicintainya  itu,  tatapan  matanya  fokus pada jasad Andreas. Air matanya  deras mengalir tapi tak terdengar isak tangis, hanya desahan nafas panjang yang terdengar berkali-kali. Suami yang begitu perhatian, suami yang penuh  kasih, suami yang perfect di mata Hana, harus pergi meninggalkannya. Hana memegang erat tangan Andreas, Ia berharap Andreas masih bisa menggerakkan tangannya,  tapi tidak,  tangan  itu benar-benar  tak bergerak, lemah dan tidak berdaya. Hana benar-benar  terpuruk, karena Ia tidak lagi bisa mendengar panggilan manja Andreas, tak terdengar lagi desahan nafas beratnya, semua pergi dalam sekejap. Hana menengok monitor ICU berharap terjadi keajaiban, mengembalikan ritme detak jantung suaminya, memulihkan kembali kondisi alat vital Andreas, tapi tetap saja angka di monitor ICU menunjukkan angka nol.

Ada rasa frustasi, kecewa dan menyerah pada keadaan saat dokter menyampaikan bahwa Andreas meninggal dunia tepat di pukul 4.15 wib. Hana terdiam, mulutnya seperti terkunci, Darah dalam tubuhnya seakan berhenti mengalir, lunglai tubuh  dan hampa jiwanya. Ia tak percaya bahwa suami yang dicintainya,  yang selalu bersama  saling setia, kini pergi dan tak mungkin kembali. Dalam ketidak percayaan itu, Hana syok berat, tetiba keseimbangan tubuhnya goyah, tubuhnya ambruk tak sadarkan  diri. Beruntung Hilda putri  keduanya dengan sigap menahan  tubuh  Hana. Dengan diibantu  perawat, Hilda membopong tubuh Hana menuju kursi penunggu pasien. Hilda dengan sabar membalur tubuh  mamanya dengan minyak kayu putih. Memijit dan menggosok telapak tangannya. Kelelahan lahir batin Hana benar- benar berada di titik nol. Bagaimana tidak, Ia sudah merawat Andreas bertahun-tahun akibat Stroke yang dideritanya. Dengan sabar Hana menjaga kesehatan Andreas agar bisa pulih kembali. Dan benar juga, Andreas memang benar-benar sudah sembuh. Hingga malapetaka itu terjadi. Andreas mengalami serangan stroke yang kedua kalinya tepat di bulan ramadhan. Di saat umat Islam bergembira menyambut bulan mulia, Hana justru sedang diuji oleh Allah atas sakit suaminya, dan harus menemani suaminya di ruang ICU.

Hana terjaga  dari tidurnya, diliriknya jam ditangannya  menunjukkan pukul 02.30 wib, suasana begitu hening, sepi dan tenang. Ha- nya terdengar ritme detak jantung di layar monitor beberapa pasien yang saling bersahutan.  Hana  menengok  monitor ICU di samping kanan ranjang Andreas, Sepersekian detik ritme  detak jantung  Andreas berbunyi memberikan tanda kestabilan alat vital Andreas. Hana membelai mesra rambut  Andreas, mulutnya  terus berzikir, setelah menjalankan  shalat malam.  Hatinya penuh  doa  untuk  suami  tercinta, mulutnya  penuh  kalimat thoyibah  berharap  suaminya segera terbangun dari komanya. Tetiba matanya tertuju pada tangan Andreas yang bergerak membetulkan selimutnya. Hana benar-benar terkejut, Andreas tersadar dari komanya. Ia memegang tangan kanan Andreas. Benar! Andreas merespon pegangan tangan Hana.

"Ma, minum, dong" pinta Andreas lirih. Hana benar-benar kaget, Ia membelalakkan matanya, melihat kearah Andreas, Ia masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.

"Alhamdulillah, mas, sudah  sadar?" Hana  memeluk erat tangan Andreas, menciuminya berkali-kali, hingga tanpa  sadar air matanya meleleh membasahi punggung tangan Andreas

"Alhamdulillah Ya Allah,  Engkau mendengar  doaku" tangis Hana sambil terus memeluk erat tangan Andreas.

"Ma, mas haus, minta  minumnya" Andreas mengulang kembali permintaannya. Hana tersenyum, Ia letakkan tangan Andreas dan mengambilkan Andreas air mineral, kemudian memberikannya  sedikit demi sedikit.

"Pukul berapa sekarang, ma?"

 "Barusan selesai adzan shubuh, mas"

"Bimbing aku shalat shubuh ya, ma" pinta Andreas. Lagi-lagi Hana menitikkan air mata.  Hana  begitu terharu melihat kondisi Andreas, disaat Ia baru saja berjuang dari komanya, Ia tetap berusaha menjalankan kewajibannya, menjalankan shalat.Hana memegang kedua tangan Andreas, menempelkan ke alas tempat tidurnya dan menuntun membacakan doa niat tayamum. Kemudian dengan sabar Hana membimbing shalat shubuh. Hana tak bisa menghentikan air matanya, Ia begitu gembira, karena  suaminya  sudah  bisa diajak komunikasi kembali, meskipun Ia harus menyembunyikan kesedihannya, melihat sosok pendamping hidupnya yang makin menurun kondisinya. Andreas menitikkan air mata, entah apa yang Ia minta dalam doanya, hingga Ia benar-benar larut dalam kesedihan. Hana berusaha menenangkan hati Andreas, membelai dan mencium keningnya.

"Bapak istirahat dulu ya, gak boleh banyak gerak" perawat jaga sedang mengecek kondisi Andreas. Andreas hanya mengangguk, ta- ngan kirinya memegang erat tangan Hana.

"Ma, tadi ada malaikat Izroil datang menemuiku" cerita Andreas singkat. Hana  tersentak, Ia benar-benar  terkejut dengan  apa yang diucapkan Andreas.

"Huzz! Itu hanya mimpi,Mas"

"Bener,  Ma. Seseorang berjubah  putih  datang  menghampiriku, menatapku  lama, dan mengucapkan salam, tapi kemudian  Ia pergi menjauh" jelas Andreas ketakutan.  Hana memasang wajah serius, Ia mengamati wajah Andreas,mendengarkan dengan seksama.Kemudian mencoba mencerna perkataan  Andreas. Namun, perkataan  Andreas tetap saja mengganggu pikirannya,  membuyarkan  konsentrasinya. Ada  rasa  takut,  dengan  kondisi  Andreas, ada  rasa  khawatir akan terjadi hal buruk pada Andreas. wajah Hana memerah, matanya mulai berkaca-kaca, tapi Hana tetap berusaha tenang.

"Emm, sepertinya malaikat hanya lewat saja, mas" gurau Hana

"Tadi malam pasien depan itu meninggal dunia, nah, sepertinya malaikat menjemput  pasien  itu" hibur  Hana  sambil mengarahkan telunjuk jarinya ke arah ranjang kosong di depan ranjang Andreas. Andreas hanya  mengangguk,  Ia terdiam, matanya  kosong, pandangannya tertuju ke arah atap ruang ICU, lama Ia memandang langit- langit  ruang  ICU, kemudian  mengusap  wajahnya  dengan  tangan kirinya. Andreas membalikkan pandangannya, kali ini Ia menatap lama wajah Hana dengan tatapan  kosong, tatapan  yang tidak bermakna, sementara  tangannya memegang erat tangan Hana, memberikan pertanda  seakan tak ingin berpisah darinya. Melihat suaminya menatap lama wajahnya, Hana mengalihkan pandangannya.

"Mas, istirahat  aja  dulu  ya"  Hana  merapikan  selimutnya  dan mencium kening suaminya. Andreas tersenyum, menghela nafas dan memejamkan matanya. Hana melanjutkan  berzikir, sambil tetap tangannya memijit lembut kaki Andreas.

* * *

Hana mendorong  kursi roda Andreas, mengajaknya berjemur di depan  rumah.  Aura wajah Andreas memancarkan  cahaya, layaknya seorang bayi yang baru lahir. Pasca koma beberapa hari dan harus inap di ICU, wajah Andreas terlihat begitu bersih, mata sayunya tampak begitu  jernih,  tak  bernoda.  Kulit  tubuhnya  memancarkan  cahaya yang tidak biasa. Sementara mulutnya terus bergerak seperti berzikir. Namun, pandangannya kosong, Ia hanya menatap pohon beringin di depan rumah. Seperti ada yang dicari, tapi Hana tak tahu apa yang Andreas cari.

"Assalamualaikum sayang" Hana melakuan videocall dengan putra sulungnya yang sedang studi di negeri orang

"Waalaikum salam, Alhamdulillah Papa sudah sehat ya?" Tanya Rama menyapa ayahnya. Andreas mengalihkan pandangannya  ke arah gadget yang dibawa Hana,  suara  Rama benar-benar  menyadarkan Andreas dari pikiran kosongnya. Ia menatap tajam wajah putra sulungnya, kemudian  tersenyum tipis, matanya  berbinar-binar,  tangannya melambai-lambai menunjukkan respon bahagia. Putra yang lama Ia rindukan, seharusnya hari ini Rama sudah berada di sisi orang tuanya, menemani mamanya yang kerepotan sendiri. Namun karena covid-19, terpaksa Ia harus berlama-lama tinggal di negeri Kangguru. Karena tidak diperbolehkan bepergian dengan menggunakan pesawat. Kerinduan Andreas terlihat jelas saat Ia terbaring koma di rumah sakit. Bahkan, 3 hari yang lalu. Dibawah kesadarannya, Ia hanya memanggil nama putra sulungnya, padahal dua anak gadisnya setia menemani di rumah sakit, tapi tetap saja hanya putra sulungnya yang terus dipanggilnya.

Andreas begitu  menikmati perbincangannya  dengan  Rama, sesaat terlihat tersenyum lebar, hingga terlihat jelas gigi gingsulnya, namun sesaat kemudian Ia terdiam dan tidak merespon pertanyaan Rama. Matanya kembali kosong, pandangannya tak lagi tertuju pada gadget. Mungkin pengaruh obat syarafnya, yang melemahkan fungsi indranya.
"Sudah dulu  ya, nak.  Sepertinya Papa lelah tuh,  mama  antar masuk dulu ya" jelas Hana mengakhiri  perbincangan  dengan  anak kesayangannya. Ia mengantar  Andreas ke kamar tidurnya, memindahkan tubuh Andreas ke atas ranjang. Tiga hari berada di rumah pasca opname, Andreas terlihat lebih baik. Obat dari dokter dengan mudah diterima oleh tubuhnya, meskipun tenggorokannya menolak makanan. Tapi obat dari dokter harus dilembutkan terlebih dahulu agar dapat dengan mudah masuk melalui tenggorokan. Hana begitu lega apalagi saat Andreas bercerita  tentang sang penjemput  maut  yang datang menghampirinya, belum lagi firasat-firasat yang ditunjukkan Andreas saat berada di rumah. Hana sangat gelisah, kegelisahannya Ia tutupi dengan terus berzikir dan selalu mengecek kondisi Andreas.

"Papa, waktunya  minum  obat"  Hana  membangunkan   Andreas pelan-pelan. Tapi Andreas tidak merespon,  berulang kali Hana me- manggil mesra Andreas, tetap saja tidak ada gerakan tubuh Andreas, hanya terdengar nafas lirih Andreas. Hana panik, Ia mulai sedikit mengeraskan  suaranya, menggoyang-goyangkan tubuh  Andreas, tetapi tetap saja Andreas terdiam. Mata Hana mulai berkaca-kaca, wajahnya memerah, Ia kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan, apalagi Ia seorang diri. Ia memeriksa nadi Andreas, ternyata nadinya mulai melemah. Hana menelepon adiknya yang bekerja di rumah sakit. Hana sesenggukan, air matanya tak bisa dibendungnya lagi, Ia berbicara di telepon sambil menangis.

"Dik, Mas, mas Andreas tidak mau bangun,  mas Andreas tidak bereaksi. Tubuhnya melemah" tangis Hana pecah

"Tenang, mbak. Mbak harus tenang, coba nanti kukirimkan Ambulans ke rumah" kata Darras. Darras merupakan  adik bungsu Andreas yang bekerja di rumah sakit. Ia begitu peduli dengan kondisi kakaknya, setiap Tiga hari sekali Darras berkunjung ke rumah Andreas, sekedar untuk mengontrol kondisi Andreas.

"Mbak siap-siap saja dulu, begitu ambulans datang langsung bisa berangkat" jelas Darras menenangkan hati kakak iparnya.

"Ya,  dik. Buruan  ya"  pinta  Hana.  Hana  menyeka  air matanya. Kembali ke kamar, kemudian mencoba membangunkan  kembali Andreas. Andreas tetap tidak menunjukkan  respon apapun. Ia pun pasrah  dengan  keadaan,  sambil  menunggu  ambulans  datang, Hana menyiapkan beberapa pakaian ganti Andreas dan dokumen kesehatan yang dibutuhkan.  Beberapa menit kemudian ambulans datang menjemput Andreas.

* * *

Hana  dan  kedua  putrinya,   duduk  bersimpu  di  depan  pusara Andreas, di saat seluruh keluarga dan pelayat meninggalkan makam. Ia masih belum bisa melepaskan kepergian Andreas. Hana belum siap ditinggalkan sendiri tanpa pendamping di sisinya. Pendamping yang dapat menjadi teman, menjadi kekasih bahkan  bisa menjadi kakak yang dapat mengayominya sepeti Andreas. Hilda dan Syera tak tega melihat Bundanya yang benar-benar terpuruk. Tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa.

"Papa sudah  bahagia, ma. Mama harus  ikhlas" Hilda mencoba membujuk Hana. Diusapnya air mata Hana dengan tisu. Namun, Hana tetap tidak bergeming, Ia terus memandangi pusara suaminya.

"Kenapa Papa harus pergi secepat ini? Mama belum siap, Pa" tangis Hana. Ia rebahkan kepalanya di atas pusara yang penuh dengan bunga. Hilda mencoba membangunkannya.

"Sudah ya, Ma. Papa sedih lo, kalau Mama seperti ini". "InsyaAllah Papa, mulya di sini, Ma. Ayo kita pulang ajak Syera. Hilda dan  Syera menuntun Hana  pergi meninggalkan  Andreas.

Kepergian Hana dan kedua putrinya diiringi dengan jatuhnya bunga kamboja yang tertiup angin, seakan tahu bahwa Hana membutuhkan kesejukan hati, membutuhkan  ketenangan jiwa setenang dan sesejuk suasana makam. Hembusan angin siang ini mengiringi langkah Hana menjauh meninggalkan Andreas seorang diri. Hanya tersisa kenangan di syahadat terakhir bersama Andreas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun