"Assalamualaikum sayang" Hana melakuan videocall dengan putra sulungnya yang sedang studi di negeri orang
"Waalaikum salam, Alhamdulillah Papa sudah sehat ya?" Tanya Rama menyapa ayahnya. Andreas mengalihkan pandangannya  ke arah gadget yang dibawa Hana,  suara  Rama benar-benar  menyadarkan Andreas dari pikiran kosongnya. Ia menatap tajam wajah putra sulungnya, kemudian  tersenyum tipis, matanya  berbinar-binar,  tangannya melambai-lambai menunjukkan respon bahagia. Putra yang lama Ia rindukan, seharusnya hari ini Rama sudah berada di sisi orang tuanya, menemani mamanya yang kerepotan sendiri. Namun karena covid-19, terpaksa Ia harus berlama-lama tinggal di negeri Kangguru. Karena tidak diperbolehkan bepergian dengan menggunakan pesawat. Kerinduan Andreas terlihat jelas saat Ia terbaring koma di rumah sakit. Bahkan, 3 hari yang lalu. Dibawah kesadarannya, Ia hanya memanggil nama putra sulungnya, padahal dua anak gadisnya setia menemani di rumah sakit, tapi tetap saja hanya putra sulungnya yang terus dipanggilnya.
Andreas begitu  menikmati perbincangannya  dengan  Rama, sesaat terlihat tersenyum lebar, hingga terlihat jelas gigi gingsulnya, namun sesaat kemudian Ia terdiam dan tidak merespon pertanyaan Rama. Matanya kembali kosong, pandangannya tak lagi tertuju pada gadget. Mungkin pengaruh obat syarafnya, yang melemahkan fungsi indranya.
"Sudah dulu  ya, nak.  Sepertinya Papa lelah tuh,  mama  antar masuk dulu ya" jelas Hana mengakhiri  perbincangan  dengan  anak kesayangannya. Ia mengantar  Andreas ke kamar tidurnya, memindahkan tubuh Andreas ke atas ranjang. Tiga hari berada di rumah pasca opname, Andreas terlihat lebih baik. Obat dari dokter dengan mudah diterima oleh tubuhnya, meskipun tenggorokannya menolak makanan. Tapi obat dari dokter harus dilembutkan terlebih dahulu agar dapat dengan mudah masuk melalui tenggorokan. Hana begitu lega apalagi saat Andreas bercerita  tentang sang penjemput  maut  yang datang menghampirinya, belum lagi firasat-firasat yang ditunjukkan Andreas saat berada di rumah. Hana sangat gelisah, kegelisahannya Ia tutupi dengan terus berzikir dan selalu mengecek kondisi Andreas.
"Papa, waktunya  minum  obat"  Hana  membangunkan  Andreas pelan-pelan. Tapi Andreas tidak merespon,  berulang kali Hana me- manggil mesra Andreas, tetap saja tidak ada gerakan tubuh Andreas, hanya terdengar nafas lirih Andreas. Hana panik, Ia mulai sedikit mengeraskan  suaranya, menggoyang-goyangkan tubuh  Andreas, tetapi tetap saja Andreas terdiam. Mata Hana mulai berkaca-kaca, wajahnya memerah, Ia kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan, apalagi Ia seorang diri. Ia memeriksa nadi Andreas, ternyata nadinya mulai melemah. Hana menelepon adiknya yang bekerja di rumah sakit. Hana sesenggukan, air matanya tak bisa dibendungnya lagi, Ia berbicara di telepon sambil menangis.
"Dik, Mas, mas Andreas tidak mau bangun, Â mas Andreas tidak bereaksi. Tubuhnya melemah" tangis Hana pecah
"Tenang, mbak. Mbak harus tenang, coba nanti kukirimkan Ambulans ke rumah" kata Darras. Darras merupakan  adik bungsu Andreas yang bekerja di rumah sakit. Ia begitu peduli dengan kondisi kakaknya, setiap Tiga hari sekali Darras berkunjung ke rumah Andreas, sekedar untuk mengontrol kondisi Andreas.
"Mbak siap-siap saja dulu, begitu ambulans datang langsung bisa berangkat" jelas Darras menenangkan hati kakak iparnya.
"Ya,  dik. Buruan  ya"  pinta  Hana.  Hana  menyeka  air matanya. Kembali ke kamar, kemudian mencoba membangunkan  kembali Andreas. Andreas tetap tidak menunjukkan  respon apapun. Ia pun pasrah  dengan  keadaan,  sambil  menunggu  ambulans  datang, Hana menyiapkan beberapa pakaian ganti Andreas dan dokumen kesehatan yang dibutuhkan.  Beberapa menit kemudian ambulans datang menjemput Andreas.
* * *
Hana  dan  kedua  putrinya,  duduk  bersimpu  di  depan  pusara Andreas, di saat seluruh keluarga dan pelayat meninggalkan makam. Ia masih belum bisa melepaskan kepergian Andreas. Hana belum siap ditinggalkan sendiri tanpa pendamping di sisinya. Pendamping yang dapat menjadi teman, menjadi kekasih bahkan  bisa menjadi kakak yang dapat mengayominya sepeti Andreas. Hilda dan Syera tak tega melihat Bundanya yang benar-benar terpuruk. Tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa.
"Papa sudah  bahagia, ma. Mama harus  ikhlas" Hilda mencoba membujuk Hana. Diusapnya air mata Hana dengan tisu. Namun, Hana tetap tidak bergeming, Ia terus memandangi pusara suaminya.